Equality before the law menjadi salah satu asas yang seharusnya dilakukan dalam setiap proses peradilan. Hal tersebut merupakan bukti bahwa hukum tidak memandang sebelah mata seorang individu baik ia sebagai tersangka ataupun korban, hukum harus mendengar dan memberikan hak yang setara antara kedua belah pihak. Hal tersebut pun ada dan lahir untuk menjamin hak asasi manusia (“HAM”) setiap subjek hukum.
Negara pun memiliki tanggung jawab untuk menjalankan setiap alur beracara yang sesuai dengan asas-asas hukum acara dan prinsip HAM yang mana hal ini ditugaskan kepada para aparat penegak hukum (“APH”) untuk mereka bisa menegakan hukum sebagaimana mestinya. Aparat penegak hukum di sini ialah setiap organ yang melakukan penanganan perkara dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai memutuskan suatu perkara.
Utamanya dalam hal ini ialah diperlukan hakim yang bijaksana dan mengerti hukum secara keseluruhan sesuai dengan bunyi adagium ius curia novit yang berarti seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga putusan hakim haruslah berdasarkan pengetahuan paling baik dari hakim tersebut.
Selain itu, hakim haruslah bersifat bebas aktif dalam memutus suatu perkara, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yaitu “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan” Pasal ini eksplisit menyebutkan bahwa hakim tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun karena hakim harus mandiri dalam membuat suatu keputusan.
Akan tetapi dalam praktiknya seringkali kasus yang rumit maka membutuhkan pembuktian dan analisa yang rumit pula baik bagi penyidik, jaksa, ataupun hakim. Hal ini lah yang akhirnya membuat beberapa putusan pengadilan baik di tingkat pertama, banding, kasasi, atau peninjauan kembali terjadi kesalahan yang mengakibatkan tidak tepatnya hakim dalam memutus perkara.
Seperti contohnya dalam delik pidana mengenai pembunuhan berencana yang didakwakan kepada terdakwa, padahal seluruh bukti menunjukan bahwa pembunuhan tersebut bukan pembunuhan berencana akan tetapi pada akhirnya majelis hakim tetap memutuskan kasus tersebut sebagai pembunuhan berencana.
Begitu pula sebaliknya, kasus yang didakwakan pembunuhan berencana dengan seluruh bukti menguatkan dakwaan, akan tetapi hakim justru memutus terdakwa dengan pembunuhan biasa.
Hal serupa terjadi pula pada Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 1474/Pid.B/2019/PN dengan terdakwa yaitu Rudianto dan korban bernama Halimah yang dalam hal ini juga berstatus sebagai istri terdakwa. Kasus ini bermula pada terdakwa yang menduga bahwa Halimah telah berselingkuh dengan seorang laki-laki bernama Wawan yang mana hal tersebut diperkuat dengan bukti percakapan antara Halimah dengan Wawan yang menunjukan adanya hubungan asmara di antara kedunya.
Hal tersebut tentunya membuat Rudianto marah dan berencana untuk membunuh Wawan, rencana tersebut diawali dengan tindakan Rudianto yang membeli pisau di Pasar Kembang Surabaya, Jawa Timur. Setelah itu, Rudianto berniat untuk menemui Wawan dengan membawa pisau tersebut ke Bali yang mana saat itu istrinya memang sedang tinggal di Bali begitu pula dengan Wawan yang menyewa kos di Bali. Saat tiba di Bali, Rudianto langsung menemui Halimah terlebih dahulu untuk menanyakan tempat kos dari Wawan, akan tetapi Halimah justru meminta uang kepada Rudianto dengan memaksa Rudianto memberikan dompetnya. Dompet tersebut pun diberikan kepada Halimah dengan isi uang di dalamnya sebesar Rp 1.700.000,00, setelah mendapatkan uang tersebut Halimah mengembalikan dompet Rudianto dan berkata “Sudahlah jangan urusin saya” lalu Rudianto menjawab “Jangan begitu kamu, saya cuman tanya di mana tempat kos kamu sekarang, kalau sudah punya suami bilang terus terang” Lalu Halimah kembali menjawab “Suami suami matamu” Karena Halimah yang terus menyangkal akhirnya Rudianto menunjukan bukti perselingkuhan antara Halimah dan Wawan yang ada di dalam percakapan, lalu Rudianto kembali bertanya “Di mana Wawan?” Halimah tidak menjawab dan justru mengusir Rudianto dengan berkata “Sudah-sudah kamu pulang saja tidak usah mengurusi saya”
Hal ini tentu membuat Rudianto marah dan kesal karena Halimah justru emosi, mengusir dia, dan tidak memberi tahu di mana kediaman Wawan, akhirnya karena Rudianto tersulut emosi ia mengeluarkan pisau yang telah ia bawa lalu menusukanya ke dada Halimah, perut dan punggung Halimah sampai Halimah meninggal setelah itu ia menendang kepala Halimah.
Kasus ini didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan alternatif yang mana dakwaan primair menggunakan Pasal 340 KUHP, dakwaan subsider Pasal 338 KUHP, dan dakwaan subsider bertingkat Pasal 351 ayat (3). Dalam putusannya, majelis hakim pun mengabulkan gugatan primair JPU yaitu Pasal 340 KUHP dengan hukuman penjara selama 16 tahun. Dari putusan yang dijatuhkan tersebut pasal yang dikabulkan oleh majelis hakim dirasa tidak tepat sebab pasal yang digunakan ialah pasal pembunuhan berencana sedangkan seluruh bukti menunjukan bahwa tindakan terdakwa ialah pembunuhan biasa. Tentu saja dalam hal ini akan merugikan terdakwa padahal seharusnya hakim bisa mempertimbangkan seluruh bukti dan saksi guna mendakwa terdakwa menggunakan Pasal 338 KUHP.