Mohon tunggu...
Fahruddin Fitriya
Fahruddin Fitriya Mohon Tunggu... Jurnalis - Redaktur

Kita akan belajar lebih banyak mengenai sebuah jalan dengan menempuhnya, daripada dengan mempelajari semua peta yang ada di dunia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berharap Pada Peran Mahasiswa

26 Desember 2011   03:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:45 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

13 Tahun sudah masa-masa dimana Mahasiswa bersama elemen masyarakat telah berhasil menggulingkan pemerintahan otoriter. mahasiswa meninggalkan rutinitas dan kenyamanan perkuliahan. Mahasiswa menjadi bagian dari puluhan ribu massa yang memadati gedung MPR/DPR. Asa untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis menyatukan mahasiswa. Atribut elemen pergerakan dilebur atas nama reformasi. Atas dasar perjuangan dan keberpihakannya mahasiswa hingga kini dikenang sebagai salah satu motor penggerak reformasi. Kini, kehidupan berbangsa dan bernegara dirasakan semakin demokratis. Kebebasan menyuarakan pendapat dan berorganisasi dapat dinikmati oleh rakyat. Pemilihan umum (Pemilu) diselenggarakan dengan demokratis. Namun, demokrasi kita ternyata dibajak. Reformasi yang diperjuangkan justru dinikmati oleh para penjagal. Kebebasan menyuarakan pendapat dikendalikan oleh media massa milik para milyarder. Pemilu menjadi ajang “bancakan” parpol dan politisi. Mereka mengobral janji tanpa implementasi. Sebut saja para anggota dewan yang berjanji menyelesaikan RUU Fakir Miskin justru asyik berplesir dengan dalih studi banding. Atau para pejabat negara yang berkongsi dengan para cukong untuk mengerat uang negara. Contohnya kelindan gayus dengan puluhan pengemplang pajak. Dana pendidikan pun tak luput dari serangan para penjagal. Carut-Marut Pendidikan Pendidikan seharusnya mengajarkan tentang baik dan benar. Pendidikan yang dikelola dengan para birokrat kotor, akan sangat membahayakan. Membahayakan bagi keuangan negara juga pada pembangunan mental bangsa. Sulit rasanya mengajarkan kebaikan pada peserta didik jika para birokrat pendidikan justru menjadi mengerat dana pendidikan. Gelontoran dana triliunan rupiah tak sampai pada peserta didik. Pendidikan tetap saja mahal bagi mereka yang miskin. Rata-rata untuk pendidikan dasar, siswa masih dibebani dengan biaya buku, biaya seragam, biaya ekstrakulikuler dan banyak lagi biaya lainnya. Biaya pendidikan mahal tidak hanya terjadi pada pendidikan dasar. Biaya pendidikan di perguruan tinggi jauh lebih mengerikan. Biaya berkisar puluhan sampai ratusan juta. Biaya tersebut merupakan biaya masuk. Belum termasuk biaya per semester. Jika dikalkulasikan seorang calon mahasiswa harus berpunya saat akan masuk sampai akhir masa kuliah. Rasanya amat miris. Amat sering kita mendengar pidato soal gelontoran dana untuk pendidikan. tapi pendidikan tetap saja mahal. Dugaan adanya praktik kotor pengelolaan dana pendidikan kembali mencuat. BPK mengeluarkan dua laporan yang mengejutkan. Pengelolaan aset pendidikan Indonesia amat buruk. BPK mengeluarkan laporan disclameir untuk pengelolaan aset oleh Kementerian Pendidikan Nasional. BPK juga melansir bahwa terdapat 43 rekening liar milik Kementerian Pendidikan Nasional senilai Rp26,44 miliar. Jumlah tersebut diperoleh dari pemeriksaan BPK tahun 2010 dan 2011. Sejumlah rekening liar tersebut berada di lingkungan perguruan tinggi. Dua laporan tersebut semakin menguatkan dugaan penyelewenangan dana pendidikan telah terjadi. Beberapa waktu silam. Audit BPK beberapa waktu silam menyatakan bahwa 6 dari sepuluh sekolah menyimpangkan dana BOS dengan rata-rata penyimpangan Rp 13,7 juta persekolah. Tidak hanya pada level nasional. Pengelolaan dana pendidikan pada level lokal pun bermasalah. Di sejumlah daerah, para pejabat daerah ramai-ramai mengeruk uang buku ajar Saatnya Mahasiswa Berperan Saat demokrasi dibajak, dimanakah mahasiswa? masihkah mahasiswa menjadi garis terdepan penjaga reformasi?. Ternyata mahasiswa mengalami permasalahan serius. Mahasiswa harus menghadapi sistem pendidikan yang amat mengekang. Pendidikan tidak dimaknai secara menyeluruh. Pendidikan hanya dimaknai melalui kelas-kelas konvensional. Padahal para pejuang bangsa tidak dibentuk dari rutinitas-rutinitas kelas. Para pejuang bangsa dibentuk dari kedekatannya dengan masyarakat. Merekalah para mahasiswa yang mampu mengimplementasikan ilmu melalui gerakan memperjuangkan hak-hak rakyat. Pembajakan demokrasi harus segera dihentikan. Rasanya hampir  tidak mungkin berharap kepada para politisi untuk Indonesia yang lebih baik. Harapan hanya dapat diletakkan pada mahasiswa. Mahasiswa dengan landasan intelektual dan basis moralnya menjadi modal utama. Mari bersama berjuang untuk menorehkan sejarah emas, dan selalu menyuarakan keadilan. Hidup Mahasiswa Indonesia!!!Hidup Rakyat Indonesia!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun