Bentrokan terjadi antara demonstran anti pemerintah Irak dan para pendukung ulama Syiah Muqtada al-Sadr di Najaf, Irak Selatan pada Rabu (5/2) waktu setempat. Kondisi ini terjadi pasca ditunjuknya Mohammed Allawi sebagai Perdana Menteri menggantikan Adel Abdul Mahdi yang mundur pada akhir November tahun lalu akibat meluasnya protes anti pemerintah saat itu.
Melansir dari Reuters, setidaknya delapan orang tewas, dan 20 orang lainnya terluka dalam bentrokan yang terjadi saat para pendukung al-Sadr mencoba menghentikan aksi massa protes yang memblokir jalan.
Al-Sadr, pekan lalu menunjukkan dukungannya atas pengangkatan Mohammed Allawi sebagai Perdana Menteri dan menegaskan pada para pendukungnya untuk membantu pihak berwenang menciptakan kembali kondisi yang kondusif agar kegiatan sehari-hari dapat berjalan seperti sediakala. Meski tidak melarang aksi protes anti pemerintah berlanjut, namun pada saat kejadiaan bentrokan antar kedua kubu tidak dapat dihindari.
Terpecahnya Kelompok Demonstran
Bentrokan yang terjadi disinyalir dipicu oleh sudah tidak adanya lagi dukungan yang diberikan oleh al-Sadr dan pengikutnya terhadap para demonstran anti pemerintah. Al-Sadr sebelumnya diketahui mendukung protes anti pemerintah yang terjadi sejak Oktober tahun lalu.
Semula, protes yang terjadi di Baghdad dan kota-kota selatan Irak itu merupakan bagian dari sebuah tuntutan reformasi rakyat Irak terhadap para elite politik yang berkuasa pasca invasi AS tahun 2003. Pemerintah Irak dinilai gagal dalam mengatasi sejumlah masalah, diantaranya masalah korupsi, layanan publik yang buruk, tingginya pengangguran dan adanya campur tangan asing. Demonstran-pun menuntut adanya perombakan dalam pemerintah dengan diadakannya pemilihan umum lebih awal serta adanya akuntabilitas.
Keberadaan al-Sadr dan para pendukungnya dibarisan protes anti pemerintah dinilai dapat memberikan sedikit tekanan kepada petugas keamanan dari tindakan represif karena al-Sadr memiliki pengaruh di parlemen dimana koalisi Sairoon (koalisi antara pendukung al-Sadr (Sadris) dengan Partai Komunis Irak) memenangkan kursi terbanyak pada pemilihan parlemen tahun 2018.
Selain itu, al-Sadr juga mendukung persediaan para demonstran dan perlindungan dari kelompok-kelompok bersenjata pro-Iran yang mendukung pemerintahan Irak. Benar saja, seperti yang diberitakan oleh Reuters, pasca mengutarakan mundur dari aksi protes, para demonstran sampai hari ini mengalami bentrok dengan petugas keamanan dan tenda-tenda mereka diserang oleh kelompok bersenjata tidak dikenal.
Dilansir dari Aljazeera, perubahan sikap Al Sadr itu bermula pada akhir bulan lalu (24/1) dimana ia bersama sepuluh ribu orang memilih untuk melakukan aksi protes menyerukan keluarnya pasukan AS di Irak sebagai tanggapan atas serangan AS pada awal Januari (3/1) yang menewaskan Petinggi Militer Iran Qassem Soleimani dan juga Komandan milisi Irak, Abu Mahdi Al Muhandis di Bandara Internasional Baghdad Irak.
Adapun kematian Soleimani telah memicu ketegangan antara Amerika dan Iran. Petinggi Militer yang tewas itu adalah seorang Jenderal, Kepala Korps Quds Garda Revolusi Iran yang terkenal dekat dengan elite politik dan juga pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Khamenei. Sebagai Kepala Korps Quds Garda Revolusi Iran, Soleimani memimpin penanganan operasi Iran di luar negeri. Ia terkenal sebagai sosok yang jenius, karismatik dan dicintai prajuritnya.
Ketegangan itu berdampak buruk terhadap kedaulatan Irak. Pasca kematian Soleimani, Iran beberapa kali mencoba mengempur pangkalan AS di Irak dimana pasukan AS ditempatkan untuk sebuah aliansi AS-Irak dalam menanggulangi keberadaan ISIS.
Jelas kondisi ini melemahkan kedaulatan Irak dan mengganggu stabilitas keamanan negara itu. Apalagi Irak tengah menghadapi krisis politik dan kekosongan pemimpin pasca mundurnya Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi pada akhir November tahun lalu. Aksi protes akhirnya semakin keras meyerukan bebasnya Irak dari intervensi dan kepentingan asing baik AS maupun Iran.
Keputusan al-Sadr untuk fokus pada keberadaan AS di Irak (dalam hal ini keluarnya pasukan AS dari Irak) telah memciptakan tekanan baru untuk demonstran yang telah bertahan selama berbulan-bulan menuntut reformasi di tubuh pemerintahan terjadi. Meski para demonstran mengaku belum menyerah, namun kondisi yang kurang kondusif dengan adanya sejumlah bentrokan yang terjadi semakin memperparah stabilitas negara itu.
Siapa Muqtada al-Sadr?
Muqtada al-Sadr merupakan putra keempat dari almarhum Ayatollah Mohammad Sadeq al-Sadr, seorang ulama Syiah yang dihormati. Berasal dari keluarga ulama, al-Sadr sudah memiliki koneksi dan pendukung Syiah yang kuat.
Peran al-Sadr mulai terlihat pada saat invansi AS ke Irak dimana ia menentang kepemimpinan otoritas sementara dan kehadiran militer AS di Irak. Dilansir dari Aljazeera, Pendukung al-Sadr atau Sadris mulai menyediakan layanan di seluruh kota Sadr berupa kesehatan, makanan dan juga air bersih. Selain itu, al-Sadr juga dibantu oleh adanya pendukung Sadris bersenjata yang disebut dengan tentara al-Mahdi.
Tindakan yang dilakukan oleh al-Sadr telah membuatnya dikenal sebagai pemimpin Syiah yang nasionalis dan dapat menggerakan kaum miskin Syiah di Irak untuk mendukungnya. Diluar itu, masyarakat Irak pada umumnya mendukung al-Sadr yang berani menentang keberadaan AS di Irak.
Pada tahun 2005, al-Sadr dan pendukungnya Sadris memasuki pemerintahan melalui aliasi kelompok-kelompok politik Syiah dibawah blok Aliansi Irak Bersatu. Fokus aliansi saat itu adalah untuk 'mengeluarkan' AS dari Irak. Lebih lanjut dalam pemberitaan Aljazeera, sejak menjabatnya Nouri al-Maliki sebagai Perdana Menteri (2006-2014) berbagai peristiwa bentrokan-pun terjadi antara pendukung Sadris dengan pasukan AS dan Irak. Ratusan orang tewas dalam peristiwa menentang keberadaan AS itu.
Al-Sadr kemudian diketahui muncul kembali dengan aliansi Sairoon (aliansi antara pendukung Sadris dengan Partai Komunis Irak) yang lebih solid dan kuat. Kampanye-nya untuk memerangi korupsi dan mendukung pemerintahan yang lebih independen (non-sektarian) menjadi poin penting dalam mengumpulkan suara rakyat. Aliansi Sairoon-pun akhirnya berhasil memperoleh kursi terbanyak di Parlemen pada pemilihan tahun 2018.
Saat ini, dengan dukungannya dengan penunjukkan Mohammed Allawi sebagai Perdana Menteri, tampaknya semboyan "memerangi intervensi asing" yang selama ini disuarakan al-Sadr menjadi rancu karena Mohammed Allawi didukung oleh partai-partai yang di dukung Iran dan mendominasi pemerintah Irak saat ini.
Dilantiknya Mohammed Allawi sebagai Perdana Menteri
Pasca mundurnya Adel Abdul Mahdi pada akhir November tahun lalu, kekosongan kursi Perdana Menteri akhirnya diisi oleh Mohammed Allawi sebagaimana penunjukkan terhadap dirinya dilakukan oleh Presiden Irak Barham Salih pada Sabtu (1/2) pekan lalu. Allawi diharapkan dalam satu bulan dapat membentuk pemerintahan yang akan disetujui terlebih dahulu oleh parlemen. Allawi ditunjuk sebagai Perdana Menteri sampai pemilihan umum diadakan.
Allawi dulu pernah menjabat sebagai Menteri Komunikasi pada era Perdana Menteri Nouri al-Maliki. Saat dilantik, ia menjanjikan Irak yang lebih baik untuk menjawab seruan para demonstran yang telah mengisi jalanan selama berbulan-bulan. Alawi menjanjikan akan memberantas korupsi, membentuk pemerintahan non-sektarian, menciptakan lapangan pekerjaan, dan juga mencari keadilan kepada para ratusan korban yang meninggal dan ribuaan lain mengalami luka-luka selama protes anti pemerintah berlangsung sejak Oktober tahun lalu.
Meskipun retorika Allawi dinilai cukup menjawab permasalahan para demonstran. Namun, mereka menilai Allawi masih bagian dari elit politik yang berkuasa setelah invansi AS ke Irak 2003. Itu berarti pemerintahan akan masih diisi oleh para politikus yang memiliki 'pemikiran yang sama.' Rakyat lebih memilih adanya pemimpin baru yang tidak berhubungan dengan elit politik terdahulu yang tidak mereka percayai lagi.
Dimensi Lain Krisis Politik Di Irak Pasca Kematian Soleimani
Terpecahnya demonstran anti pemerintah dengan para pendukung al-Sadr membuat situasi krisis politik di Irak memasuki dimensi lain. Tadinya dukungan yang solid antara kedua kubu mungkin mampu membawa perubahan reformasi yang mereka inginkan untuk Irak. Sejauh ini, keberhasilan itu mampu ditunjukan oleh massa demonstran dengan membuat Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi mundur pada akhir November tahun lalu.
Al-Sadr yang memiliki basis yang kuat telah mengambil keputusan yang sulit dan ini semua mungkin dampak dari apa yang dilakukan AS terhadap serangan tiba-tiba di Irak yang menewaskan Soleimani. Konsentrasi al-Sadr terhadap semboyan anti-Amerika-nya kembali menguat disaat AS menjalankan kepentingannya dengan melakukan serangan itu.
Bergesernya sudut pandang politik al-Sadr yang kini terlihat dekat dengan elit politik Irak dukungan Iran memecah suara demonstran terhadap keberadaan al-Sadr sendiri. Keluarnya al-Sadr dan pendukungnya dari barisan protes anti pemerintah mungkin akan berpengaruh terhadap kepercayaan rakyat Irak terhadap al-Sadr dan aliansi politiknya. Meskipun ia telah menegaskan tidak akan melarang aksi protes yang dilakukan demonstran. Namun, bentrokan yang terjadi telah membuat demonstran untuk mencari dukungan lain.
Ini berarti perwujudan terhadap reformasi di tubuh pemerintahan Irak mungkin membutuhkan waktu dan kekuatan lebih ekstra dari para demonstran (untuk mengumpulkan dukungan yang lebih banyak) untuk bisa mengubah pandangan seluruh elit politik, memaksa mereka menjalankan pemilihan umum baru yang lebih awal dan juga pembentukan pemerintahan yang lebih independen serta punya akuntabilitas yang lebih tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H