Mohon tunggu...
Bobby Revolta
Bobby Revolta Mohon Tunggu... Artrepreneur, Entrepreneur, Legal Advisor -

FREEDOMs : Freedom of Mind & Freedom of Soul I FIGHT FOR IT !! tweet me & say hi at: @revolta1919

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Timor-Timur, Di Sana Dahulu Kami Berjuang untuk Negara (Kisah dari Pejuang Veteran Eks Timor-Timur Desember 1975 - Juli 1976)

9 Januari 2016   20:56 Diperbarui: 10 Agustus 2020   13:11 11953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Tulisan ini sejatinya menceritakan pengalaman Ayah saya Kolonel Infantri (Purn) Michael Roderick Ronny Muaya, seorang Veteran Perang Timor-Timur, ketika ikut dalam penerjunan pertama Operasi Seroja tahun 1975, adalah operasi militer yang pertama untuk merebut Timor Portugis untuk berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Sebelumnya pernah saya publikasikan pada blogs pribadi saya. Sengaja saya publish kembali pada rubrik Kompasiana dengan sebuah maksud agar Bangsa Indonesia tidak melupakan sejarah Integrasi Timor-Timur (sekarang Timor Leste) kedalam NKRI, karena baik atau buruk sejarah suatu bangsa hendaknya tidak pernah dilupakan karena didalamnya ada suatu pembelajaran untuk kebaikan Bangsa ini dimasa depan.
     

Sebuah Pengantar ...............

Di suatu hari ketika saya sedang merapihkan gudang rumah, mata saya teralih kepada sebuah tas usang berwarna coklat yang terbuat dari kulit. 

Entah mengapa saya tertarik untuk meraihnya saat itu.Ada sebuah tulisan berwarna hitam dari spidol permanent pada muka tas itu bertuliskan; “Kulakukan ini demi keluargaku”. 

Saya terhenyak, pikiran saya menerawang teringat pada sebuah cerita ketika ayah saya di tahun 1975 adalah salah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari ribuan prajurit yang ikut dalam OPERASI SEROJA, sebuah nama sandi operasi dalam rangka meng-Integrasi Timor Portugis (yang kemudian selama integrasi namanya menjadi Timor-Timur disingkat Tim-Tim) untuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Latar belakang operasi tersebut adalah menerima keinginan sebagian rakyat Timor Portugis yang menghendaki masa depan Timor Portugis menjadi bagian dari NKRI setelah sekian lama dijajah oleh kolonialis Portugal/Portugis, latar belakang lainnya adalah ketika Timor Portugis sedang porak-poranda akibat Perang Saudara sepeninggal pemerintah kolonialis Portugal, pihak Fretilin yang berhaluan Marxisme (Komunis) memproklamasikan kemerdekaan secara sepihak sebuah negara baru berideologi Komunis.

Didukung atmosfer situasi dunia saat itu ada pada era perang dingin antara dua blok besar yaitu Barat (Amerika) dan Timur (Uni Sovyet) dan Indonesia yang memiliki trauma kelam kepada Komunisme merasa tidak dapat menerima ada negara komunis berdiri diserambi halaman Republik Indonesia, maka atas dasar alasan tersebutlah Pemerintah Indonesia saat itu memutuskan merebut Timor Portugis untuk dijadikan bagian dari NKRI.

Selama di Timor Portugis, operasi demi operasi dilaksanakan oleh Ayah saya berserta pasukannya, hingga akhirnya ditahun 1978 terjadilah suatu peristiwa yang akan mengubah kehidupan Ayah dan keluarga kami selamanya. 

Pada sebuah pertempuran hebat, Ayah tertembak oleh musuh di lengan kirinya, yang mengakibatkan harus diamputasi. Diceritakan oleh Ibu dan Pamanku, ketika Ayah tersadar di Rumah Sakit dan mengetahui tangannya tidak ada, Ayah meronta-ronta tidak dapat menerima kenyataan sambil berteriak; “Bunuh saja saya dokter!!, bunuh saja saya!!”.

Ayahku berpikir, apalah guna seorang prajurit infantri yang cacat fisiknya, saat itu dia yakin kehidupan dan kariernya sebagai seorang Perwira muda telah hancur.

Ayah saya adalah lulusan Akademi Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Magelang, litting/angkatan 1969 – 1972, Akabri mencetak calon-calon perwira terbaik TNI yang dipersiapkan berkiprah di pemerintahan dimasa yang akan datang.

Yang saya tahu sendiri dari pengakuan Ayah, dia sebenarnya memiliki cita-cita menjadi Gubernur selepas karier militernya kelak. Namun ternyata takdir berkata lain.

Ayah sempat bertahan menjalani kehidupan militer pasca perang Tim-Tim, namun hanya sebagai pelaksana tugas-tugas administrasi. Hal tersebut tentu saja suatu keadaan yang membuatnya tertekan secara mental, karena seorang prajurit infantri seharusnya bertempur bukan di balik meja. Namun Ayah bertahan, dia tidak bisa memikirkan dirinya sendiri, dia memiliki anak dan istri yang harus dinafkahi.

Sebenarnya bisa saja Ayah egois dengan selamanya berkarier di dunia militer, Ayah memiliki kesempatan untuk sekolah lagi di Sekolah Staf Angkatan Darat (Seskoad) yang menunjang karir militernya, namun jenjang karir seorang tentara yang sehat secara fisik dengan tentara yang cacat fisik akan berbeda, tentara yang cacat fisik kenaikan jenjang karirnya akan lebih lama, yang otomatis secara pendapatan finansial juga akan seadanya. 

Ayahku berpikir realistis, dia memikirkan kebutuhan ekonomis keluarganya, dia tahu jika dia bertahan di dunia militer maka akan kurang terpenuhi.

Suatu ketika dia mendapat pilihan karir, yaitu dikaryakan. Maksudnya, seorang anggota TNI dapat berkarir di dunia sipil, khususnya pada perusahaan milik Negara atau Badan Usaha Milik Negara, yang masa dinas berkarir di dunia sipil tersebut dapat dikonversi pada kenaikan kepangkatan di militer.

Namun demikian untuk lebih memenuhi kualifikasi berkarir didunia sipil Ayah mengambil pendidikan tinggi/kuliah. Dia kemudian kuliah di Perguruan Tinggi Hukum Militer/Akademi Hukum Militer (PTHM/AHM), ketika lulus Ayah menyandang gelar Sarjana Hukum (SH).

Akhirnya ayah berkarir di dunia sipil yaitu di PERTAMINA, yang memang secara finansial dan ekonomis kehidupan keluarga kami terangkat. Namun kenyataannya tidak mudah juga bagi Ayah berkarir di dunia sipil. 

Pernah suatu kali pada saat makan malam bersama dia bercerita di kantor mendapat perlakuan dipandang sebelah mata atas kekurangan fisiknya, kemudian Ayah bertanya kepada kami anak-anaknya; “apakah kalian malu memiliki bapak yang bertangan buntung?”, tegas saya dan adik saya bilang; “tidak!,malahan kami bangga!”.

Dan memang sudah sepatutnya kami bangga, Ayah telah berkorban bagi Negara Indonesia dan Ayah berkorban bagi kami sekeluarga. Meskipun dengan kecacatan fisiknya Ayah tidak pernah membutuhkan rasa kasihan, dia membuktikan dia mampu. 

Karena perjuanganyalah saya dan adik dapat bersekolah hingga ke pendidikan tinggi sampai akhirnya kami mandiri, kemudian kehidupan ekonomi keluarga kami boleh dibilang lebih dari cukup.

Hal lain yang membuat saya bangga adalah meskipun lengan kiri Ayah tidak ada namun dia dapat mengemudikan kendaraan roda empat/mobil secara sempurna!, bahkan ketika bertugas di Cirebon selama ± 4 tahun, maka selama itulah setiap akhir pekan Ayah mengendarai sendiri dari perjalanan pulang pergi Cirebon – Bekasi (rumah) yang kala itu waktu tempuh berkendara selama kira-kira 5 jam.

Tulisan ini tidak akan mengulas secara mendalam sejarah Integrasi Timor Portugis atau Timor Timur ataupun Timor Leste dengan NKRI pada tahun 1975 hingga pada tahun 1999 akhirnya terlepas dari NKRI setelah ± 23 tahun menjadi provinsi yang ke-27, saya tahu hal tersebut akan mengundang perdebatan karena sudut pandang kaca-mata yang berbeda mengetahui, memahami dan menyikapinya.

Kenyataannya adalah bangsa Indonesia saat ini banyak yang melupakan bahkan tidak mengetahui bahwa ribuan prajuritnya pernah berjuang dan bertempur di sana.

Tidak sedikit sahabat-sahabat saya yang tidak pernah mengenal ayahnya secara dekat, karena ayahnya gugur saat bertugas di Tim-Tim, yang ayahnya bisa kembali bersama keluarga pun harus menjalani perjuangan hidup yang berat dikarenakan kecacatan fisiknya.

Adalah kebahagiaan dan kebanggan bagi anak-anak veteran Pejuang Operasi Seroja, apabila apa yang ayah kami berikan bagi Bangsa dan Negara Indonesia selalu dikenang dan diingat dalam sejarah Negeri ini.

Sebagaimana Ayah saya pernah berkata, jika suatu saat tiba saatnya dipanggil ke hadirat Tuhan, dia ingin dikenang dan diingat sebagai seorang Prajurit yang pernah berjuang melaksanakan tugas Negara.

Oya, tas coklat usang bertuliskan “Kulakukan ini demi keluargaku” yang saya ceritakan diawal pengantar ini?, itulah tas yang digunakan Ayah selama dia kuliah.

Baca juga: https://www.kompasiana.com/revolta19/569a8ed8c323bd900b4e0c73/timor-timur-disana-dahulu-kami-berjuang-untuk-negara-sebuah-kisah-dari-pejuang-veteran-eks-timor-timur-desember-1975-april-1976-bagian-1 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun