Mohon tunggu...
Revasha Putri
Revasha Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Saya menulis artikel-artikel terkait sosial humaniora.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ekosistem Terancam, Tambang Emas Tumpang Pitu Tuai Protes Warga

1 Juni 2023   09:44 Diperbarui: 1 Juni 2023   09:53 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Heri Budiawan atau yang awam dikenal sebagai Budi Pego meyuarakan penolakannya terhadap eksplorasi tambang emas Tumpang Tipu di Banyuangi pada 2017 silam. Tambang emas Tumpang Tipu dieksplorasi oleh PT Bumi Suksesindo dengan target mencapai 100.000 ons emas. Meskipun telah mendapatkan izin oprasional sejak tahun 2012 lalu, aktivitas pertambangan tersebut telah memberikan dampak kepada 53.373 masyarakat di kecamatan Pesanggaran. Eksplorasi ini menimbulkan keresahan masyarakat sekitar Kawasan tersebut, terutama terkait dampaknya terhadap lingkungan di kawasan tersebut serta tercemarnya air akibat limbah dari tambang dan juga dapat mengancam ekosistem.


"Penangkapan ini menunjukkan semakin sempitnya ruang sipil, termasuk mereka yang berusaha melindungi lingkungan. Jelas sekali Budi Pego ditangkap hanya karena memiliki sikap yang kritis atas proyek tambang emas di lingkungannya". ucap Usman Hamid, Direktur Eksektif Amnesty International Indonesia dikutip dari unggahan Instagram @amnestyindonesia pada Senin (27/3/2023).

Budi Pego serta masyarakat lainnya melakukan demonstrasi dengan spanduk, salah satunya bertuliskan 'manusia bisa hidup tanpa emas, tapi tidak tanpa air' sebagai bentuk protes. Namun, pada aksi tersebut terdapat penyusup dengan spanduk berlogo palu arit yang mengakibatkan tuduhan penyebaran marxisme, komunisme, dan leninisme terhadap Budi Pego. 

Setelah berbagai proses hukum telah dilalui Budi Pego, pada 16 Oktober 2018, Mahkamah Agung (MA) menghukum Budi Pego dengan hukuman empat tahun penjara yang hingga saat ini belum dilaksanakan. Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah memberi desakan terhadap Presiden untuk memberikan amnesti terhadap Budi Pego.

Komnas HAM sempat memberikan keterangan bahwa Budi Pego berhak untuk untuk mendapatkan perlindungan melalui berbagai ketentuan seperti pada Pasal 1 Deklarasi Pembela HAM, dikatan bahwa setiap orang memiliki hak secara sendiri maupun bersama untuk memperjuangkan HAM ditingkat nasional dan internasional. Lalu ketentuan lainnya ada pada Pasal 66 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yang menyebutkan bahwa pembela hak atas lingkungan hidup tidak dapat ditutuntut secara pidana maupun digugaat secara perdata.

Pada Maret 2023, Budi Pego kembali ditangkap atas dasar putusan tersebut. Komnas HAM terus mengupayakan pemberian amnesti kepada Budi Pego kepada Presiden karena ia berhak atas perlakuan khusus dan perlindungan bedasarkan Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup. Upaya tersebut harus terus diusahakan, dihukumnya seorang pembela HAM dengan bukti yang rancu menunjukan bahwa pemerintah tidak berpihak pada masyarakat dan membungkam masyarakat yang mengadvokasikan HAM. Walhi mencatat bahwa dalam lima tahun terakhir telah ada 58 korban dalam 24 kasus kriminaslisasi dalam sektor pertambangan, kasus Budi Pego bahkan belum masuk didalamnya.

Gerakan Budi Pego menuai pertanyaan akan apa yang sebenarnya dianggap benar dan salah, serta apa yang menjadi landasan dari tindakan yang ia maupun pemerintah lakukan. Muncul pula pikiran-pikiran terkait apakah sebenarnya langkah yang diambil oleh pemerintah dalam penyelesaian kasus ini etis atau tidak, karena seakan-akan tarik ulur dalam pemberian hukuman dan tidak ada bukti kuat terkait penggunaan spanduk palu arit pada demostrasi warga Tumpang Tipu. 

Akar dari tindakan Budi Pego yang melakukan protes terkait pertambangan di wilayahnya pun menjadi pertanyaan, walau dapat kita lihat jelas pematik dari tindakannya adalah kerugian yang dialaminya pada tambang, tetapi alasan dasar dari keberaniannya dalam memulai suatu aksi protes juga dapat menjadi pertanyaan.

Segala pertanyaan terkait landasan aksi dan reaksi dari kasus ini dapat dilihat melalui salah satu pilar dari ilmu Filsafat, tepatnya melalui cabang ilmu aksiologi. Aksiologi melahirkan nilai etika dan estetika, juga nilai-nilai moral yang fundamental seperti keadilan, keindahan, kebenaran, dan kebebasan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Selain itu, aksiologi juga mempertayakan dasar-dasar dari tindakan manusia seperti apa yang dianggap baik dan buruk, mencari fakta atas kebenaran yang ada, juga moral-moral yang menjadi landasan tindakan manusia dalam menjawab suatu pertanyaan (Adib, 2011). 

Cabang ilmu ini juga memiliki pertimbangan dalam konteks bisnis, medis, maupun lingkungan seperti salah satu contohnya adalah kasus Budi Pego dalam pembahasan ini. Pandangan dari aksiologi dapat menjadi refleksi bagi berbagai aspek kehidupan manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun