"Namun orang yang bijak akan menerima segala bentuk perbedaan pandangan sebagai kekayaan, karena keseragaman pikiran sungguh-sungguh memiskinkan kemanusiaan" Begitulah kata-kata bijaksana dari Seno Gumira Ajidarma terkait toleransi dalam perbedaan. Beliau berpendapat bahwa diversitas merupakan esensi dari kemanusiaan, suatu hal yang bersifat integral akan identitas kami sebagai negara Indonesia.
Pada kegiatan ekskursi di mana saya dengan 19 teman saya yang lain pergi mengunjungi Pondok Pesantren Al Marjan di daerah Lebak, tentunya kami mengalami perbedaan yang begitu tajam dan kontras dengan kehidupan keseharian kami. Kegiatan ekskursi sendiri, merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan untuk membawa kami ke muka perbedaan, sekaligus mengembangkan rasa toleransi kami. Kami tidak hanya berbeda dalam hal kepercayaan, namun juga dalam cara kami belajar dan hidup keseharian, walaupun di antara kami masih terdapat satu persamaan yakni bahwa kami merupakan kaum pelajar.
Kami sampai di Pondok Pesantren Al Marjan sekitar jam sepuluh pagi pada hari rabu tanggal 30 Oktober 2024. Interaksi pertama kami dengan para santri dan santriwati di sana masih jelas di dalam benak saya, kami diperbolehkan untuk beristirahat selama sejam sebelum dipanggil untuk makan siang bersama dengan para santri hanya dengan menggunakan tangan, setelah nasi, lauk, dan sayur semua disajikan dalam bentuk plataran. Pada saat kami makan, itulah di mana kami baru mulai mengenal dan ngobrol dengan para santri tentang berbagai macam hal, saya menjadi kenal satu per satu santri di kelompok saya, personaliti mereka, sekaligus saya mengenali diri saya sendiri kepada mereka. Dari cara makan saja dan kondisi kehidupan mereka di sana, tentunya merupakan suatu hal yang sangat berbeda dengan standar kehidupan kami.
Walaupun begitu terdapat sebuah keindahan di tengah segala bentuk perbedaan kami, seiring berjalannya waktu dalam rentan waktu hanya dua malam tiga hari, kami menjadi sangat akrab dan bersahabat dengan para santri dan santriwati disana, seakan bertemu kembali dengan kerabat jauh. Melalui beberapa kegiatan seperti mengikuti mereka beribadah, ngaji, dan bahkan puasa kami sudah dapat mengenal mereka secara lebih dalam. Sama halnya mereka mengenal kami, terutama pada saat kami membantu mereka belajar di dalam kelas sebagai siswa-siswa sementara, bahkan mengajar satu atau dua materi seperti bahasa Inggris dan matematika. Kegiatan ekskursi bagi saya sendiri merupakan langkah pertama dalam mengenali keberagaman yang tersebar dan mewarnai Nusantara.
Justru oleh karena perbedaan ini kami mampu saling melengkapi. Memang benar bahwa perbedaan terkadang menciptakan perselisihan, tetapi justru melalui tantangan-tantangan tersebut kami mampu membangun rasa toleransi, dan benar-benar merealisasikan nilai dari budaya masing-masing kita, hal tersebutlah yang terjadi bagi diri saya sendiri selama saya di Pondok Pesantren Al Marjan. Seringkali saya ditarik oleh para Santri untuk berbincang dan bergurau setelah hari berganti, sekitar jam satu pagi pada saat teman-teman saya sudah tidur. Biasanya saya ngobrol sekaligus bertanya-tanya kepada mereka tentang kepercayaan Islam, sekaligus kehidupan di pesantren, sama halnya saya bercerita tentang agama katolik dan kehidupan saya balik di Jakarta, tetapi tentu terdapat banyak topik-topik kecil lain yang kami bahas.
Saya merasa seakan di rumah, dalam waktu hanya beberapa hari saya rasa seakan saya menjumpai saudara-saudari jauh saya yang begitu lama sudah berpisah. Salah satu pengalaman yang paling menarik bagi saya adalah mengenali mereka, masing-masing dari mereka mempunyai cerita yang unik, berbeda, dan tentunya juga sifat yang tidak sama satu dengan lainnya, sehingga di dalam kelompok mereka sendiri banyaklah perbedaan, hal yang sama pun dapat dikatakan bagi saya dengan teman-teman saya. Namun kami jarang menanggapi perbedaan-perbedaan kecil ini, yang justru memperbolehkan kami untuk saling membantu dan melengkapi satu sama lain di kehidupan sehari-hari, sehingga saya berani berkata bahwa perbedaan dan diversitas, diperlukan untuk mencapai kesatuan.
Saya dengan teman-teman juga sempat pergi dan mengunjungi suku Baduy, tentunya disana kami mempunyai cerita tersendiri. Saya melihat bagaimana suku Baduy luar, walaupun sudah memanfaatkan teknologi belum kehilangan ciri khasnya, yakni desa dan bangunan-bangunan yang dibuat dari kayu dan rotan, cara menjahit tradisional, dan banyak hal lainnya. Walaupun kami hanya menghabiskan waktu tidak lebih dari dua jam disana, namun perjalanan dan pengalaman saya disana merupakan salah satu yang palin berkesan bagi diri saya sendiri.Â
Tidak lama kemudian datanglah hari terakhir, waktu terasa sangat cepat dan menurut saya, lumayan nanggung karena kami baru saja mulai benar-benar akrab dengan para santri dan santriwati di sana.Namun tentu kami pulang tidak tanpa membawa hasil, pengalaman tersebut telah menjadi bekal bagi kami, menjadi sebuah pelajaran untuk hormat dan mengedepankan toleransi di NKRI ini yang sangat beragam penduduk-penduduknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H