Mohon tunggu...
Reygi Prabowo
Reygi Prabowo Mohon Tunggu... Jurnalis - Professional Hobo and Nomad

Part time writer and full time thinker

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fenomena "Supermarket Rush" dan Perbedaan Realitas Masyarakat

5 Maret 2020   15:00 Diperbarui: 5 Maret 2020   15:03 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa ada dua WNI terjangkit virus corona yang sedang ngetren, masyarakat langsung mengambil sikap.

Kepanikan terjadi namun terbelah menjadi dua sikap. Satu, sikap kelas menengah atas yang tingkat kekhawatirannya sampai ke ubun-ubun kepala. Kedua, sikap kelas menengah bawah yang sepertinya fine-fine aja.

Untuk kelas menengah atas sampai-sampai menyerbu supermarket terdekat untuk menimbun makanan sebanyak-banyaknya. Ada yang beli asupan mi instan sampai puluhan box, beras berkarung-karung, berbagai olahan daging, sampai masker dan sabun anti bakteri.

Sangat kontras dengan kelas menengah bawah yang sepertinya tidak begitu responsif terhadap corona. Di jalanan, masih terdapat pengamen, pak ogah, dan working class hero lainnya yang masih menjalani hidup seperti biasa, melalui dari hari ke hari.

Kekontrasan sikap ini jika ditarik dengan ANALisa gembel, bisa dianggap sebagai perbedaan realitas. Walaupun satu kota dan alam, realitas yang dialami oleh dua kelas ini berbeda.

Menjadi ironi ketika, realitas yang dialami oleh orang yang melakukan supermarket rush tercipta karena dorongan yang individualistis, mementingkan diri sendiri, menimbun makanan dirumah dan juga SDM tanpa berpikir dampak domino dari yang mereka lakukan. *Selamatkan Diri Masing-masing

Sedangkan di realitas yang lain, tidak ada langkah preventif. Berpikir ke arah sana saja tidak, fokus hanya pada pemenuhan kebutuhan setiap hari. Pada saat hari Jokowi mengumumkan ada WNI positif corona, setelah pulang kantor saya sempat melakukan perbincangan-perbincangan dengan para working class hero.

Pertama dengan teman sekantor, ada yang khawatir tetapi tidak berlebihan karena merasa aman dengan respon kantor yang sigap dalam menghadapi penyebaran virus. Tetapi, dalam sepengetahuan saya tidak ada yang berniat untuk melakukan supermarket rush.

Kedua, karena saya menggunakan transportasi ojek online, maka saya mencoba berbincang ringan dengan para ojekers. Dalam tiga hari saya menggunakan ojek online, saya tidak menemukan satupun perbincangan ojekers yang panik dan menimbun makanan di rumah. Semua berjalan seperti biasa.

Hal ini, bisa terjadi karena kesenjangan sosial yang mengakibatkan terbelahnya realitas masyarakat. Fenomena ini dapat menjadi cerminan bahwa masyarakat "gotong-royong", hanya menjadi mitos belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun