Buruk Muka Cermin Dibelah, Ahok Murka BPK Dibelah. Begitulah yang terjadi saat ini. Para pendukung Ahok yang militant dan beringas itu menjadi sangat murka terhadap BPK karena gara-gara BPK Ahok akhirnya diperiksa KPK selama 12 Jam. Lembaga Pemeriksa Keuangan terbaik di Indonesia ini benar-benar dicaci-maki oleh ribuan pendukung Ahok.
Tampak di berbagai media foto-foto Ahok yang Stress berat sehabis diperiksa selama 12 jam oleh KPK. Begitu keluar dari gedung KPK Ahok langsung menyerang BPK dan mengatakan BPK Ngaco. Lihatlah kemudian apa yang terjadi setelah Ahok bersabda seperti itu.
Beberapa jam setelah Ahok Bersabda, langsung para Pasukan Nasi Bungkus bahu membahu menyebarkan Opini Sesat menyerang BPK. Total-total sudah 3 hari terakhir Panasbung Ahok tak henti-hentinya menyerang BPK. Kebetulan mereka dapat angin karena nama Ketua BPK Harry Azhar masuk dalam daftar Panama Papers.
Lihatlah di Kompasiana. Semua artikel yang menyerang BPK dilabel Pilihan dan dishare ke Twitter. Admin Kompasiana punya 700 ribu follower di Twitter. Bayangkan imbasnya opini-opini sesat itu beredar.
Pokoknya BPK babak belur dibully oleh ribuan pendukung Ahok. Semua itu hanya gara-gara Ahok mengatakan BPK Ngaco. BENARKAH BPK NGACO?
Mana mau perduli mereka. Ahok sudah selevel Nabi bagi mereka. Nabi itu tidak mungkin salah. Jadi BPK memang ngaco. Ini kesimpulan yang sudah diambil dan dijadikan alasan sah mereka untuk membully habis-habisan BPK. Benar-benar sudah sesat mereka itu.
***Sebenarnya Yang Ngaco Itu Ahok, Tetapi Diplintir oleh Ahok menjadi BPK yang Ngaco***
Sudah beberapa minggu ini saya mencari berita tentang Ahok tidak lewat Detiknews, Kompas.com dan Tempo.co. Tiga media ini sangat Pro Ahok. Sudah berkali-kali berita yang actual tetapi merugikan nama Ahok tidak dirilis oleh mereka. Akhirnya saya mencarinya ke CNN , Merdeka dan lainnya selain ketiga media tersebut.
Betul bahwa Ketua BPK DKI yang bernama Efdinal memang ngaco dan sudah dipecat. Tetapi itu BPK Propinsi dan bukan BPK Pusat. Belum pernah terjadi BPK pusat bermasalah. Ada juga masalah Auditor yang selingkuh dan tidak mempengaruhi kinerja BPK secara keseluruhan.
Sejak zaman Reformasi (sudah belasan tahun) BPK itu Lembaga yang Punya akuntabilitas kuat dan berintegritas. Tanyakan saja pada pejabat-pejabat seluruh Indonesia. Ada ketakutan tersendiri dari mereka kalau BPK sudah datang memeriksa keuangan kantornya. Beda dengan BPKP yang dari kabar burung katanya mudah diajak cincai-cincai oleh para pejabat.
BPK sangat ketat dan punya standar operasional yang tinggi. Tidak ada Kepala Daerah yang tidak segan pada mereka. KPK sendiri menjadikan lembaga ini sebagai acuan utama dalam mencari jejak Korupsi selain PPATK.
Bahwa Skandal Sumber Waras ini sudah dicium BPK sejak awal tahun 2015. Perlu diingat BPK sudah diminta KPK untuk melakukan Audit Investigasi pada bulan November 2015. Tepatnya pada tanggal 23 November 2015 Ahok diperiksa BPK selama 9 Jam.
Pada hari itu ada insiden dimana Ahok tadinya ngotot ingin membawa pendamping (anak buahnya) ketika akan Diperiksa auditor BPK. Belum pernah terjadi selama puluhan tahun ada Kepala Daerah yang membawa pendamping saat diperiksa BPK. Yang diperiksa adalah Transaksi dan Laporan Keuangan. Ini bukan Pemeriksaan Hukum sehingga tidak membutuhkan Pengacara atau Pendamping.
Pada saat itu alasan Ahok karena ia ingin merekam pemeriksaannya dan mau diupload di youtube. Ini Ngaco namanya. Audit Investigasi BPK itu sumber Pro Justicia. Akan menjadi dasar Hukum kalau memang KPK menemukan indikasinya. Jadi memang tidak boleh yang namanya Pro Justicia itu dipublikasikan.
Akhirnya Ahok minta maaf. Ahok mengakui bahwa Auditor-auditor BPK sangat professional. Ahok sendiri melihat 2 Kamera yang merekam semua Tanya-jawab dirinya. Malah dia merasa diceramahi oleh Auditor-auditor tersebut. Dan setelah diperiksa BPK selama 9 jam, Ahok mengatakan :
"Nanti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang memutuskan akan memanggil siapa. Untuk menetapkan tersangka atau memanggil saksi, itu kewenangan KPK," ujar Ahok di kantor BPK, Jakarta, Senin (23/11, CNNIndonesia).
Kemudian hasil semua Audit Investigasi Kasus Sumber Waras diselesaikan BPK dan kemudian dikirim ke KPK termasuk rekaman Pemeriksaan Ahok selama 9 Jam.
Akhirnya oleh KPK Ahok dipanggil untuk diperiksa. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK yang menjadi dasar pemanggilan Ahok. 12 jam Ahok diperiksa KPK dan ditanya 50 Pertanyaan. Mungkin pertanyaan-pertanyaan penyidik itu langsung membuat Ahok Stress dan Ketakutan. Akhirnya keluarlah pernyataan BPK Ngaco. Ngaconya dimana? Ahok tidak bisa menjelaskan ngaconya dimana.
Yang ngaco itu sebenarnya Ahok sendiri. Sejak awal diperiksa BPK sudah ogah-ogahan. Minta didampingi staffnya lah, ingin merekam sendiri lah dan lain-lainnya. Ahok juga selama pemeriksaan bolak-balik minta izin ke Toilet. Entah kenapa begitu.
LHP BPK dan Rekaman Pemeriksaannya sudah ada di tangan KPK. Bagaimana mungkin BPK Ngaco bekerja? Puluhan tahun mereka bekerja dengan cara yang sama. KPK juga menerima Hasil Audit BPK bertahun-tahun dengan cara yang sama. Semua Kepala Daerah yang diperiksa mendapatkan perlakuan sama. Tetapi begitulah. Hanya Ahok seorang yang entah apa tujuannya menuduh BPK Ngaco.
***Inilah Fakta Awal Yang Membuat BPK menyatakan Sumber Waras sebagai Kasus ***
Supaya para pendukung Ahok bisa melek dari mimpinya, silahkan pelototin daftar/ kronologis berikut ini. Ini berdasarkan Pemeriksaan BPK terhadap Ahok :
1.Berdasarkan Hasil Pemeriksaan BPK terhadap beberapa Staff Pegawai Pemprov DKI ditemukan fakta bahwa : "Penentuan lokasi tanah sudah diarahkan sebelumnya oleh Plt Gubernur DKI,” bunyi LHP BPK.
Hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012.
2.BPK menemukan keganjilan pada Transaksi Pembayaran Lahan Sumber Waras yang dilakukan pada tanggal 31 Desember 2014. Keganjilan itu antara lain :
A).Pembayaran sejumlah Rp.755 Milyar itu menggunakan Uang Persediaan Dinas Kesehatan DKI, bukan dari Pos APBD-P tahun 2014.
b).Pembayaran itu menggunakan 2 Cek Tunai yang disetor ke Bank DKI pada tanggal 31 Desember 2014. Yang pertama Bendahara Dinas Kesehatan DKI menyetor Rp.37,78 milyar untuk pembayaran Pajak Pembelian Lahan pada Jam 17.05 (31 Desember 2014). Setoran kedua kepada Rekening Sumber Waras (Bank DKI) Rp.707,91 Milyar pada Jam 18.45.
***Dimana Saja Keanehannya?****
1.Kenapa Transaksi itu harus dilakukan pada tanggal 31 Desember 2014? Ini jumlah uang yang besar loh, Rp.755 Milyar. Menurut Aturan yang ada, Pembelanjaan atau Penggunaan APBD di setiap Propinsi harus berakhir pada setiap tanggal 25 Desember. Diatas tanggal itu memang diperkenankan bila keadaan mendesak dengan batas waktu hingga tanggal 31 Desember.
Sesekali memang terjadi sebuah Propinsi melakukan transaksi pada tanggal 31 Desember tetapi dengan nilai uang yang sangat terbatas. Tidak sampai Ratusan Milyar rupiah. Tidak juga menggunakan Uang Persediaan. Tetapi untuk Sumber Waras ini terjadi. Dan Jumlahnya Rp.755 Miliar.
Mengapa pembayaran sebesar ini dilakukan sebelum tanggal 25 Desember 2014? Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya.
2.Setoran ke Rekening Sumber Waras tertera dalam slip setorannya tanggal 31 Desember 2014 Jam 18.45. sementara setoran Pajak Pembelian Lahan (PPh 21) pada Jam 17.05. Ini adalah diluar Jam Kerja Bank. Apalagi tanggal 31 Desember adalah Tanggal Tutup Buku Bank. Umumnya Bank tutup pada tengah hari. Diduga kuat, Bank DKI telah diintervensi oleh Gubernur DKI sehingga akhirnya bersedia menerima setoran Rp.755 Milyar hingga Jam 7 malam.
3.Ahok sudah melanggar MOU Transparansi antara Pemprov DKI dengan BPK tertanggal 1 Juni 2014 dimana setiap pembayaran yang dilakukan oleh Pemprov DKI kepada Pihak Swasta harus dilakukan dalam Proses Transfer antar Rekening Bank DKI. Yang terjadi pada Skandal Sumber Waras adalah Bukan Transfer antar bank melainkan Setoran Tunai dengan menggunakan Cek Tunai. Apa penyebabnya, tentu hanya Ahok yang tahu.
***Mengapa BPK Memastikan Ada Kerugian Negara Rp.191 Milyar? ***
Hal ini sepertinya harus kembali ke pertanyaan, Mengapa Pembayaran harus dilakukan pada tanggal 31 Desember 2014. Ada sesuatu yang menunda terjadinya pembayaran tersebut. Dan sesuatu itu kemungkinan besar berada pada NJOP lahan Sumber waras. Kemungkinan ini poin krusialnya. Dan dibawah ini saya membuat stimulasinya agar semuanya menjadi jelas.
Tanggal 17 Desember 2014, Pemprov DKI yang diwakili Dinas Kesehatan DKI bersama pihak Yayasan Sumber Waras sudah mengikat Perjanjian Jual Beli didepan Notaris. Sudah ada angka-angka transaksi sehingga tinggal menunggu proses pembayarannya saja.
Seharusnya setelah Akte Notaris dibuat maka antara tanggal 18 Desember hingga 25 Desember akan terjadi pembayaran oleh Pemprov DKI kepada Sumber Waras. Ternyata Pembayarannya terkendala pada NJOP yang ada. NJOP yang ada ternyata masih sama nilainya dengan NJOP 2013 dengan angka Rp.15 Juta/M2. Ini jauh dibawah angka Transaksasi yang sudah dibuat di Notaris yaitu Rp.20 Juta/M2.
Bila Pemprov DKI membayar Rp.755 Milyar pada tanggal 18 Desember hingga 25 Desember 2014 maka hal tersebut jelas merugikan Negara. Ini tidak boleh terjadi. Satu-satunya cara adalah menaikkan NJOP yang ada.
Akhirnya Gubernur DKI mengirim Disposisi kepada Dinas Pelayanan Pajak agar menetapkan NJOP yang baru senilai Rp.20 Juta/M2. Disposisi ini kemudian dipenuhi Dinas Pajak sehingga baru pada tanggal 29 Desember 2014 Dinas Pelayanan Pajak mengirimkan NJOP terbaru yang sesuai dengan permintaan Ahok.
Surat Penetapan pajak yang dikirim pada tanggal 29 Desember itu baru diterima Dinas Kesehatan DKI pada tanggal 30 Desember 2014, dan langsung membuat Cek Tunai untuk membayar Sumber Waras.
Ternyata masih ada masalah lagi yaitu, Ternyata Sumber Waras punya tunggakan PBB untuk lahan yang dijual itu senilai Rp.4 Miliar. Tunggakan PBB itu untuk Hutang Pajak selama 10 tahun. Ini masalah besar karena menurut UU yang ada tidak diperkenankan Pemerintah membeli lahan yang memiliki tunggakan PBB.
Dinas Kesehatan DKI meminta Sumber Waras segera membayar tunggakan PBB tetapi Sumber Waras tidak punya uang Rp.4 Milyar pada tanggal 30 Desember 2014. Proses itulah yang membuat Dinas Kesehatan DKI tidak membayar Sumber Waras hingga Jam kerja Bank DKI tanggal 31 Desember berakhir. Bank DKI tutup jam 13.00 sementara Sumber Waras belum dibayar.
Bila dibayar tanggal 2 Januari 2015 maka transaksi itu tidak sah bila menggunakan APBD-P 2014.
Ahok kemudian memaksa bendahara Dinas Kesehatan DKI untuk menyetor uang ke Bank DKI pada tanggal 31 Desember 2014 meskipun sudah sore hari. Ahok juga memaksa Bank DKI untuk menerima setoran dari Dinas Kesehatan tersebut. Inilah yang membuat BPK akhirnya memastikan telah terjadi kerugian Negara Rp.191 Milyar.
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H