PENULIS ARTIKEL: Reva Nur Alfiany, Silva Saputri, Rhaka Alfian Nugraha, Hartono Giri Akbar, Tenny Sudjatnika, M. Ag.
Ghibah merupakan salah satu perbuatan dosa yang dibenci oleh Allah SWT dan harus dihindari oleh umat Islam. Dari sudut pandang hadits, ghibah memiliki dimensi keagamaan yang mendalam. Hadits, merupakan sumber hukum kedua dalam islam setelah al-qur'an, memberikan perspektif khusus terhadap ghibah dan menekankan pentingnya etika bertutur kata.
Hadits menjadi landasan etika komunikasi dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Melalui hadits-hadits tersebut kita dapat memahami bahwa ghibah tidak hanya merupakan pelanggaran norma sosial, tetapi juga pelanggaran terhadap ajaran agama.
1. Pengertian Ghibah
Secara etimologi, Ghibah berasal dari kata ghaabaha yaghiibu ghaiban yang berarti ghaib, tidak hadir dalam kitab Maqayis al-Lughah diartikan sebagai "sesuatu yang tertutup dari pandangan" asal kata ini memberikan pemahaman unsur "ketidakhadiran seseorang" dalam ghibah, yakni orang yang menjadi objek pembicaraan. Kata ghibah dalam bahasa Indonesia mengandung arti umpatan, yang diartikan sebagai perkataan yang memburuk-burukkan orang.
Ghibah secara terminologi yaitu menceritakan tentang seseorang yang tidak berada ditempat dengan sesuatu yang tidak disukainya. Baik menyebutkan aib badannya, keturunannya, akhlaknya, perbuatannya, urusan agamanya, dan urusan dunianya. Sedangkan menurut Imam al-Ghazali, ghibah adalah menceritakan seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya, dan andaikan hal itu sampai pada orang yang sedang dibicarakan maka itu akan menyakiti hatinya.
2. Bentuk-Bentuk Ghibah
a). Dalam bentuk sebagai kekufuran yaitu apabila ia berbuat ghibah pada seorang muslim (yang tidak berhak untuk di ghibah), maka kemudian dikatakan kepadanya: "jangan berghibah!" (padahal dalam hatinya ia tahu bahwa dia sedang meng-ghibah) Maka dia telah mengharamkan apa yang Allah haramkan, sedang barang siapa yang menghalalkan apa yang telah Allah haramkan menjadikan (pelakunya) kafir.
b). Dalam bentuk sebagai kemunafikan yaitu ketika ia berbuat ghibah untuk orang tertentu tanpa menyebut nama orang tersebut, tapi hal itu desebutkannya pada orang-orang yang mengenal dan mengetahui orang yang disebutnya tersebut sehingga mereka benar-benar tahu bahwa yang dimaksudkannya tersebut adalah "fulaan". Maka dia telah menggunjingnya, namun dia mengaggap dia terbebas dari itu, namun justru disinilah kemunafikan tersebut.
c). Dalam bentuk sebagai maksiat yaitu maka apabila seseorang mengghibahi seseorang dengan menyebut nama, dan dia mengetahui bahwa ia melakukan maksiat (dengan ghibah tersebut) maka inilah merupakan perbuatan maksiat.
d). Dalam bentuk sebagai sesuatu yang diperbolehkan yaitu mengghibahi orang-orang yang fasiq yang terang-terangan menampakan kefasiqannya, atau para perayu kebid'ahan. Tetapi dengan perkara ini kita tetap harus berhati-hati, jangan sampai hanya bedasarkan prasangka semata. Jikalau orang yang kita anggap masuk dalam kategori keempat ternyata sebenarnya tidak berhak di ghibah, maka terjerumuslah kita dalam dosa ghibah. Kemudian kalaupun orang tersebut boleh untuk di ghibahi, maka cukup dijelaskan apa yang hendak dijelaskan.
3. Ghibah Dalam Perspektif Hadits
حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ أَيُّوبَ وَقُتَيۡبَةُ وَابۡنُ حُجۡرٍ. قَالُوا: حَدَّثَنَا إِسۡمَاعِيلُ، عَنِ الۡعَلَاءِ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (أَتَدۡرُونَ مَا الۡغِيبَةُ؟) قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعۡلَمُ. قَالَ: (ذِكۡرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكۡرَهُ)، قِيلَ: أَفَرَأَيۡتَ إِنۡ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: (إِنۡ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغۡتَبۡتَهُ، وَإِنۡ لَمۡ يَكُنۡ فِيهِ، فَقَدۡ بَهَتَّهُ)
70. (2589): Yahya bin Ayyub, Qutaibah, dan Ibnu Hujr telah menceritakan kepada kami. Mereka berkata; Isma'il menceritakan kepada kami dari Al-Ala' dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda; "Apakah kalian tahu apa itu gibah?" Para sahabat menjawab; "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Beliau bersabda; "Ghibah adalah engkau menyebutkan saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai."
Ada yang bertanya; "Apa pendapat engkau apabila apa yang aku ucapkan memang ada pada diri saudaraku?" Beliau menjawab; "Jika pada dirinya ada yang engkau ucapkan maka engkau telah berbuat ghibah kepadanya. Jika ternyata tidak ada pada dirinya, berarti engkau berkata dusta terhadapnya."
Jika disimpulkan maka rantai sanad diatas adalah: (Rasulullah SAW Abu Hurairah Abdurrahman bin Ya'kub Al-Alaa' Ismail Ibnu Hujr Qutaibah Yahya bin Ayyub Imam Muslim).
Dari sanad hadits tentang ghibah tersebut memenuhi syarat keshahihan sanad. Hal ini dikarenakan seluruh syarat keshahihan sebuah sanad telah terpenuhi.
Syarat-syarat keshahihan sanad hadits ghibah tersebut ditunjukkan melalui ketersambungan sanad (ittishal al-sanad) dengan adanya jalur runtut antar perawi dari generasi ke generasi melalui hubungan sebagai guru dan murid, para perawinya kredibel (tsiqqahu al-ruwah) yang terlihat dari penilaian yang positif terhadap seluruh perawi tanpa ada yang menilai sebagai sosok yang cacat, serta terakhir adalah intelektualitas perawi (dhabtu al-ruwah) melalui kemampuan mereka dalam mengingat hadits.
Hadits inilah yang menjadi acuan utama pembahasan kali ini. Hadits ini dinilai relevan karena dapat dianalisis dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu pro dan kontra terhadap ghibah, sehingga pendukung dan penentang dapat menjadikan hadits ini sebagai hadits utama mereka.
Hadits di atas menjelaskan gambaran tentang ghibah adalah pengungkapan yang dilakukan seorang muslim mengenai diri sesamanya muslim yang apabila didengar menimbulkan rasa benci dapat juga dimaknai ghibah yaitu menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim padahal ia tidak suka bila disebutkan.
Berdasarkan uraian diatas dipahami ghibah merupakan pengungkapan aib atau cacat seseorang baik yang dilakukan secara lisan, tulisan, isyarat maupun gerakan yang dapat dipahami maksudnya sebagai bentuk penghinaan atau merendakan derajatnya, dan apabila yang didengar atau diketahui oleh orang yang digunjing itu timbul rasa permusuhan, malu dan sebagainya.
Padahal, Rasulullah SAW sudah menyatakan bahwa dosa ghibah berat dari dosa zina:
الْغِيبَةُ أَشَدُّ مِنَ الزِّنَا . قِيلَ: وَكَيْفَ؟ قَالَ: الرَّجُلُ يَزْنِي ثُمَّ يَتُوبُ، فَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِ، وَإِنَّ صَاحِبَ الْغِيبَةِ لَا يُغْفَرُ لَهُ حَتَّى يَغْفِرَ لَهُ صَاحِبُهُ
Artinya : "Ghibah itu lebih berat dari zina." Seorang sahabat bertanya; Bagaimana bisa? Rasulullah SAW menjelaskan; Seorang laki-laki yang berzina lalu bertobat, maka Allah bisa langsung menerima tobatnya. Namun pelaku ghibah tidak akan diampuni sampai dimaafkan oleh orang yang dighibahi nya. (HR At-Thabrani).
4. Cara Mengobati Ghibah
Adapun cara mengobati penyakit ghibah ialah menyadarkan orang yang mengghibah bahwa perbuatannya itu memancing kemurkaan Allah, kebaikan-kebaikannya akan berpindah pada orang yang di ghibahi dan jika ia tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan orang yang di ghibahi akan dipindahkan kepada dirinya.
Siapa yang menyadari hal ini tentu lidahnya tidak akan berani mengucapkan ghibah. Jika terlintas pikian untuk mengghibah, maka hendaklah ia intropeksi diri dengan melihat aib diri sendiri lalu berusaha untuk memperbaikinya. Mestinya dia merasa malu jika mengungkap aib orang lain, sementara dirinya sendiri penuh dengan aib. Jika dia tidak mempunyai aib, yang lebih baik baginya adalah mensyukuri nikmat Allah yang dilimpahkan kepadanya.
Dan tidak perlu mengotori diri sendiri dengan aib yang sangat buruk, yaitu ghibah. Jika dia tidak ridha di ghibah oleh orang lain. Mestinya dia juga tidak berbuat ghibah untuk orang lain. Hendaklah seseorang melihat sebab yang mendorongnya untuk melakukan ghibah. Lalu hendaklah berusaha menghindari sebab tersebut. Karena untuk mengobati suatu penyakit ialah dengan cara menghindari penyebabnya.
وَعَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: « مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ بِالْغَيْبِ, رَدَّ اللَّهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ, وَحَسَّنَهُ
Artinya; Barang siapa yang menjaga aib saudaranya tanpa sepengetahuannya, niscaya Allah akan menjaga dirinya dari api neraka pada hari kiamat kelak." (HR. at-Tirmidzi no. 1931).
Kesimpulannya ghibah adalah suatu perbuatan ringan namun dosanya tidak main-main. Teruntuk kita yang belum bisa menghindari ghibah cobalah bermuhasabah diri apakah diri ini sudah suci sehingga berani membicarakan keburukan orang lain? Hakikatnya semua manusia di bumi ini tidak akan pernah disukai oleh orang lain, jika naudzubillah nya Allah membuka aib kita semua. Jadi untuk sekarang ini, kita hanya perlu memperbaiki diri, tidak menggunjing orang lain, dan berlomba-lomba dalam amal kebaikan, Insya Allah hidup akan tenteram.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI