Mohon tunggu...
Padri Hans
Padri Hans Mohon Tunggu... Insinyur - Rohaniwan, jurnalis, dan pemerhati masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, seni, dan lingkungan hidup.

Rohaniwan, jurnalis, dan pemerhati masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, seni, dan lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Diam Bukan Emas Tapi Maut

4 Januari 2017   11:34 Diperbarui: 28 April 2017   13:18 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Awas, jangan meremehkan fenomena intoleransi dan radikalisme yang sedang bergelora di bumi pertiwi ini. Jika terlambat, negeri ini bukan tidak mungkin akan menjadi seperti Suriah, Allepo. Porak-poranda tinggal puing-puing. Rakyat hidup penuh ratapan kesengsaraan sampai hari ini. Manusia saling memangsa satu dengan yang lain. Tentu kita tidak mungkin lagi dapat menyanyikan bersama lagu kebangsaan kita, "Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa kita." Dan tentu pula lagu, "Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia" sudah tidak mungkin kita nyanyikan bersama lagi....

 

Saya teringat sebuah cerita. Sepasang suami istri petani pulang kerumah setelah berbelanja. Seekor tikus rumah memerhatikan makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar?" Ternyata, adalah perangkap tikus. Sang tikus rumah sangat kaget bukan kepalang. Ia pun segera berlari menuju kandang dan berteriak, "Ayam, ada perangkap tikus!!!" Sang Ayam dengan tenang berkata, "Tuan tikus, aku turut bersedih, tapi itu tidak berpengaruh apa pun padaku." Sang tikus lalu pergi menemui seekor kambing sambil berteriak. Sang kambing pun berkata, "Aku turut simpati, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan untuk membantumu." Tikus lalu menemui sapi. Ia mendapat jawaban sama, "Maafkan aku tikus, tapi perangkap tikus otu tidak berbahaya buat aku sama sekali, mungkin buat yang tubuhnya kecil aja kali. Ia lalu lari ke hutan dan bertemu dengan ular kobra. Sang ular kobra berkata dengan sombongnya, "Perangkap Tikus yang kecil tidak akan dapat membunuh aku." Akhirnya sang tikus kembali kerumah. Dengan pasrah mengetahui kalau ia akan menghadapi bahayanya sendiri. Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara keras perangkap tikusnya berbunyi menandakan telah memakan korban. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular kobra yang berbisa. Buntut ular kobra terperangkap membuat ular kobra semakin ganas dan menyerang istri pemilik rumah. Walaupun sang suami berhasil membunuh ular kobra, tapi istri tetap harus di bawa ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian istrinya demam. Ia lalu minta dibuatkan sop obat ceker ayam kepada suaminya. Dengan segera ia menyembelih ayamnya untuk dimasak. Tetapi sakit sang istri tak kunjung reda. Seorang teman menyarankan untuk makan hati kambing.Ia lalu menyembelih kambing untuk mengambil hatinya. Istrinya belum juga sembuh dan akhirnya meninggal dunia. Banyak sekali orang datang pada saat pemakaman sehingga sang petani harus menyembelih sapinya untuk memberi makan para pelayat yang datang ke rumahnya. Dari kejauhan sang tikus menatap dengan penuh kesedihan. Beberapa hari kemudian ia melihat perangkap tikus tersebut sudah tidak dipergunakan lagi.

 

Ketika Anda melihat kondisi Indonesia mulai disesaki dengan manusia-manusia intoleran, radikal, bengis, dan buta tuli pada nilai-nilai kasih dan kemanusiaan, dan suka menipu dengan mengatasnamakan agama dan Tuhan, apakah Anda bersikap seperti ayam, kambing, sapi, dan ular kobra dalam cerita di atas yang sama sekali tak peduli sebab Anda berpikir itu bukan masalahku, itu tak mungkin merugikanku? Kalau itu sikap Anda, ya, saya hanya bisa berharap, semoga nasib Anda tidak berakhir dengan tragis seperti ayam, kambing, sapi, dan ular kobra tadi. Semuanya jadi korban mengenaskan karena diam tak peduli. Diam itu bukan emas tapi maut. Firman Tuhan berkata dalam Yakobus 4:17, "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa." "Sebab upah dosa ialah maut...." (Roma 6:23a). Apakah kita masih mau tetap diam atau menyuarakan suara kebenaran Allah meskipun ada risiko yang harus kita bayar? Pilihan ada pada Anda! Tapi kalau boleh saya sarankan, bertindaklah seperti Ester. Demi keselamatan bangsanya dari niat dan perilaku jahat Haman, Ester bertindak dengan caranya sendiri. Demi keselamatan bangsanya, Ester berkata, "kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati." Satu komitmen perjuangan yang amat mulia demi sebuah misi menyelamatkan bangsa dari kebengisan Haman si penjahat tingkat dewa. Mari kita menjadi Ester-Ester demi keutuhan NKRI harga mati dari manusia-manusia intoleran radikalis yang mau matikan harga NKRI harga mati!

[Padri Hans, Tegal, Rabu, 4 Januari 2017, pukul 11.11 WIB].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun