Mohon tunggu...
PUTRI VITA REFI FARADHILA
PUTRI VITA REFI FARADHILA Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Stie Al-rifa'ie Malang

Saya suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesalahpahaman Pajak Royalti atas Hak Cipta

24 Juni 2024   14:24 Diperbarui: 24 Juni 2024   15:39 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) adalah hak untuk mendapatkan perlindungan hukum atas kekayaan intelektual yang diciptakan seseorang atau perusahaan. Kekayaan intelektual mengacu pada hak hukum atas karya kreatif dan inovatif yang dimiliki oleh individu atau bisnis. Hak-hak ini diberikan untuk mengontrol penggunaan karya atau produk oleh orang lain. Ketika mengontrol penggunaan suatu karya atau produk berhak cipta, pemilik hak berhak menerima kompensasi atau pembayaran atas penggunaan atau penikmatan haknya oleh orang lain.Pembayaran ini disebut  royalti.

Biaya royalti seringkali menjadi sumber pendapatan yang sangat penting bagi pemilik hak kekayaan intelektual. Hal ini juga dapat menjadi sumber pendapatan penting bagi pemegang hak cipta, terutama di industri seperti musik, film, dan penulisan. Oleh karena itu, hak  kekayaan intelektual dan royalti  dilindungi secara ketat oleh hukum untuk mencegah penggunaan tanpa izin dan pencurian hak.

Contoh dari kasus  ini adalah Ahmad Dhani dan Once Mekelle. Kontroversi ini menarik perhatian masyarakat Indonesia karena kedua belah pihak melontarkan argumen yang kuat. Argumen ini dilontarkan oleh Ahmad Dhani yang menyatakan bahwa Once tidak pernah membayar royalti atas 19 lagu Dewa  yang dibawakannya, sedangkan menurut Once pembayaran royalti seharusnya dilakukan oleh Lembaga Kolektif Nasional (LMKN) bukan musisinya yang harus membayar, melainkan penyelenggara masing-masing.

Akhirnya, kasus tersebut terselesaikan melalui intervensi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang melakukan dialog dengan  sejumlah musisi  mengenai izin penggunaan musik dan pembayaran royalti.

Royalti dan Pajak

Di Indonesia, hak kekayaan intelektual dilindungi oleh undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek Dagang dan Indikasi Geografis. Selain itu, pemerintah Indonesia juga mengatur  royalti dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021.

Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) menyatakan: : Yang dikenakan pajak adalah penghasilan, yaitu segala tambahan hasil ekonomi yang diterima Wajib Pajak dalam bentuk apapun, termasuk royalti.

Dalam penjelasan pasal tersebut, Royalti adalah pembayaran atau hibah dengan cara atau perhitungan apa pun, baik biasa maupun tidak, sebagai imbalan atas penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual dalam berbagai bidang, seperti sastra, seni atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang dan bentuk kekayaan intelektual lainnya, dan ini termasuk dalam beberapa kategori.

Kasus ini masuk dalam Pasal 23 UU Pajak Penghasilan juga mengatur bahwa  pihak yang wajib membayar royalti harus memotong 15% dari jumlah royalti tersebut. Selanjutnya, menurut Pasal 26, apabila penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri yang bukan merupakan  BUT di Indonesia, maka dipotong pajak sebesar 20% dari jumlah bruto atau sebesar tarif P3B.

Tarif pajak penghasilan sebesar 15% di Indonesia sering dianggap membebani sebagian wajib pajak. Hal ini terutama dirasakan oleh  pemilik  kekayaan intelektual seperti penulis buku, pencipta lagu, dan pemilik merek. Banyak wajib pajak yang berpendapat bahwa tarif  royalti yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan industri kreatif di Indonesia.

Kita masih ingat beberapa tahun yang lalu, novelis Tere Liye mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap pajak penghasilan yang dikenakan pada profesinya sebagai penulis buku sampai memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan buku melalui penerbitnya. Keluhan tersebut berkaitan dengan tingginya tarif pajak izin dan penghitungan laba bersih akhir tahun.

Menurut penjelasan Pasal 4 UU Pajak Penghasilan, ada kategori penghasilan. Penghasilan ini termasuk pendapatan dari pekerjaan  dan wirausaha, seperti gaji, komisi, dan pendapatan dari pekerjaan dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan lain-lain. Oleh karena itu, mengenai royalti, ada anggapan bahwa royalti merupakan pendapatan dan tidak dapat digabungkan dengan pendapatan wirausaha untuk membayar pajak.

Artinya, pelaku usaha yang memperoleh penghasilan  hanya  dari royalti  tidak bisa menggunakan dasar penghitungan penghasilan bersih (NPPN)  50%, melainkan langsung menghitung pajaknya dengan menggunakan tarif progresif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.

Turunnya Pajak Royalti

Pada tanggal 16 Maret 2023 telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-1/PJ/2023. Tujuan peraturan ini adalah untuk memberikan kemudahan, keadilan, dan kepastian hukum dalam pelaksanaan  Pasal 23 pengurangan pajak penghasilan atas penghasilan royalti yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang  menggunakan NPPN untuk menghitung pajak penghasilannya.

Adanya peraturan ini  memberikan jawaban atas pertanyaan di atas. Pertama, hal ini memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak dalam negeri bahwa  royalti yang diterima atau diperoleh akan dilaporkan  pada bagian "pendapatan bersih wirausaha" dalam SPT tahunan mereka. Artinya, penerima royalti bisa menggunakan NPPN untuk menghitung PPh.

 Kedua, adanya penurunan tarif pajak izin. Tarif royalti berdasarkan Pasal 23 PPh adalah 15% dari jumlah keseluruhan. Jumlah keseluruhan berdasarkan ketentuan ini adalah sebesar 40% dari penghasilan royalti yang diterima Wajib Pajak Orang Pribadi yang menerapkan NPPN. Oleh karena itu, tarif pajak izin efektif saat ini hanya  6%.

Pemerintah Indonesia sangat mementingkan perlindungan hak kekayaan intelektual seniman. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah penurunan tarif pajak perizinan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2023. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan industri kreatif bagi para seniman, menghadirkan keadilan dan kepastian hukum, serta meningkatkan kreativitas  berkarya.

Selain itu, diharapkan para seniman tetap semangat dalam berkarya dan menghasilkan karya seni yang berkualitas. Hal ini tentunya akan berdampak positif bagi perekonomian Indonesia dengan semakin banyaknya karya seni yang dihasilkan, dan tentunya juga berdampak positif  terhadap pendapatan pemerintah melalui pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun