Mohon tunggu...
Hendro Adrian
Hendro Adrian Mohon Tunggu... -

Penggemar Dream Theater

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

K2 :Penaklukan Yang Penuh Kontroversi (13)

14 Desember 2014   04:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:21 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal Dari Sebuah Akhir

Di Italia, kesuksesan K2 disambut dengan kegemparan di seluruh negeri dan mejadi head-line di semua surat kabar selama berminggu-minggu. Compagnoni dan Lacedelli tidak sekedar dielu-elukan bagai pahlawan, tetapi sudah dianggap sebagai dewa petualang. Dalam sambutan kemenangannya yang sangat emosional, Professor Desio menyanjung team K2 sebagai pahlawan yang telah berhasil mengembalikan harga diri dan kebanggaan nasional rakyat Italia “......banggalah dengan diri kalian, usaha kalian yang tidak kenal lelah telah mengembalikan keagungan dan kejayaan tanah-air kita.....”.

Di atas kapal “Asia” dalam perjalanan pulang ke Italia setelah sukses menaklukkan K2.Dari bawah ke atas : Ugo Angelino, Walter Bonatti, Cirillo Floreanini, Pino Gallotti, Gino Soldà, Erich Abram, Lino Lacedelli dan Sergio Viotto.

Hingga beberapa puluh tahun kemudian, Compagnoni dan Lacedelli tetap dianggap sebagai pendaki terkemuka Italia. Di tahun 2004, saat Italia merayakan 50 tahun keberhasilan di K2 dengan mencanangkan tahun itu sebagai tahun kemenangan, Compagnoni dan Lacedelli – yang saat itu berusia sembilan puluh dan tujuh puluh sembilan tahun – masih dielu-elukan sebagai pahlawan nasional.

Sebaliknya bagi Bonatti, kesuksesan ekspedisi K2 merupakan awal dari perjalanan panjang dalam usahanya untuk meluruskan cerita yang ditulis Desio dalam bukunya Ascent of K2. Dalam buku tersebut, Desio kurang memberikan apresiasi terhadap peran pendaki lain, semua cerita terpusat pada keberhasilan Compagnoni dan Lacedelli sebagai pendaki yang berhasil mencapai puncak serta dirinya sebagai pimpinan team. Nama Amir Mahdi – yang sudah berkorban dengan kehilangan seluruh jari tangan dan kakinya – bahkan sama sekali tidak disebut. Januari 1955, seluruh ex-anggota team K2 Italia kecuali Compagnoni, menanda-tangani surat protes terhadap tulisan Desio tersebut.

Tidak mendapatkan tanggapan yang memuaskan, Bonatti yang sangat kecewa dan sakit hati karena peran pentingnya hanya disinggung sepintas, menulis versi-nya sendiri mengenai peristiwa bivouac 30 Juli malam. Tulisan yang dimuat di majalah Le Mie Montagne pada tahun 1961 itu menjadi cerita yang menghebohkan di kalangan pendaki. Menurut Bonatti, kejadian itu bukan karena kesalahan komunikasi seperti yang ditulis dalam Ascent of K2; melainkan karena Compagnoni sengaja menempatkan tenda camp IX di tempat yang tersembunyi serta membiarkan dirinya dan Mahdi bivouac agar mati membeku di luar. “Mereka tidak mau tahu kalau kami bivouac di dekat tenda mereka” tulis Bonatti dalam artikel-nya. “Saya dan Mahdi malam itu seharusnya mati. Itu akan membuat cerita mereka di K2 menjadi semakin heroik”.

Bonatti juga tidak percaya kalau Compagnoni dan Lacedelli kehabisan oksigen namun tetap melanjutkan summit attack tanpa oksigen....”Itu hanyalah mitos yang sengaja dibuat, agar cerita penaklukan mereka menjadi lebih dramatis”.

Compagnoni dan Lacedelli – terutama Compagnoni – yang merasa disudutkan dengan versi Bonatti balik menyerang, yang akhirnya terjadi saling serang di media yang terus berlangsung hingga beberapa tahun kemudian. Puncaknya adalah dengan dimuatnya tulisan seorang Jurnalis Italia bernama Nino Giglio di majalah Gazzetta del Popolo berjudul After Ten Years, the Truth About K2pada tahun 1964.

Giglio menuduh Bonatti berusaha ‘mencuri’ puncak K2 dari Compagnoni dan Lacedelli. Bonatti mengajak serta Mahdi dengan menjanjikan bahwa dia akan menjadi terkenal sebagai orang Pakistan pertama yang menjejakkan kaki di K2, seperti halnya Tenzing Norgay di Everest setahun sebelumnya. Sedangkan alasan Compagnoni dan Lacedelli kehabisan oksigen sebelum mencapai puncak – masih menurut Giglio – adalah karena Bonatti telah memakai oksigen tersebut setidak-tidaknya selama satu jam saat bivouac. Pagi harinya, Bonatti langsung lari turun ke camp VIII meninggalkan Mahdi sendirian, itu sebabnya Bonatti tidak frostbite sedangkan Mahdi frostbitten.

Tulisan itu bagai bom yang langsung meledakkan amarah Bonatti, sedemikian marahnya hingga dia langsung melakukan gugatan pengadilan terhadap Nino Giglio.Di pengadilan, bukan hanya Giglio yang dipanggil, tetapi juga Compagnoni, Lacedelli dan Ubaldo Rey dipanggil untuk bersaksi. Bahkan kesaksian tertulis dari Mahdi di Pakistan-pun ikut dilayangkan ke pengadilan. Bonatti menerangkan bahwa malam itu dia tidak mungkin bisa memakai oksigen karena tidak memiliki masker maupun regulator yang sudah dibawa oleh Compagnoni dan Lacedelli. Di bawah sumpah, Giglio akhirnya mengakui bahwa nara sumber dari semua tulisannya dimajalah Gazzetta del Popolo adalah Compagnoni.

Awal tahun 2000, seorang dokter ahli bedah dan pemerhati 8000ers asal Australia, Robert Marshall, tertarik dengan kontroversiK2 ini dan mencoba melakukan beberapa analisa. Hasil investigasi Marshall ternyata memberikan beberapa wawasan baru yang cenderung memperkuat cerita versi Bonatti.

Marshall diantaranya melakukan analisa kecepatan pendakian. Compagnoni dan Lacedelli tercatat mulai mendaki pada 31 Juli 1954 jam 06:15 pagi. Menurut perhitungan Marshall, keduanya mendaki dengan oksigen selama sembilan-setengah jam dengan kecepatan rata-rata 51.3 vertikal meter per-jam. Kemudian keduanya kehabisan oksigen di ketinggian 8,540 m dan terus mendaki sampai puncak tanpa oksigen sambil membawa tabung kosong yang beratnya 20 kg, kecepatan keduanya justru meningkat menjadi 97.6 vertikal meter per-jam. Hal ini bertolak-belakang dengan semua data statistik yang dimiliki Marshall. Saat mendaki pada ketinggian di atas 8,000 m, seharusnya semakin tinggi seseorang mendaki – apalagi tanpa oksigen – kecepatan pendaki akan semakin lambat.

Analisa photo yang juga dilakukan oleh Marshall semakin menguatkan versi Bonatti. Secara kebetulan, Marshall mendapatkan beberapa photo Compagnoni dan Lacedelli di puncak K2 yang dimuat di majalah The Mountain World terbitan 1955. Photo ini – entah kenapa – tidak dimuat dalam laporan resmi Desio maupun buku Ascent of K2. Di salah satu photo puncak, terlihat Compagnoni masih memakai masker oksigen di wajahnya. Di photo puncak yang lain, terlihat Lacedelli memang tidak memakai masker, tetapi di wajahnya terlihat guratan melingkar yang menandakan bahwa dia baru saja membuka masker oksigen. Hasil analisa photo ini membuktikan bahwa cerita versi Compagnoni tentang kehabisan oksigen sebelum mencapai puncak kemungkinan besar adalah bohong semata.

Di tahun 2003, Lacedelli bersedia memberikan wawancara kepada seorang Jurnalis Amerika. Saat di-konfirmasi mengenai habisnya oksigen sebelum puncak, Lacedelli menjawab “Saat itu kami memakai tabung merek Dräger buatan Jerman, kami tidak terlalu paham cara pemakaiannya. Oksigen yang mengalir terlalu banyak membuat kerongkongan kami serasa terbakar hingga kami harus menghembuskan-nya lewat mulut. Itu sebabnya mengapa kami kehabisan oksigen sebelum puncak”. Alasan ini tetap tidak menjawab analisa Marshall mengenai kecepatan pendakian.

Lacedelli juga memberikan penjelasan yang berbeda dengan sebelumnya mengenai kenapa mereka tidak membuang tabung saat oksigen sudah habis “Saya tidak dapat membuang tabung kosong itu karena jari-jari tangan saya membeku”.

Ketika ditanya mengenai photo puncak yang dimuat di The Mountain World terbitan 1955, Lacedelli menjawab “Compagnoni memasang masker-nya di puncak sekitar lima menit untuk menghangatkan pernafasannya. Sedangkan saya mengatupkan kedua tangan untuk menutup mulut supaya udara dingin tidak terhirup”. Jawaban yang sulit dimengerti oleh para pengamat. Bila kita memakai masker tanpa ada aliran oksigen, itu sama halnya seperti membungkus kepala dengan kantong-plastik; kita akan mati dalam waktu kurang dari lima menit.

Dengan jujur, Lacedelli akhirnya juga mengakui bahwa mereka memang sengaja menempatkan tenda di camp IX secara tersembunyi supaya Bonatti tidak dapat menemukan mereka. Itu semua, menurut Lacedelli, adalah ide Compagnoni. “Saya baru menyadari kemudian kalau Compagnoni tidak ingin Bonatti menemukan tenda kami di camp IX. Saat saya tanya kenapa, dia mengatakan bahwa sebaiknya hanya kami berdua saja yang melakukan summit-attack”.

Ke-empat aktor utama team K2 Italia 1954 di usia senja mereka, dari kiri ke kanan : Professor Ardito Desio, Achille Compagnoni, Lino Lacedelli dan Walter Bonatti

Di akhir wawancara, Lacedelli mengutarakan ke-prihatinan-nya atas semua kontroversi yang telah berlangsung lama itu, “Ini bukanlah perang.....jutaan orang berperang, kemudian berjabat tangan dan berpelukan setelah perang berakhir. Saya berharap suatu hari nanti dapat berjabat tangan dan memeluk Bonatti.........”.

Ke-empat aktor utama team K2 Italia 1954 ini sekarang sudah meninggal dunia semua, namun cerita mereka masih sering menjadi bahan diskusi hangat di kalangan pendaki. Desio meninggal di usia 104 pada Desember 2001, Compagnoni di usia 95 pada Mei 2009, Lacedelli di usia 84 pada November 2009 dan Bonatti di usia 81 pada September 2011.

(Bersambung...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun