Mohon tunggu...
I-Sis
I-Sis Mohon Tunggu... -

Saatnya Buka Mata dan Buka Telinga

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bangsa Indonesia Cinta Rupiah, Jokowi Harus Segera Copot Gubernur BI

3 Agustus 2015   08:32 Diperbarui: 3 Agustus 2015   08:32 2333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

TANGKAS – Naik-turun dan melemahnya Kurs Rupiah belakangan ini menunjukkan situasi instabilitas ekonomi Indonesia yang tentu mempengaruhi citra kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apalagi Jokowi dalam janji kampanye Trisakti punya cita-cita Ekonomi yang Berdiri Di Atas Kaki Sendiri (Ekonomi Berdikari). Juga dalam Nawa Cita dinyatakan program Mewujudkan Kemandirian Ekonomi. Sebab itu, bagi Jokowi sangatlah penting suatu stabilitas ekonomi nasional agar program pembangunan bisa terlaksana sehingga memudahkan kehidupan masyarakat banyak umumnya.

[caption caption="Iwan Siswo dan Gubernur BI"][/caption]

Memang usaha mewujudkan satu ekonomi nasional yang stabil tentulah sangat sulit karena banyak tantangan dan dipengaruhi faktor-faktor dalam negeri sendiri, luar negeri, dan hubungan internasional. Ingat Krisis Moneter 1997-1998 yang memaksa Almarhum Presiden Soeharto lengser karena instabilitas ekonomi akibat melemahnya Kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (AS). Kekacauan ekonomi karena Rupiah – yang menguasai hajat hidup orang banyak – menimbulkan kerusuhan sosial, penarikan uang besar-besaran dari bank-bank, dan ekspresi marah kepada Rejim Soeharto yang Koruptif, Kolutif, dan Nepotis (KKN). People Power istilahnya berhasil melengserkan Soeharto, 21 Mei 1998.

Padahal, hancurnya Rupiah dipicu pengaruh jatuhnya mata uang Bath Thailand yang menyebar ke ASEAN dan menyebabkan pergantian Rejim di Indonesia secara berdarah-darah dan memakan korban ribuan nyawa – mungkin saja lebih. Nilai kurs Rupiah yang terhadap Dollar AS Rp 2.440,- pada Juli 1997 melemah menjadi hampir Rp 17.000,-an pada Mei 1998. Sekarang – meskipun tidak ada instabilitas politik signifikan di dalam negeri – kurs Rupiah terhadap Dollar AS kira-kira Rp 13.500,-an dan diperkirakan akan terus melemah. Akankah Presiden Jokowi diganggu, digoyang, dan dilengserkan dengan modus operandi instabilitas ekonomi melalui mata uang Rupiah?

Iwan Siswo, salah satu kader muda PDI Perjuangan, menegaskan sekali lagi, “Demi stabilitas ekonomi Indonesia, Presiden Jokowi harus secepat mungkin mengganti Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo”. Iwan yang ditemui di Sayap Timur Istana Negara pada Senin pagi (3/8) menjelaskan bila situasi ini dibiarkan maka Pemerintahan Jokowi ibarat telur di ujung tanduk – pelan tapi pasti – menuju kegagalan program dan kehancuran total. Apa yang terjadi dengan kurs Rupiah pada gilirannya mengakibatkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat luas terhadap Jokowi. Lihat saja Yunani dan Masyarakat Ekonomi Eropa – salah satu isu besar adalah referendum untuk menggunakan mata uang Euro atau kembali ke Drachma.

Menurut Iwan Siswo, salah satu alasan kuat Jokowi harus segera mengganti Gubernur BI adalah ketidakmampuan, ketidakbecusan, dan ketidakberesan Agus Martowardoyo untuk menghadapi (to cope with) perkembangan ekonomi nasional dan internasional. Agus Marto terbukti tidak mampu menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan moneter. Anak kecil juga bisa jadi Gubernur BI bila hanya sekedar intervensi pasar dengan menghabiskan cadangan devisa. Atau menerbitkan Sertifikat BI untuk dimiliki asing, atau mengeluarkan surat-surat berharga lainnya sebagai kewajiban, atau bahkan bersama Menteri Keuangan menerbitkan Surat-surat Utang Negara yang baru. Yang sangat berbahaya bila anggaran Presiden dari subsidi BBM sejumlah Rp 200-300 triliun guna membangun infrastruktur dan Poros Maritim terpaksa dipakai untuk intervensi pasar. Tentu saja hal ini sangat mengganggu kerja, membuat kurang fokus serta mengancam kelangsungan Pemerintahan Jokowi 2014-2019. Dan korbannya adalah masyarakat yang penderitaannya semakin bertambah. "Saya tidak mau Tragedi 1998 terulang kembali", ujar Iwan.

Rupiah, lanjut Iwan yang awam hukum, menurut UUD 1945 (amandemen keempat) diatur dalam pasal 23b, yang 

berbunyi Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.“ Pasal ini sama persis dengan naskah asli

UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan.

Dan Penjelasan naskah asli UUD 1945 atas pasal 23 ayat (3) tersebut: “Juga tentang hal macam dan harga mata uang

ditetapkan dengan undang-undang. Ini penting karena kedudukan uang itu besar pengaruhnya atas masyarakat. Uang

terutama adalah alat penukar dan pengukur harga. Sebagai alat penukar untuk memudahkan pertukaran jual-beli dalam

masyarakat. Berhubung dengan itu perlu ada macam dan rupa uang yang diperlukan oleh rakyat sebagai pengukur

harga untuk dasar menetapkan harga masing-masing barang yang dipertukarkan. Barang yang menjadi pengukur

harga itu, mestilah tetap harganya, jangan naik turun karena keadaan uang yang tidak teratur. Oleh karena

itu, keadaan uang itu harus ditetapkan dengan undang-undang.Hanya sayang sekali bahwa Penjelasan UUD 1945

dihapus karena dibentuk Mahkamah Konstitusi (MK) yang berwenang memberi tafsir atas Batang Tubuh UUD 1945

yang dianggap kurang jelas, Iwan menambahkan.

Berikutnya, terinspirasi preseden judicial review atas UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi di MK yang menyatakan Pasal 28 ayat (2) Harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; – artinya bahwa harga BBM dan gas bumi dilepas sesuai mekanisme pasar dinyatakan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945; maka sudah siap didaftarkan judicial review permohonan untuk membatalkan Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas (Free Floating Exchange Rate System) yang melepas nilai tukar Rupiah kepada mekanisme pasar sejak 14 Agustus 1997. Iwan dan timnya sangat yakin bahwa MK akan menyatakan bahwa Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 23b. Amboi, mana mungkin harga Rupiah yang menguasai hajat hidup orang banyak dan besar pengaruhnya atas kehidupan masyarakat dilepas ke pasar. Indonesia bukan pasar! ujar Iwan.

Dengan demikian, semakin jelas bahwa Agus Marto memang kekurangan inisiatif dan kreatifitas untuk mengusulkan

kepada Pemerintahan Jokowi tentang solusi dari naik-turunnya kurs Rupiah terhadap mata uang asing. Mungkin karena

pikiran tjupet-mampet, maka Agus Marto sama sekali tidak memiliki usulan kepada Jokowi tentang sistem nilai tukar

mengatasi melemahnya Rupiah – tidak memiliki cukup akal-budi menawarkan solusi kebijakan prinsipil bersifat

strategis. Padahal itu adalah amanat UU RI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 23 Tahun

1999 tentang BI – meskipun sistem nilai tukar ditetapkan oleh Pemerintah, tandas Iwan Siswo. Dan soal penggantian

Agus Marto sebagai Gubernur BI juga diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang BI bahwa Gubernur BI

diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR dan Anggota Dewan Gubernur BI tidak dapat

diberhentikan oleh Presiden, kecuali bila mengundurkan diri, berhalangan tetap, atau melakukan tindak pidana

kejahatan. Jokowi hanya perlu mengusulkan nama-nama Anak-anak Indonesia yang cakap dan mendapatkan

persetujuan DPR serta kemudian mengangkat mereka yang sama persepsi-visi-misi Trisakti-Nawa Cita. Nama-nama

seperti Kwik Kian Gie, Ichsanuddin Noorsy, dan Revrisond Baswir, dll, bisa saja dipertimbangkan. Mengundurkan diri

juga pilihan buat Agus Marto.

Selanjutnya, bila kita obyektif melihat sejarah dan situasi sistem ekonomi internasional sekarang, hampir semua sepakat

bahwa sistem ekonomi internasional secara umum sedang mengalami krisis. Iwan menemukan pola krisis dari sistem

ekonomi internasional dan berkesimpulan bahwa krisis itu melekat/inheren dalam sistem ini. Yang pertama Krisis

Tahun 1930an dan disusul Krisis Akhir Tahun 1960an dan Krisis Tahun 1900an – dapat dilihat pola siklus krisis tiga

puluh (30) tahunan. Namun, Krisis lagi Tahun 2000an dan Krisis Tahun 2010an, kemudian sejak 2010 sampai 2015 ini

krisis lagi setiap tahun. Jadi, setelah tahun 2000 didapatkan pola siklus krisis 10 tahunan – akan tetapi sejak 2010

sampai 2015 ini pola siklus krisis menjadi satu (1) tahunan. Sekali lagi, lihat saja Yunani di Eropa, Negara-negara di

Timur Tengah, bahkan di AS sekalipun, semuanya krisis. Biasanya dalam situasi seperti ini – belajar dari Perang Dunia

I dan II – akan muncul banyak perang sporadis di beberapa bagian di dunia ini, kata Iwan Siswo yang anak-buah dari

Ibu Megawati Soekarnoputri.

 

Sebagai perbandingan, ketika sebagian besar kawasan mengalami krisis, tetapi tidak dengan Republik Rakyat

Tiongkok. Sistem ekonomi Tiongkok terbukti nyata tumbuh sehat dan hasilnya konkrit dirasakan masyarakat Tiongkok

karena kesejahteraannya dramatis membaik. Semua negara di dunia mengakuinya. Tahun ini Tiongkok targetkan

pertumbuhan 7% - padahal dunia lagi krisis. Yang sangat menarik adalah kebijakan Tiongkok atas sistem nilai tukar

tetap dan sistem devisa kontrol yang konsisten terus-menerus dilakukan dan sukses.

 

Sumber : TangkasNews

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun