Illegal Fishing ini terjadi karena negara-negara tetangga yang merasa Indonesia memiliki sumber daya laut yang melimpah, sehingga menarik perhatian mereka untuk ikut merasakan hasil alam itu. Tetapi yang mereka lakukan justru mengambil sumber daya laut itu secara ilegal tanpa izin masuk, yang tindakan ilegal itu tidak dibenarkan dalam undang-undang perikanan dan undang-undang ZEE Indonesia.
Selain karena melimpahnya sumber daya laut itu, illegal fishing juga bisa terjadi ketika terjadi celah hukum dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentga perikanan. Sebab didalam pengertian ayat itu sedikit rancu yang mengatakan orang atau badan hukum asing dapat masuk ke wilayah ZEE Indonesia dan melakukan usaha penangkapan ikan namun melalui persetujuan badan internasional.
Pengambilan ikan secara ilegal ini tentu memicu amarah pelayan yang kemudian marah ini di dengar oleh pemerintahan. Pada awalnya dilakukan pengawasan ketat oleh patroli pengawasan yang ditunjuk dengan cara mengirimkan kapal-kapal guna mengawasi laut. Tujuan pengawasan tersebut adalah untuk menunjukan bahwa eksistensi penjagaan laut di Indonesia itu “ada”, sehingga diharapkan tidak ada kembali illegal fishing yang terjadi di wilayah perairan Indonesia.
Karena permasalahan ini dikirimlah menteri luar negeri Indonesia ke Vietnam guna membahasa batas maritim antara Indonesia dan Vietnam. Pertemuan itu menghasilkan sebuah keputusan yaitu provisional agreement, dimana hasil dari keputusan PA tersebut mengatur wilayah yang tumpang tindih di batas maritim kedua negara tersebut. Diharapkan hal ini mampu mengurangi kasus illegal fishing di Indonesia.
Bahkan sebelum pertemuan keputusan ini, Indonesia pernah membahas hasil kerugian yang diakibatkan oleh kapal-kapal vietnam di Indonesia. Sebab kedatangan kapal vietnam ke Indonesia yang melakukan illegal fishing itu dinilai melakukan kecurangan di perairan Indonesia, maka tidak ada pilihan lain selain menenggelamkan mereka.
Namun sayangnya di tahun 2019, kembali terdengar kabar tidak mengenakan. Sebab kapal vietnam menabrakan kapalnya ke kapal pengawas Indonesia. Atas laporan itu, menteri kelautan Susi Pudjiastuti mengatakan untuk melakukan pengawasan secara intensif agar kejadian tersebut tidak terulang kembali.
Akan tetapi cara ini juga tidak membuat jera pada pelaku illegal fishing, maka dilaksanakan sebuah diplomasi yang dinamakan diplomasi koersif. Pada awalnya dengan landasan diplomasi ini, negara mengirim kembali kapal-kapal pengawass namun kali ini dengan kekuatan militer sebagai penggunaannya. Hal ini ditujukan untuk mengamankan kepentingan nasional memalui personel negaranya.
Dirasa cara ini belum juga berhasil membuat kapal asing jera karena telah memasuki wilayah lain dan melakukan illegal fishing, maka kemudian diberlakukan diplomasi dalam bentuk lain yaitu maritim koersif. Dalam diplomasi ini yang digunakan untuk membuat jera adalah bentuk ancaman oleh negara maupun non negara dengan tujuan memberikan rasa takut pada kapal asing dan meminta mereka untuk mundur dengan sendirinya.
Semua cara dilakukan dalam bentuk diplomasi maritim koersif ini. Dan angkatan laut memiliki peran besar dalam menjaga keselamatan maritim Indonesia. Cara lain yang dilakukan Indonesia untuk membuat jera kapal asing adalah dengan penembakan, penyerangan, dan lainnya.
Maka pada tahun 2018, Indonesia menunjukan “keseriusan” mereka dalam menjaga eksitensi perairan wilayah lautnya. Sekitar 125 kapal telah ditenggelamkan dan pada tahun 2019 sebanyak 19 kapal asing ditenggelamkan pada laut Indonesia. Pelaksanaan penenggelaman kapal ini dilakukan tidak lain atas izin dari menteri kelautan dan perikanan yaitu Susi Pudjiastuti.
Bahkan beliau pernah menenggelamkan 13 kapal asing dari vietnam. Upaya ini bisa dikatakan kuat dan efektif dalam memberikan efek jera pada kapal asing yang masih berani melakukan illegal fishing di perairan Indonesia.