Gelombang besar badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri terus berlanjut hingga 2024. Gelombang badai ini diperkirakan akan menembus 70.000 pekerja pada akhir tahun 2024. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat selama semester pertama 2024 sudah mencapai 32.064 pekerja yang terkena PHK, dan hingga Agustus 2024 mencapai 46. 240 pekerja artinya terjadi kenaikan hingga Agustus 2024 sebesar 21,45 %.Â
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah berharap jumlah pekerja yang terkena PHK di tahun 2024 tidak melampaui jumlah pekerja yang terkena PHK di tahun 2023 sebesar 64.855 pekerja. Muhammad Andri Perdana sebagai ekonom dari Bright Institute menilai keadaan ini menunjukkan tidak ada bisnis yang aman dari risiko PHK dan memperkirakan angka PHK lebih dari tahun 2023.Â
Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional Februari 2024 provinsi dengan jumlah PHK terbesar pada semester pertama 2024 yakni DKI Jakarta sebesar 7.469 pekerja, disusul Provinsi Banten sebesar 6.135 pekerja, kemudian Jawa Barat sebesar 5.155 pekerja, Jawa Tengah sebesar 4.275 pekerja dan Bangka Belitung sebesar 1.527 pekerja.
PAKB Setjen DPR RI 2024 menyebutkan penyebab ribuan tenaga kerja terkena PHK yakni karena perlambatan ekonomi dunia dan kondisi geopolitik yang tidak menentu sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam berusaha. Tahun 2024 perusahaan harus menaikan produktivitas lebih dari 7% untuk menyerap kenaikan-kenaikan karena gaji, bahan baku, dan pelemahan rupiah.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI), Elly Rosita mengatakan sejak UU Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020 belum ada pembukaan pabrik baru yang dapat menyerap ribuan tenaga kerja, masih sangat banyak yang belum mendapatkan pesangon dengan alasan perusahaan harus menyelesaikan piutang ke pihak bank  yang akhirnya perusahaan pailit atau berpindah ke daerah lain yang upah minimunya kecil.Â
Keadaan ini dikarenakan  UU Cipta Kerja memudahkan perusahaan melakukan PHK karena tidak ada ketentuan berapa kali status kontrak bisa diperpanjang, daya saing yang tidak dibatasi pada bagian pekerjaan tertentu, upah sektoral dihapuskan.  Meskipun angka pengangguran turun 4,82% pada Februari 2024, disebabkan bukan karena adanya lapangan kerja baru, melainkan beralih menjadi pengemudi ojek online karena tidak adanya jaminan sosial, upah minimun dan pesangon.Â
Berdasarkan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menyebutkan terdapat tiga sektor penyumbang utama jumlah pekerja yang terkena PHK yakni sektor manufaktur, sektor teknologi dan sektor perbankan.Â
Peneliti LPEM FEB UI Muhammad Hanri mengatakan sektor industri manufaktur terutama ekspor sangat memberikan pengaruh terhadap gangguan rantai pasok global dan penurunan permintaan global. Sektor industri manufaktur terkhusus sektor tekstil dan garmen yang paling banyak terkena PHK terlebih di Jawa Barat yang merupakan pusat industri tekstil nasional.
Teknologi menjadi sektor kedua penyumbang angka terbesar PHK dimana sejumlah perusahaan startuplah yang harus tutup akibat kesulitan dalam mendapatkan pendanaan baru di tengah penurunan nilai investasi global. Perusahaan teknologi besar di Indonesia seperti e-commerce dan fintech telah melakukan PHK demi menyesuaikan operasi dengan realitas pasar yang baru.
Sektor perbankan menjadi penyumbang angka terbesar PHK setelah teknologi karena terjadinya digitalisasi layanan yang menyebabkan pengurangan kebutuhan tenaga kerja di kantor cabang dan banyak bank besar yang telah melakukan perampingan tenaga kerja serta beralih ke layanan digitalisasi yang lebih efesiensi secara operasional.
Terdapat tiga faktor mengapa sejumlah perusahaan gulung tikar atau memilih untuk menyimpan modalnya ketimbang membuka usaha baru yakni pertama, tingginya suku bunga yang mempengaruhi modal usaha atau mengekspansi bisnis, kedua, daya beli masyarakat turun karena pasar domestik dikuasai produk impor dari Cina dan akibat konflik geopolitik antara Ukraina dan Rusia dan ketiga, dampak UU Cipta Kerja yakni pengusaha diuntungkan karena bisa menekan pengeluaran melalui keringanan membayar hak-hak pekerja dan bisa sesukanya mengontrak pekerja.
Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menuturkan UU Cipta Kerja tidak ada gunanya karena tidak ada investasi yang masuk membawa penyerapan tenaga kerja yang besar. Sektor industri porsinya terus menurun dibandingkan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan dari 22% di tahun 2010-an awal, sekarang hanya 18% di era Presiden Jokowi.Â
Penasihat ekonomi tim Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, merespon permasalahan ini dan mengatakan untuk jangka pendek pemerintahan Prabowo akan meninjau ulang kebijakan-kebijakan yang bisa mengganggu konsumsi kelas menengah seperti misalnya penerapan PPN 12%. Kemudian memperbanyak pelatihan untuk vocational skills bagi anak-anak muda. Baik untuk pekerjaan-pekerjaan mekanik, industri, hingga berbagai jasa., dan terakhir, menggunakan standarisasi untuk peningkatan produktifitas tenaga kerja.
Pada dasarnya  pemerintah harus maksimal dalam mengatasi badai PHK 2024 dengan memberikan jaminan bagi warga negara yang terkena PHK, mengingat saat ini Indonesia sudah memiliki aturan mengenai Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 mengenai Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Hal itu merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang memuat dan mengatur manfaat JKP berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan untuk pekerja atau buruh yang mengalami PHK. Namun pelaksanaanya belum maksimal dikarenakan adminitrasi yang belum tertata dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H