Mohon tunggu...
Revi Jeane
Revi Jeane Mohon Tunggu... Freelancer - â–«

â–«

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Secercah Harapan Perdamaian di Yaman

7 November 2019   07:59 Diperbarui: 8 November 2019   09:47 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintahan Yaman dan kelompok separatis Yaman Selatan (STC) pada selasa (5/11) menandatangani kesepakatan melalui Perjanjian Riyadh untuk mengakhiri perebutan kekuasaan di selatan Yaman. Kesepakatan ini ditengahi oleh Arab Saudi selama hampir satu bulan perundingan antara kedua pihak.

Sebelumnya, pada bulan Agustus baik pemerintahan Yaman dan kelompok separatis Yaman Selatan (STC) terlibat perebutan kekuasaan di Aden, ibukota sementara Yaman. 

Adapun pertikaian ini telah memecah kekuatan koalisi antara pemerintahan, kelompok separatis Yaman Selatan dan koalisi Arab (Arab Saudi - Uni Emirat Arab (UEA)) dalam memerangi kelompok pemberontak Houthi yang menguasai wilayah utara Yaman.

Dilansir dari Reuters, melalui Perjanjian Riyadh, putra mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman mengatakan bahwa perjanjian ini akan membuka jalan komunikasi untuk mencapai solusi politik dan mengakhiri perang.

Kesepakatan menitikberatkan pada pembentukan kabinet baru yang tidak lebih dari 24 menteri (terdiri dari perwakilan kedua pihak) dalam 30 hari. Selain itu, pasukan militer dan keamanan akan ditempatkan dibawah Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri. 

Kelompok separatis Yaman Selatan juga bersedia bergabung dalam pembicaraan politik apapun untuk mengakhiri perang.

Berawal dari Perlawanan terhadap Pemberontak Houthi

Mulanya, pemerintahan Abd-Rabbu Mansour Hadi pada tahun 2015 mendapat serangan dari kelompok pemberontak Houthi di wilayah utara Yaman. Kaum pemberontak Houthi berasal dari aliran Syiah Zaidi dan disebut-sebut mendapat bantuan dari Iran. 

Penyerangan ini telah memaksa pemerintah untuk keluar dari ibukota Sanaa dan mencari bantuan internasional. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) melalui Koalisi Arab membantu pemerintahan Hadi untuk melawan pemberontak Houthi.

Selain adanya bantuan internasional. Gerakan Separatis Yaman Selatan juga turut membantu perjuangan pemerintah Hadi melawan pemberontakan Houthi. 

Gerakan separatis Yaman Selatan telah aktif sejak tahun 2007 menyuarakan perpisahan Yaman Selatan dari Republik Yaman. Kondisi ini dipicu oleh ketidaksepahaman atas persatuan Yaman Selatan dan Yaman Utara pada tahun 1990.

Dukungan dari Gerakan Separatis Yaman Selatan terhadap Presiden Hadi kemudian melemah seiring berkembangnya ide pemisahan Yaman Selatan yang kembali mencuat lewat deklarasi pembentukan Dewan Transisi pada tahun 2017.

Dewan Transisi Selatan (STC) dan Dukungan Uni Emirat Arab (UEA)

Logo dan Peta Klaim STC (stc-uk.org/stcaden.com)
Logo dan Peta Klaim STC (stc-uk.org/stcaden.com)
Deklarasi pembentukan Dewan Transisi itu telah memancing kemarahan Presiden Hadi. Ia lalu menonaktifkan Gubernur Aden, Aidarus al-Zubaidi. Situasi tersebut membuat terpecahnya dukungan untuk pemerintah dan terbentuknya Dewan Transisi Selatan (STC) yang diketuai sendiri oleh Aidarus al-Zubaidi.

Sementara itu, UEA yang telah ikut membantu pemerintahan Yaman dalam perang melawan pemberontak Houthi, pada tahun 2016 membentuk Pasukan Sabuk Keamanan di kota Aden. Pasukan Sabuk Keamanan merekrut anggota dari Gerakan Separatis Yaman Selatan. 

Dengan terbentuknya STC, UEA yang telah memberikan bantuan finansial, melatih dan mempersenjatai Kelompok Separatis Yaman Selatan dalam Pasukan Sabuk Keamanan disebut-sebut telah memberikan dukungan terhadap pemisahan Yaman Selatan.

Anggapan tersebut diperkuat dengan adanya wacana penarikan pasukan UEA dari Yaman. Pada bulan Juli lalu, UEA mengatakan keputusan tersebut didasari oleh keinginan UEA mengubah stategi dalam konflik di Yaman dari "perang" menjadi "perdamaian" dan menginginkan diplomasi yang lebih aktif. 

Namun, strategi tersebut dinilai membuat UEA terlihat memiliki agenda lain dalam konflik Yaman.

Di akhir Agustus saat perebutan kekuasaan antara pemerintahan Yaman dan kelompok separatis Yaman Selatan terjadi, 30 prajurit pasukan pemerintahan pada kamis (29/8) tewas akibat serangan udara. 

Pemerintahan menuduh UEA bertanggung jawab atas penyerangan tersebut. Wakil Menteri Luar Negeri Yaman Mohammed Abdullah al-Hadrami melalui akun Twitter Kementerian Luar Negeri mengatakan "pemerintah mengutuk serangan udara UEA kepada pasukan pemerintah".

Kompleksitas Konflik Yaman mengarahkan Negara Itu Pada Krisis Kemanusian

Perebutan kekuasaan di Yaman semakin memburuk dalam kurun waktu empat tahun dengan adanya keterlibatan banyak pihak yang bertikai. Selain dengan Kelompok Houthi dan STC, pemerintah juga masih menghadapi perlawanan dari kelompok Al Qaeda di semenanjung Arab dan juga ISIS yang menguasai wilayah pedalaman dan sekitar garis pantai Yaman.

Kondisi ini memperburuk stabilitas di Yaman. Menurut laporan PBB, akibar konflik berkepanjangan, 20 Juta Orang di Yaman kini terancam kelaparan dan 250 ribu orang menghadapi bencana kemanusian. 

Yaman telah memasuki Fase 5 skala global terhadap klasifikasi tingkat keparahan konflik yang didefinisikan sebagai bencana menghadapi "kelaparan, kematian, dan kemelaratan,".

Akankah Berhasil?

Tercapainya kesepakatan ini dapat mengembalikan fokus koalisi dalam memerangi kelompok pemberontak Houthi di utara Yaman dan mengembalikan stabilitas keamanan di wilayah selatan. Setidaknya gambaran itu yang terlintas dengan adanya diplomasi diantara kedua belah pihak dan juga koalisi Arab.

Tidak bisa dipungkiri empat tahun konflik telah membuat kata perdamaian menjadi sukar untuk diucapkan. Kedua belah pihak, pemerintahan Yaman dan kelompok separatis Yaman Selatan telah mengalami pasang surut dalam membangun kepercayaan satu sama lain. Perjanjian mungkin dapat membuka komunikasi untuk menengahi ketegangan.

Secara menyeluruh, untuk terciptanya perdamaian di Yaman dan mengakhiri krisis kemanusiaan, kesepakatan juga perlu dibangun dengan kelompok pemberontak Houthi. 

Ini merupakan PR yang sulit bagi pemerintah Yaman mengingat serangan pada September lalu yang dilancarkan Houthi terhadap kilang minyak Aramco, Arab Saudi telah membawa masuk intervensi Arab Saudi yang lebih serius di Yaman.

Kesepakatan di selatan dan intervensi Arab Saudi tentu tidak menguntungkan bagi kelompok pemberontak Houthi. Peluang ini mungkin memberikan harapan akan pemikiran 'terpojoknya' Houthi dapat 'meredakan' mereka untuk mengadakan genjatan senjata dan membuka peluang negosiasi perdamaian di utara.

Lagi-lagi kunci keberhasilan dari secercah harapan perdamaian di Yaman adalah komitmen masing-masing pihak untuk menahan diri dengan tidak melakukan perlawanan satu sama lain dan sama-sama fokus akan satu tujuan yakni perdamaian itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun