Beberapa saat, ketukan sebuah pintu membangunkanku.
Tok! Tok! Tok! Assalamualaikum...
Kubuka kedua mataku. Aku segera beranjak. Pelan. Tak bersuara. Aku tak ingin ibuku terusik dari mimpi indahnya. Kubuka pintu rumahku. Aku sedikit terkejut. Wanita itu lagi. Wanita paruh baya yang beberapa waktu lalu kutemui di daerah pertokoan.
"Loh, rumah kamu di sini, Dik?" tanya wanita itu tampak terkejut.
"I-iya, Buk. Kalau boleh tahu ada apa, Buk?"
"Jadi begini, Dik. Saya adalah seorang dokter. Saya sedang melaksanakan sebuah program untuk membantu warga yang membutuhkan pengobatan. Di sini? Apa Adik tinggal sendirian di sini?"
"Jadi, orang yang sakit bisa berobat secara gratis, Buk?!" tanyaku seru.
"Iya, Dik. Apa di sini ada yang sakit?"
"I-ibuku sedang sakit," jawabku lirih.
"Sakit apa, Dik?"
"Kata tetangga, ibuku sakit TBC, Buk."
"Astaga! Kalau begitu, kita harus segera memeriksa keadaan ibu kamu sebelum terlambat, Nak!"
"Tapi... saya... saya nggak punya uang untuk membiayai operasi ibu saya."
"Sudah. Kamu tenang aja ya, Dik. Ibu akan membantu ibu kamu sesegera mungkin. Untuk sekarang, apa saya bisa masuk dan melihat keadaan ibu kamu?"
"Iya, silahkan!"
Begitulah. Setelah ibuku diperiksa oleh Dokter Sinta. Beliau segera dibawa ke rumah sakit kota. Semua berkas-berkas yang tak kumengerti diurus oleh Dokter Sinta. Aku menunggu hasil operasi ibuku dengan sabar. Harapanku agar ibuku bisa sehat dan terus melanjutkan hidupnya seperti sedia kala. Dan setelah beberapa hari kemudian, harapan itu terwujud. Senyum itu dapat kulihat lagi. Walau pedih tanpa senyum sang ayah, setidaknya aku pernah merasakan kasih sayang nyata darinya.
Tidak cukup sampai di situ. Keinginanku yang selalu ingin sekolah pun terwujud sudah. Aku mendapat bantuan karena Dokter Sinta selalu mendukungku. Dokter Sinta ternyata adalah salah satu bagian dari lembaga pemerintah yang juga berperan penting dalam program membantu orang-orang tidak mampu sepertiku. Aku bersyukur. Aku tak lagi terbalut kepedihan. Aku tak lagi meneteskan air mata. Ibuku tak lagi harus meneteskan air mata. Kini, aku sudah siap melangkah menuju jalan-jalan penderitaan lainnya.
Mutiara milik ibuku kini mungkin akan selalu tersimpan sampai suatu saat nanti kami menemukan jalan buntu dan tak tak tahu arah untuk kembali. Aku juga yakin pada satu hal bahwa ayahku pun pasti tersenyum di alam sana. Aku yakin bahwa Beliau baik-baik saja di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Tunggu saja, aku akan membuat ayah dan ibuku bangga padaku. Tiada yang lebih penting dari membanggakan mereka. Tiada yang lebih indah dari melihat senyum mereka. Kini, aku tak lagi menatap langit yang biru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H