PPN dan Pembebasan atas Barang Kebutuhan Pokok
Ketika kita berbelanja di minimarket, pasti sudah tak asing lagi dengan yang namanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN sendiri merupakan pajak yang kita bayar atas konsumsi barang atau jasa yang kini bertarif 11%.Â
Tentunya tidak semua barang yang kita konsumsi akan kita bayar PPN nya, contohnya barang kebutuhan pokok. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), di mana barang kebutuhan pokok dibebaskan dari pengenaan PPN.
Pembebasan PPN barang kebutuhan pokok bertujuan untuk mendukung tersedianya barang tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional.Â
Adapun barang kebutuhan pokok tersebut terdiri dari beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan terakhir yaitu sayur-sayuran.
Mengapa dibebaskan? Sepenting apakah barang kebutuhan pokok? Â Menurut Peraturan Presiden (Perpres) No 59 Tahun 2020 tentang perubahan atas Perpres No 71 Tahun 2015 barang kebutuhan pokok merupakan barang yang menyangkut hajat hidup banyak orang dan memiliki skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi. Â
Dengan demikian atas definisi tersebut menjadikan barang kebutuhan pokok sebagai kebutuhan primer.Â
Ketika kebutuhan pokok seseorang tidak terpenuhi maka kelangsungan hidupnya akan terancam. Tentunya berbeda ketika kebutuhan sekunder dan tersier seseorang tidak terpenuhi maka kelangsungan hidup orang tersebut tidak akan begitu terpengaruh.
Kebutuhan Pokok dan Pemenuhan Gizi
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Sosial (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia nyaris 100% yaitu ada pada angka 98,35%.Â
Berarti ketergantungan masyarakat atas konsumsi beras sangatlah besar sehingga akan menyebabkan masalah besar jika ketersediaan beras berkurang dan harga beras naik. Dengan pembebasan PPN atas beras tentu sudah tepat agar tidak menambah beban pengeluaran masyarakat.
Daging merupakan kebutuhan pokok yang mengandung sumber protein yang berkualitas untuk menjaga ketahanan tubuh.Â
Protein hewani memiliki peran penting dalam membentuk kecerdasan manusia karena memiki asam amino yang tidak tergantikan. Bahkan dalam beberapa penelitian menyebutkan sebanyak 33,3% anak-anak yang kurang mengonsumsi protein memiliki status gizi stunting.Â
Namun, berdasarkan data BPS Tahun 2023 konsumsi daging merah per kapita dalam sehari hanya sekitar 1,4 gram, sedangkan pakar kesehatan menyarankan konsumsi daging per hari tidak lebih dari 50 gram.Â
Bukannya melebihi dari batas normal, setengahnya pun tidak sampai bahkan 10 persennya pun tidak sampai juga. Dengan demikian, memang pembebasan PPN atas daging sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat Indonesia.
Bagaimana dengan buah-buahan? Buah sendiri mengandung gizi yang tidak kita dapatkan ketika mengonsumsi nasi dan daging. Bahkan buah tertentu seperti anggur mengandung antioksidan yang mampu melawan radikal bebas pemicu kanker.Â
Hasil riset kesehatan dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa 90% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi buah.Â
Berarti hanya 10% masyarakat Indonesia yang mengonsumsi buah. Hal ini menunjukkan kesadaran mengonsumsi buah masih sangat rendah sehingga dengan membebaskan PPN akan membantu menjaga harga buah.
Dengan demikian pembebasan barang kebutuhan pokok sudah tepat karena masing-masing barang pokok memiliki manfaat penting untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia.
Fenomena Barang Pokok Premium
Kini perkembangan barang kebutuhan pokok ada yang mengalami spesiasi atau evolusi barang kebutuhan pokok. Evolusi? Kata evolusi yang dimaksud di sini bukanlah seperti teori evolusi cetusan Charles Darwin, tetapi munculnya jenis barang kebutuhan pokok yang bisa dikatakan premium atau mewah. Â
Sebagian dari Anda mungkin sudah pernah mendengar beras shirataki dan beras porang. Jadi beras ini adalah beras yang diklaim mengandung kalori yang sangat rendah sehingga banyak orang penggiat hidup sehat dan penggiat diet yang mengonsumsi beras ini.Â
Tren beras ini pun sudah banyak bersliweran di media sosial seperti Tiktok. Akibatnya banyak orang yang mulai mengikuti tren beras shirataki sebagai pengganti beras padi.Â
Yang cukup mengejutkan adalah harga beras shirataki dan beras porang per kilogramnya berada pada kisaran Rp 170.000 hingga Rp 200.000. Harga tersebut berarti mencapai 15 kali lipat harga beras padi yang ada di pasaran yang berharga sekitar Rp 12.000.
Beras belum ada tandingannya dengan barang kebutuhan pokok yang satu ini yaitu daging wagyu. Daging wagyu sendiri dibandrol dengan harga mencapai Rp 5.000.000 per kilogramnya untuk grade A5. Yang mana biasanya ketika kita membeli sekilo daging sapi di pasar hanya perlu mengeluarkan sekitar Rp 140.000 per kilogramnya.
Terakhir fenomena barang pokok premium yang kerap bersliweran di media sosial adalah buah impor yang harganya bikin garuk kepala.Â
Buah seperti melon, anggur, semangka, stoberi, serta persik yang diimpor dari jepang maupun korea yang harganya bisa sampai jutaan rupiah untuk per kilo atau per buahnya.Â
Bahkan sekarang sudah ada pembudidayaan buah premium di Indonesia yang bibitnya didatangkan langsung dari jepang.
Pertimbangan Pengenaan PPN atas Barang Pokok Premium
Dengan demikian melihat fenomena barang pokok premium tersebut apakah masih tepat pembebasan PPN atas penyerahan atau impor barang kebutuhan pokok? Bagaimana jika atas barang pokok premium itu kita kenakan PPN?
Menurut Adolf Wagner, pemungutan pajak dapat dikatakan ideal ketika 5 (lima) asas terpenuhi yaitu asas politik finansial, asas ekonomis, asas keadilan, asas administrasi, dan asas hukum.
Asas politik finansial menjelaskan bahwa pajak harus bersifat dinamis dan memadai. Di mana penerimaan pajak diharapkan untuk meningkat baik dari segi kualitatif maupun kuantitatif. Pajak dikumpulkan hingga jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan tujuan negara.Â
Berdasarkan Postur APBN 2023, APBN Indonesia pada Tahun 2023 mengalami defisit anggaran sebesar Rp 598,2 Triliun sehingga dilakukan pembiayaan anggaran melalui utang.Â
Di sini pengenaan PPN berupa barang pokok premium dapat menjadi salah satu solusi untuk menambah pundi-pundi pendapatan dalam APBN.
Asas ekonomis menjelaskan bahwa penentuan objek pajak harus tepat. Pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok, ketika melihat fenomena barang pokok premium, dirasa kurang tepat seluruhnya mengingat tujuan utama dibebaskannya PPN barang kebutuhan pokok karena merupakan kebutuhan yang menyangkut hajat hidup banyak orang, serta untuk memenuhi.Â
Apakah dengan tidak mengonsumsi barang premium kehidupan seseorang akan terancam? Tentu saja tidak karena dengan mengonsumsi barang pokok yang umum di pasaran saja sudah cukup apalagi harganya lebih terjangkau.Â
Dengan mengenakan PPN atas barang pokok premium juga membantu mengurangi produk-produk impor seperti beras shirataki, daging wagyu, hingga buah premium dari jepang sehingga mendorong masyarakat untuk mengonsumsi produk lokal. Â
Asas keadilan menjelaskan bahwa pungutan pajak diberlakukan sama untuk kondisi yang sama. Hal tersebut berarti atas kondisi yang berbeda dapat dikenakan perlakuan pajak yang berbeda.Â
Kelas masyarakat yang mengonsumsi barang pokok premium ini cenderung diisi oleh masyarakat kelas atas yang memiliki pengeluaran lebih dari 6 juta per bulan (kriteria world bank).Â
Bahkan untuk produk tertentu seperti daging wagyu dan buah premium yang per kilogramnya bisa mencapai 5 juta ini bisa disebut pengonsumsinya merupakan masyarakat kelas langit.Â
Bagi sebagian masyarakat kelas menengah ke bawah mengonsumsi daging sapi adalah suatu hal yang sangat mewah, boro-boro untuk membeli daging wagyu untuk membeli daging sapi biasa pun biasanya harus menunggu hari raya kurban. Sehingga pengenaan PPN atas barang pokok memenuhi aspek keadilan.
Asas administrasi menjelaskan bahwa pemungutan pajak harus jelas apa yang dikenakan pajak serta dalam pemungutannya pun harus dengan ongkos sekecil mungkin.Â
Setelah memenuhi 3 asas sebelumnya mungkin di sini akan muncul tantangan dalam mewujudkan pengenaan PPN atas barang pokok premium. Ada beberapa kesulitan dalam mendefinisikan barang premium itu sendiri.Â
Biasanya kita menyimpulkan suatu barang dikatakan premium ketika barang itu mahal, tetapi bukannya kata 'mahal' itu relatif? Berarti di sini untuk menentukan predikat premium harus dibuat kriteria-kriteria.Â
Apakah kriteria dapat dilihat dari kelas pembelinya, apakah dengan melihat dari segi harganya melalui harga wajar barang pokok biasa. Dengan menentukan kriteria tersebut pemungutan pajak atas barang pokok premium akan lebih jelas adminitrasinya. Tentunya hal ini harus lebih dikaji lebih dalam lagi oleh pembuat kebijakan.
Untuk ongkos pemungutan, dapat muncul dari peningkatan pengawasan barang pokok premium impor oleh petugas bea dan cukai, peningkatan pengawasan oleh petugas pajak atas penyerahan barang pokok premium.
Tidak hanya itu, serta sosialiasi barang pokok premium kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) terkait pemungutan PPN atas barang pokok premium, khususnya untuk PKP yang menjual barang kebutuhan pokok. Â
Tentunya untuk melakukan pengawasan dan sosialasi berarti harus ada hukum yang memayunginya agar pemungutan pajak tidak asal pungut. Hal ini akan dibedah oleh asas berikutnya, yaitu asas hukum.
Asas hukum menjelaskan bahwa pemungutan pajak harus memiliki dasar hukum yang melandasinya. Sampai saat ini belum ada aturan yang secara jelas mengatur pemajakan atas barang pokok premium.Â
Namun pengenaan PPN atas barang pokok premium sangat bisa dilakukan dikarenakan sesuai Pasal 30 Peraturan Pemerintah No 49 tahun 2022 menjelaskan bahwa pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok bisa bersifat sementara waktu atau selamanya.Â
Hal ini disesuaikan dengan evaluasi dengan pertimbangan kondisi perekonomian dan dampaknya terhadap penerimaan negara. Tentunya melalui pasal tersebut dapat membuka kesempatan untuk pengenaan barang pokok premium.
Meskipun masih terdapat beberapa tantangan dalam pengenaan PPN barang pokok premium, pengenaan PPN barang pokok premium sangat bisa menjadi potensi penerimaan negara.Â
Para pembuat kebijakan negara harus mengkaji fenomena barang pokok premium ini untuk dikenakan PPN karena kita tidak bisa memungkiri bahwa perkembangan pangan akan terus berkembang dan akan terus bermunculan barang pokok premium lainnya.Â
Tentunya bukan hanya penerimaan negara yang kita kejar, tetapi juga bagaimana pengenaan pajak barang pokok premium dapat memberikan keadilan mengingat barang pokok premium ini sebagian besar dinikmati oleh masyarakat tertentu.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI