Hari Sabtu, 22 Juni 2019, terdengar gelak tawa dari dalam teater Ciputra Artpreneur. Jauh dari penampilan wayang orang yang serius, mahasiswa dan mahasiswi Prasetya Mulya menampilkan cuplikan kisah Mahabharata dengan gaya ekletik anak muda.Â
Arjuna: Perjuangan Mengungkap Makna, adalah persembahan Prasmulyan, demikian mahasiswa dan mahasiswi universitas tersebut dipanggil, dalam acara tahunan mereka Sanskerta.Â
Acara inilah yang tampaknya menjembatani para penonton, yang kebanyakan adalah orang muda, untuk larut dalam kisah dan canda tawa pementasan cuplikan Mahabarata tersebut.
Menurut Yosua Andrew, ketua Sanskerta 2019, bahasa Sanskerta sendiri merujuk ke bahasa yang berbudaya. Tampaknya ini yang mereka tampilkan dalam tagar #KamiYangBerbudaya.Â
Nama Universitas Prasetya Mulya juga terinspirasi dari bahasa Sanskerta yang berarti janji mulia. Tampaknya selain mendidik anak-anak bangsa untuk mampu berkarir secara profesional, universitas ini juga mengemban janji mulia untuk terus menjaga budaya Indonesia. Tagar #GueUntukBudayaIndonesia tampaknya menjadi ungkapan janji Prasmulyan untuk terus menjaga budaya bangsa.Â
Menurutnya, Arjuna bisa menjadi sarana menyampaikan pesan bagi anak muda yang sedang mencari jati dirinya agar selalu menjaga nilai-nilai keutamaan dalam diri mereka, terutama sikap ksatria yang selalu berani memperjuangkan kebenaran serta kerendahan hati.
Digali dari perbincangan bersama, tampaknya kegalauan anak muda akan jati dirinya dan kesombongan diri yang dapat menjatuhkan mereka merupakan bagian dari perjuangan Arjuna dalam mengungkap makna diri dan keberadaannya.
Dipersiapkan selama sepuluh bulan oleh tiga angkatan yang berbeda tampaknya merupakan suatu tantangan tersendiri bagi Prasmulyan. Tidak kurang dari 180 orang yang terlibat dalam persiapan acara ini, 75 orang di antaranya adalah penampil yang menghidupkan panggung teater sehingga penonton ikut larut dalam kisah tersebut.
Profesionalitas tampak menjadi bagian dari mengasah ketrampilan kerja para mahasiswa. Dari desain pakaian, properti hingga promosi dan penentuan harga tiket menjadi bagian dari aplikasi keilmuan dan ketrampilan mereka.Â
Para penampil juga mengikuti workshop "Hidup dan Karakter" dengan bimbingan seniman senior Rudolf Puspa dari Teater Keliling. Alhasil mereka dapat tampil dengan totalitas penampilan yang memukau penonton.Â
Yang paling menarik dari pertunjukan ini adalah gaya anak muda yang kental. Mereka meramu tampilan drama musikal ini tanpa kekangan aturan (pakem).Â
Lihat saja Nakula dan Sadewa yang paling sering mengocok tawa penonton. Mereka dengan santai menggunakan logat Betawi dan melemparkan candaan dalam bahasa gaul terkini. Dengan cuek juga mereka melanjutkan pantun dengan lagu rap. Mereka bermain, bertengkar, dan menjalani hdiup dengan santai. Khas anak muda...
Perlengkapan yang digunakan juga dibawa santai, Nakula dan Sadewa dengan girang ditampilkan bermain sepeda. Lakon yang ditampilkan terkadang terasa pengaruh Lenong Betawi, terkadang terasa kilasan gaya Opera van Java. Ada kalanya gaya teatrikal yang kuat mencuat. Semuanya tampil cair tanpa beban.Â
Para bidadari yang datang menggoda Arjuna dalam pertapaannya dengan bebas digambarkan melalui tarian balet yang tampil memukau dalam kekuatan permainan cahaya di atas panggung teater.Â
Permainan cahaya dan gerak lagu yang mempesona juga tampil dalam adegan Bale Sigala-gala yakni kebakaran di Jatugreha yang didiami Kunthi dan Pandawa bersama Draupadi. Pakaian para penari yang memerankan lidah-lidah api yang menari-nari membakar rumah tampil hidup dalam kostum yang mampu memperkuat kesan visualnya.Â
Sikap sombong Arjuna mencapai titik keterpurukannya ketika Draupadi, sang istri, dipermalukan oleh Duryodhana beserta Dursasana dan para Kurawa. Bagaimana seorang suami tidak mampu membela istrinya, merupakan pukulan yang sangat berat baginya. Sanskerta 2019 memang memilih untuk melihat kisah dari sudut pandang Arjuna, terlepas dari kontroversi versi India di mana Draupadi harus menjadi istri kelima Pandawa, atau versi Jawa di mana ia lebih dikenal sebagai istri Yudhistira.
Ketidak-berdayaan Draupadi ditambah keputus-asaan yang dirasakannya karena tidak dibela oleh suaminya, Arjuna, diperankan dengan gemilang oleh Jane Anastasha. Didukung dengan koreografi apik dari Siko Setyanto dan tim koreografernya, peristiwa Draupadi mempertahankan tubuhnya, walaupun terlindungi oleh kain bajunya yang tidak pernah habis karena pertolongan Dewa Khrisna, merupakan penyampaian visual yang sangat kuat.Â
Yudhistira yang jatuh dalam kelemahan dirinya yang suka berjudi, sampai hati menjual saudara-saudaranya beserta Draupadi. Duryodhana yang selalu mendapat  dukungan dari Dretarastra terlalu tamak untuk membiarkan Pandawa hidup senang di atas kerja keras mereka sendiri. Rasa iri, ketamakan, dan termakan hasutan membuatnya terus berupaya jahat.
Sutradara Markus Hardjanto beserta seluruh tim kerjanya sukses membawa penonton untuk berinteraksi dengan penampilan teater tanpa terkesan berat dan membosankan.Â
Semangat Sanskerta 2019 sebenarnya sangat menarik bila direfleksikan juga pada kondisi politik NKRI akhir-akhir ini. Inilah nilai terpenting dari sebuah tontonan, dimana penonton pulang bukan hanya terpuaskan dari segi visual tapi juga digugah untuk refleksi diri dan terinspirasi untuk menjadi bagian dari perubahan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H