Sedih rasanya menyaksikan liputan warga pada unjuk rasa pengemudi taksi konvensional kemarin, 22 Maret 2016. Aneh juga melihat pengemudi dengan seragam suatu perusahaan taksi menghancurkan mobil taksi yang berlogo perusahaannya sendiri. Kalau temannya harus mencari uang untuk biaya keluarga pada hari unjuk rasa itu, apakah harus dihukum dengan merusak aset perusahaan tempat mereka bekerja? Kalau perusahaan rugi, bukankah bebannya akan menimpa mereka juga?
Sebagai konsumen, saya berusaha untuk setia pada taksi konvensional. Tetapi tidak bisa dihindari kenyataan bahwa orang-orang yang beralih ke jasa kendaraan berbasis aplikasi juga punya alasan yang sangat kuat.
Pertama, ketika memanggil taksi melalui call center terkadang sangat susah untuk masuk. Setelah telpon diangkat, belum tentu ada kendaraan yang bisa dikirimkan segera karena memang sedang jam sibuk. Kalaupun ada kendaraan, belum tentu juga bisa datang dengan segera. Pemanggilan berdasarkan aplikasi jelas sangat membantu mencarikan pengemudi yang tersedia di area terdekat dan mau mengantarkan ke tempat tujuan. Tidak sedikit pengemudi taksi konvensional (yang dicegat di jalan) yang menolak mengantarkan penumpang bila harus melalui daerah macet. Semakin instan masyarakat, semakin tinggi kebutuhan untuk pelayanan yang segera ini. Sebenarnya taksi konvensional juga sudah ada yang memakai aplikasi untuk memantau seberapa jauh taksi pesanan itu dari tempat pemesan taksi. Tapi, mungkin tidak semua jenis taksi bisa dipantau seperti ini.
Kedua, masalah keamanan penumpang. Seringkali penumpang juga memilih jenis taksi yang akan dicegat di jalan karena takut mendengar berbagai peristiwa kejahatan yang menimpa penumpang taksi. Ada beberapa perusahaan yang cukup terpercaya, terutama karena sikap pengemudi mereka yang sopan, jujur dan sangat mendahulukan keselamatan penumpang.
Sayangnya, semakin hari tampak pengetahuan pengemudi akan jalan semakin kurang. Entah mereka sengaja supaya bisa mendapat jalur yang lebih panjang, atau memang mereka pendatang baru di Jakarta sehingga kurang tahu jalan. Kalimat pembuka mereka biasanya, "Mau ke mana, bu? Lewat mana ya? Tolong tunjukkan jalannya ya..." Apakah penumpang pasti tahu jalan? Biasanya tidak...
Bagi pemilik aplikasi pemantau jalan, tentunya lebih mudah menghindari jalur macet dan lebih tahu jalan-jalan yang harus diambil untuk mencapai tujuan penumpang dengan cepat.
Dua hal utama itu yang membuat jasa kendaraan berbasis aplikasi lebih dipilih penumpang, selain tentunya biaya yang juga sangat berbeda antara taksi konvensional dan jasa kendaraan berbasis aplikasi.
Orang-orang yang memilih taksi konvensional masih memilihnya karena dasar kepercayaan. Sayangnya, kepercayaan kami itu dikhianati dengan unjuk rasa yang bernuansa anarkis. Merusakkan mobil, motor, bahkan berkelahi dengan mahasiswa. Secara tiba-tiba kami harus melihat wajah-wajah "baru" (atau wajah-wajah "asli"?) dari sopir taksi kepercayaan kami. Tutur kata yang akhir-akhir ini memang tidak lagi sesopan di masa lalu, tiba-tiba menjadi tutur kata penuh kebencian yang diumbar di facebook.
Selamat datang di dunia maya. Di sana, sekat-sekat yang ada tidaklah nyata. Merasa berujar di halaman rumah sendiri, tapi dalam hitungan detik sudah bergaung hingga ke luar benua. Itulah dunia kita sekarang.
Tindakan anarkis yang terjadi dalam sekejap disaksikan jutaan orang lewat telpon selular mereka. Padahal, orang-orang dengan telpon selular ini adalah pangsa pasar utama usaha yang berbasis aplikasi. Jadi kenapa harus anarkis? Bukankah hal itu akan membuat calon konsumen semakin bersimpati pada usaha berbasis aplikasi itu?
Setiap kali terjadi tindakan anarkis, pelaku tidak pernah memikirkan dampak biaya yang harus ditanggung; biaya kerusakan secara materil, dan lebih parah lagi adalah trauma yang masuk ke hati pengguna jasa. Kepercayaan yang dibangun selama berpuluh tahun bisa terhapuskan hanya dalam satu jam tindakan penuh anarkis.