Mohon tunggu...
Bobby Revolta
Bobby Revolta Mohon Tunggu... Artrepreneur, Entrepreneur, Legal Advisor -

FREEDOMs : Freedom of Mind & Freedom of Soul I FIGHT FOR IT !! tweet me & say hi at: @revolta1919

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penjual Kecapi

6 Januari 2016   11:15 Diperbarui: 6 Januari 2016   12:16 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari Sabtu biasanya saya mencuci mobil, setelah seminggu baru hari sabtulah ada waktu untuk mencucinya. Itu pun setelah saya berhasil melawan rasa malas yang sangat. Alhasil waktu mencuci mobil pun tidak lagi bisa dikatakan pagi, sekitar pukul 11 menjelang siang.

Jangan ditanya panasnya kota Serang Banten pukul 11 siang, rasa-rasanya sudah seperti tepat pukul 12 siang, matahari tepat diatas ubun-ubun kepala. Hampir saja saya menghentikan kegiatan mencuci mobil dan berniat menundanya sampai nanti sore atau sekalian esok hari minggu pagi jika saja debu dan noda lumpur yang menempel pada badan mobil tidak terlalu mengganggu estetika. Ya sudahlah, kembali saya membulatkan tekad; “harus gw cuci, titik!”. Ditengah saya mencuci, samar-samar saya mendengar suara seperti orang meneriakkan sesuatu namun dengan tingkat desibel yang rendah, cenderung seperti suara orang yang menahan rasa sakit demam. Sejenak saya hentikan kegiatan mencuci dan mencari dari mana suara  berasal.

Di luar pagar rumah, tepatnya di jalan aspal depan rumah mata saya menangkap seorang kakek mengenakan pakaian lusuh memakai peci dan sarung dijadikan seperti sabuk sedang memikul dua bakul berisi beberapa plastik kresek yang entah apa isinya. Jalannya nampak gemetaran, lambat sekali langkahnya……tertatih.  Iba saya melihatnya dan saya rasa siapapun akan merasa iba juga melihat si kakek.

“Ki* !”, saya memanggilnya. “Jualan apa ki?”, tanya saya. “Naak, tolong naak beli dagangan saya”, balas si kakek. Saya menghampiri dan memeriksa apa isi plastik kresek dagangannya. Ternyata berisi buah kecapi yang entah berapa buah isi tiap kreseknya, saya mengira-ngira kurang lebih mungkin berisi 20 sampai 25 buah kecapi.  Saya lihat plastik kreseknya masih banyak, tanda belum ada satupun orang yang membeli. “Berapaan harganya ki?”, tanya saya. “Berapa aja nak, tolong aki buat biaya berobat”, jawabnya.

“Waduh, kasian banget, udah sepuh banget gitu masih ngider jualan buah kecapi buat biaya berobat”, pikir saya iba. “Sebentar ya ki saya ambil uang”, kata saya. Di dompet saya tersisa beberapa lembar uang sejumlah 25.000 rupiah, saya pikir cukuplah untuk membeli buah kecapi si kakek, lagi pula saya sebenaranya tidak berminat kepada buah kecapinya, lebih karena kasihan kepada si kakek. “Ini ki, saya beli seplastik”, kata saya menyodorkan uang kepada si kakek. “Berapa itu nak?, mata kakek sudah kurang lihat”, jawab si kakek. “dua puluh lima ribu ki”, jawab saya. “Naak, seplastiknya lima puluh ribu”, balas kakek. “Ko mahal ki?”, tanya saya sambil membatin jika tadi si kakek bilangnya bayar berapa saja, saya pikir seikhlasnya.

“Kakek metiknya jauh nak, 10 kilo jalan kaki dari sini”, jawab si kakek. Di dompet saya tidak ada lagi uang tersisa, karena memang belum sempat ke ATM. “Wah, saya ga ada lima puluh ribu ke, cuma ada dua lima”, jawab saya. “ga bisa nak, saya ngambilnya jauh, seplastik lima puluh ribu nak, buat biaya berobat”, balasnya lagi.

Saya tertegun, “gini aja ki, ini dua lima ribu buat aki, saya ambil 5 buah kecapi aja”, kata saya. Kakek penjual kecapi setuju, lalu kemudian dia berlalu. Saya pun melanjutkan mencuci mobil.

Malam harinya adik ipar saya yang sudah lama menetap di kota Serang menyambangi rumah saya dan keluarga yang baru sekitar 2 minggu pindah tinggal di kota Serang. Senda gurau, cerita sana-sini banyak hal, kemudian saya bercerita pengalaman saya tadi siang pertemuan dengan kakek penjual buah kecapi. “Ooo, kakek-kakek jualan buah, ciri-cirinya pake baju lusuh, celana lusuh, pake peci terus sarung jadi iket pinggang, jalannya aga gemeter, matanya katanya kurang liat?”, begitu adik ipar membeberkan ciri-ciri si kakek yang sama persis dengan yang saya temui tadi siang, saya mengiyakan.

“Bukan pedagang baru a*, dia udah lama ngider di komplek sini terus kalo ketemu orang selalu nawarin dagangan buah sambil bilang butuh biaya berobat, dia jual pasti seplastik-seplastik maunya dibawar paling murah lima puluh ribu, terakhir saya liat dia jualan salak”, jelas adik ipar saya.  

catatan :

  1. Aki = Kakek (sunda)
  2. Aa = Kakak laki-laki (sunda)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun