Tahun 2024 akan menjadi tahun politik besar bagi Indonesia, pada tahun tersebut Indonesia melakukan pesta demokrasi yang cukup besar mulai dari eksekutif, legislatif, sampai pada pemilihan kepala daerah.Â
Tidak dapat dipungkiri pesta demokrasi ini pun akan diwarnai dengan hadirnya berbagai macam partai politik yang ikut memeriahkan dengan mengusung calon-calonnya untuk maju dalam pemilihan umum (pemilu).Â
Sejatinya hadirnya partai politik (parpol) secara harfiah merupakan bentuk yang baik dalam pelaksanaan demokrasi di suatu negara. Hanya dengan kendaraan parpol para politisi memiliki legitimasi dalam melakukan tindakan politik baik di dalam eksekutif maupun legislatif.Â
Dari parpol ini juga lah para politisi dapat menghubungkan antara kepentingan masyarakat dan tindakan negara melalui perwakilannya, program-program partai, serta tuntutan-tuntutan politik yang ia buat. Parpol memang memiliki tempat strategis dalam berbagai hal di dalam sistem politik di Indonesia sebab ia lah simpul politik yang hidup di masyarakat sipil serta menjadi organ yang bisa memastikan akuntabilitas pemerintahan.
Dengan adanya parpol ini juga, seluruh warga negara seharusnya dapat berpartisipasi karena pada dasarnya seluruh individu bebas untuk dipilih dan memilih di dalam suatu pemilihan sehingga perekrutan dari parpol ini pun bersifat formal bebas. Akan tetapi, meskipun pada hakikatnya papol seharusnya keanggotaannya bersifat bebas, para anggota tetap harus patuh pada satu visi dan misi partai politik tersebut ketika ia pada akhirnya sudah menjadi anggota partai politik.Â
Sejatinya hal ini bukan lah suatu yang buruk mengingat memang diperlukan kesamaan nilai dan tujuan antar anggota partai politik untuk dapat menunjukan kekuatan kepada publik mengenai partai politiknya akan tetapi hal ini akan menjadi masalah ketika dalam implementasi dan penerapannya pun para anggota parpol yang telah menjadi perwakilan baik di legislatif maupun eksekutif tidak memiliki kebebasan untuk berpendapat yang tidak senada dengan parpol.Â
Hal ini disebabkan karena setelah ia mengikrarkan diri sebagai anggota parpol tersebut maka ia secara otomatis memiliki tujuan dan kepentingan politik yang sama dengan apa yang sudah dibangun oleh partai politik tersebut. Sehingga ketika dalam pengambilan suara dalam pelaksanaan voting di dalam fraksi pun seringkali suatu fraksi memiliki suara yang sama tanpa dissenting opinion yang dapat disampaikan.Â
Padahal perlu adanya pembahasan dan penyampaian mengenai dissenting opinion ketika suatu fraksi menyatakan sikapnya, hal ini bertujuan supaya seluruh pandangan anggota fraksi tetap terwadahi dan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Akan tetapi, karena seringkali suatu fraksi selalu menyatakan satu suara berdasarkan voting maka hal ini akan berdampak pada kemungkinan suara tersebut menjadi tidak representatif kepada seluruh anggota fraksi.Â
Tidak representatifnya suara tersebut juga akan menurunkan kepercayaan publik terhadap sikap suatu partai sebab tidak menutup kemungkinan sejatinya sikap partai tersebut pun hanya didasarkan pada tujuan politik tertentu bukan karena keadaan nyata di dalam masyarakat.Â
Kepercayaan ini turun utamanya ketika suatu partai politik hanya menggunakan pendekatan dengan masyarakat apabila menuju pemilihan umum sehingga membutuhkan suara masyarakat akan tetapi ketika sudah terpilih mereka tidak benar-benar melakukan penjaringan aspirasi dan pengamatan kepada masyarakat dalam menentukan sikap politiknya. Hal ini lah yang kerap kali membuat masyarakat tidak lagi mempercayai partai politik sebagai penyalur aspirasi dan keresahan yang ada di dalam masyarakat.
Tidak hanya itu, sikap suatu parpol di dalam parlemen yang hanya berdasarkan pada tujuan politik tertentu juga seringkali justru menimbulkan penolakan di dalam masyarakat.Â
Lalu pertanyaan terbesar kepada anggota parpol yang menyebut dirinya sebagai wakil rakyat yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat baik di tingkat negara maupun daerah, suara siapa yang kalian suarakan ketika justru frasa masyarakat yang ada di jabatan kalian saja merasa dirugikan dengan sikap yang kalian ambil?Â
Tentu saja ini bukan merupakan indeks dan realita yang baik mengingat seharusnya adanya parpol yang perekrutannya bersifat terbuka dan bebas bisa menjaring suara sebanyak-banyaknya dan menjadi wadah selebar-lebarnya tetapi justru demokrasi tersebut hanya berkutat dengan tujuan tertentu partai yang tidak dapat ditentang atau diganggu gugat.
Saat ini pun, parpol menjadi lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan yang rendah dari masyarakat melebihi rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Presiden dan lembaga peradilan.Â
Hasil survei ini diperoleh dari Lembaga Survei Indonesia yang menyebutkan bahwa parpol menduduki dua besar lembaga dengan tingkat kepercayaan terendah di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa parpol sudah seharusnya merefleksikan diri bagaimana bisa lembaga yang nantinya akan merepresentasikan suara rakyat tetapi justru mendapatkan tingkat kepercayaan yang rendah dari masyarakat. Tidak hanya sampai di situ, citra politik yang kotor telah mendarah daging tertanam di dalam kehidupan masyarakat sendiri. Bahkan masyarakat telah meyakini bahwa partisipasi masyarakat dalam dunia politik tidak akan berdampak apapun dan dianggap sia-sia. Akhirnya hal ini menyebabkan sikap apatis masyarakat terhadap partai politik, seringkali masyarakat akhirnya melakukan pemilihan khususnya pemilihan legislatif dengan asal-asalan tanpa melakukan background checking baik calon legislatif yang dipilihnya atau visi dan misi partai pengusungnya. Padahal satu suara yang diberikan sejatinya tetap akan mempengaruhi perolehan suara partai tersebut untuk memenuhi ambang batas partai untuk bisa duduk di kursi DPR atau mengusung calon Presiden.Â
Dari sini dapat disimpulkan bahwa dari rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik akan berdampak pada sikap tak acuh masyarakat untuk memilih partai atau anggota legislatif sesuai dengan kemampuan dan kriteria pemilih, dari hal tersebut maka akan berdampak juga pada kualitas suara. Suara yang masuk tidak akan menjadi suara murni karena kepedulian, aspirasi, dan pengetahuan terkait partai politik tersebut tetapi justru akan lebih bersifat asal-asalan untuk menggugurkan kewajiban memilih bagi warga negara.
Kualitas suara dalam konteks ini dimaksudkan sebagai bentuk suara yang diberikan dalam pemilu yang mana apabila pemilih yaitu masyarakat hanya memberikan suaranya tidak berdasarkan pengetahuan terhadap calon yang dipilihnya maka dapat dikategorikan bahwa kualitas suara tersebut bukanlah kualitas suara yang murni dan baik. Menurunnya kualitas suara yang diberikan masyarakat ini satu sisi merupakan kesalahan dari partai politik juga yang tidak gencar memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai visi, misi, tujuan, dan apa yang akan diusung oleh para calonnya dalam pemilu tersebut. Hal ini menyebabkan akhirnya masyarakat memilih para calon atau partai politik yang terlihat dan terdengar besar saja tetapi ia sendiri pun juga tidak mengetahui siapa dan apa yang akan diusung oleh para calon dan parpol tersebut. Hal ini akan berdampak pula pada stagnannya perolehan suara antar parpol yang mendominasi kursi. Seperti contoh apabila partai A telah mendominasi dengan nama yang besar maka partai A tersebut bisa berkali-kali menduduki tiga besar perolehan suara dalam beberapa periode pemilihan. Sedangkan, apabila terdapat partai baru yang memiliki visi, misi, dan kemampuan yang mumpuni tetapi belum memiliki image besar seperti partai A, maka akan sulit bagi ia untuk mendapatkan perolehan kursi. Hal ini juga terjadi disebabkan karena stigma dari masyarakat tersebut yang cenderung apatis dan tidak ingin tau menau mengenai kompetensi partai baru yang bisa saja memberikan arah revolusi pada sistem politik di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa memang benar kuantitas pemilih merupakan salah satu hal yang menjadi kunci dari perolehan kursi partai politik. Akan tetapi perlu diwaspadai bahwa kuantitas yang banyak pun belum terntu memiliki kualitas, dan kuantitas yang sedikit belum tentu memiliki kualitas yang buruk. Sebab segala hal bisa terjadi di dalam dunia politik. Tidak menutup kemungkinan bahwa politik justru akan merobohkan individu-individu berkualitas demi menciptakan kursi-kursi mayoritas yang membawa keburukan bagi negara. Tidak menutup kemungkinan bahwa politik justru akan membuat suatu yang baik menjadi buruk dan tidak memiliki nilai di dalam masyarakat itu sendiri.
Dampak yang dirasakan dari hal tersebut pun akan sangat fundamental dan mengakar. Seperti contohnya, dalam pemilu partai politik akan mengusung nama-nama calon anggota legislatif. Apabila ternyata partai politik tersebut memiliki nilai dan visi misi yang justru terkesan oportunis dan untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu maka sangat dimungkinkan bahwa calon dari partai politik tersebut akan terdoktrinisasi nilai dan visi misi yang buruk juga. Padahal ketika partai politik tersebut mendapatkan perolehan suara di atas ambang batas dan mendapat kursi di parlemen maka ia akan mengirimkan para calon anggota legislatifnya untuk menjadi anggota legislatif. Semakin besar perolehan suara yang didapatkan maka semakin banyak pula perolehan kursi yang dapat diisi oleh partai tersebut. Semakin banyak anggota legislatif yang menjadi anggota fraksi partai tersebut maka semakin besar pula kuasa dan pengaruh partai politik tersebut dalam penentuan keputusan oleh DPR RI. Padahal sebagai anggota legislatif ia memiliki fungsi yaitu legislasi, pengawasan dan penganggaran. Salah satu peran krusial dari legislatif ialah legislasi, yang mana dari fungsi legislasi ini DPR memiliki tugas untuk membuat, merancang, dan membahas suatu peraturan perundang-undangan yaitu undang-undang. Hal ini menjadi krusial karena undang-undang sendiri akan menjadi hukum yang hidup di dalam masyarakat dan menjadi dasar hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia yang nantinya akan diturunkan ke berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Apabila undang-undang ini dibentuk, dirumuskan, dan disusun oleh para anggota legislatif yang memiliki kepentingan-kepentingan oportunis atau kepentingan politik tertentu yang dibawa oleh partai atau kelompoknya maka undang-undang sebagai produk hukum yang seharusnya bebas dari intervensi yang tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan undang-undang baik secara materiil ataupun secara formil. Apabila undang-undang sebagai produk hukum yang nantinya akan diikuti oleh seluruh masyarakat justru malah menjadi produk hukum yang secara materiil atau formil bertentangan lalu apa yang bisa diharapkan dari hukum di negara kita?
Tentu saja hal ini akan semakin menunjukan bahwa politik dan hukum memiliki kaitan yang sangat erat satu sama lain dan keduanya pun saling berjalan satu arah yang mana apabila proses berpolitik mengalami kemunduran maka produk hukum buatan legislatif pun akan mengalami kemunduran dan kecacatan pula. Oleh sebab itu, partai politik yang memiliki banyak pengaruh terhadap sendi kehidupan di Indonesia baik secara politik dan hukum seharusnya bisa menjamin organnya menjadi organ yang bersih dan tidak memiliki kepentingan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh negara kita. Selain itu partai politik juga harus berusaha untuk bisa menghasilkan suara yang tidak hanya besar secara kuantitas tetapi juga berkualitas dengan memberikan pengetahuan mengenai nilai-nilai, visi, misi, dan tujuannya kepada para calon pemilih. Parpol perlu melakukan revolusi besar-besaran mular dari cara dan strategi kampande, bagaimana mereka menyusun nilai, visi, misi, dan tujuan, bagaimana pengawasan terhadap setiap calonnya, bagaimana mekanisme pemilihan calon legislatif yang berhak menduduki kursi perolehan parpol tersebut, sampai bagaimana para anggota tersebut menepati setiap janji kampanye mereka sehingga hal ini pun akan meningkatkan persepsi publik pada partai politik yang akan berpengaruh pula pada partisipasi yang berkualitas dari masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H