Halo sahabat pariwisata, sudah ada rencana kemana untuk weekend besok? Saya mau bercerita pengalaman menghabiskan waktu seharian penuh bersama teman-teman blogger, penggiat media sosial dan para penggiat pariwisata memenuhi undangan dari Dinas Pariwisata Kulon Progo.
Titik kumpul kami di Dinas Pariwisata DIY, berangkat tepat pukul 07.30 WIB langsung menuju Desa Wisata Glagah. Perjalanan ditempuh kurang lebih 1 jam 20 menit dengan menggunakan armada pariwisata (Hiace). Menyusuri jalanan kota Yogyakarta yang tak begitu padat pagi itu lalu mengarah ke Jalan Wates. Jalan Wates merupakan jalan utama yang menghubungkan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo, merupakan jalan provinsi yang dilewati kendaraan umum seperti bus AKAP rute Jogja- Purworejo, Banyumas, Purwokerto sampai Jakarta. Jalan Wates juga salah satu jalan utama menuju Bandara YIA.Â
Sampailah rombongan kami di Desa Wisata Glagah, yang berada tepat di belakang bandara YIA.
Desa Wisata Glagah
Tujuan pertama kami mengunjungi Desa Wisata Glagah, banyak orang mungkin sudah tidak asing lagi dengan pantai Glagah dan Laguna Glagah, siapa sangka kalau Glagah juga merupakan desa wisata yang punya banyak potensi, bukan hanya laut saja yang memang sudah terkenal sejak dulu. Kedatangan kami di Desa Wisata Glagah disambut oleh Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kulonprogo dan beberapa Kabid, Kasi dan stafnya. Sebelum pembukaan dan sambutan kami disuguhi dengan hidangan khas Kulon Progo berupa pecel sayur. Sayuran dipetik langsung dari tanaman yang dibudidayakan warga dengan bumbu kacang yang nikmat plus kerupuk sebagai pelengkap. Disajikan dengan pincuk daun pisang, sebagai bentuk kearifan lokal memanfaatkan apa yang ada disekitar. Untuk penghilang dahaga disediakan juga es buah segar yang mantap selain air mineral kemasan.
Acara dibuka oleh Kadispar Kulonprogo Joko Mursito, S.sn, M.A. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa Kulonprogo punya potensi yang sangat besar untuk bisa dikembangkan. Terlebih dengan adanya Bandara YIA, saat ini Kulon Progo terus berbenah dari berbagai sektor, terutama sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Lanjut beliau, "Saat ini kita berada di Kulon Progo lantai satu (Glagah) dan nanti akan berakhir di Kulon Progo lantai tiga (Gua Kiskendo yang berada di ketinggian Bukit Menoreh)". Masih menurut Joko Mursito, pariwisata Kulon Progo sudah siap menerima kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegara.Â
Para peserta famtrip selanjutnya diajak mengunjungi tempat pembuatan jala nelayan. Ada beberapa nelayan yang sedang menganyam jala dengan alat sederhana, tangan terampil mereka memainkan alat dengan telaten, hingga terbentuklah jala yang biasa digunakan untuk menangkap ikan. Harga satu jala ternyata bisa mencapai jutaan rupiah, ini karena bahan dan pengerjaannya yang rumit. Namun hanya sedikit yang punya keahlian menganyam jala. Tertantang untuk mencoba membuat jala? Bisa lho belajar langsung dari ahlinya di Desa Wisata Glagah.Â
Off Road Bersama Jeep Wisata Glagah (Jewiga)
Setelah melihat langsung pembuatan jala, selanjutnya peserta famtrip diajak untuk naik Jeep berkeliling Glagah. Baru tahu kalau ada wisata Jeep di Glagah. Saya sengaja mengambil kursi depan, untuk menikmati indahnya pohon cemara di depan dan samping, menikmati angin pantai yang mulai terasa panas kerena cuaca sangat cerah. Semesta berpihak pada kami, untuk menikmati keindahan dan keseruan famtrip saat itu. Saya bertanya kepada Mas Heri yang membawa Jeep kami, tentang kapan mulai ada wisata Jeep ini, ternyata Jeep Glagah beroperasi sudah 6 bulan atas inisiatif warga sekitar lalu dibentuk komunitas Jeep untuk melayani wisatawan yang ingin melihat dan berkeliling menikmati keindahan Glagah. Jeep Wisata ini diharapkan bisa mendatangkan wisatawan lebih banyak lagi, selain menjadi sumber penghasilan tambahan bagi warga tentunya.
Dengan Jeep ini wisatawan akan menyusuri jalur off-road yang telah ditentukan dengan berbagai karakter medan. Ada yang landai, berpasir, beberapa tanjakan membuat teriakan seru para peserta off-road. Kami diajak mampir ke Laguna Glagah melihat langsung bagaimana nelayan menebarkan jala dan menangkap ikan. Serta menikmati keindahan Laguna Glagah yang cantik memesona.Â
Salah satu yang sangat berkesan dari perjalanan dengan Jeep ini ketika Jeep harus melewati tepian Laguna dan masuk ke air dengan kedalaman kurang lebih 50 cm. Jeep yang kami tumpangi sempat mati mesin sesaat ketika harus menukik di tanjakan air Laguna sebelum nyemplung ke air yang agak dalam. Tapi di sinilah letak keseruannya. Bisa melihat keindahan alam dengan cara berbeda, dan masih berlanjut masuki hutan Cemara yang asri dan sejuk sebelum akhir sampai di tepi Pantai Glagah.
Desa Wisata PurwosariÂ
Puas menikmati keindahan Glagah dengan semua potensinya kami pun melanjutkan perjalanan menuju Kulon Progo lantai tiga. Tujuan berikutnya adalah Desa Wisata Purwosari. Perjalanan ditempuh kurang lebih 40 menit. Kedatangan kami disambut dengan musik gamelan yang indah, para penerima tamu pengelola Desa Wisata menggunakan Surjan dan kain panjang serta iket kepala yang merupakan pakaian adat pria khas Yogyakarta.Â
Senyum sapa ramah mereka menyambut kedatangan kami. Dan rombongan juga berkesempatan mencicipi geblek dan dijamu makan siang dengan menu Nasi Nuk Santri yang merupakan hidangan khas Girimulyo Kulon Progo. Tarian Angguk juga dihadirkan menemani santap siang kami. Kostum indah dan beberapa penari cantik memainkan gerakan gemulai menyesuaikan dengan iringan musik dan menciptakan harmoni yang indah. Makan siang kali ini terasa sangat berbeda dan menyenangkan. Karena bisa melihat potensi desa yang terus dikembangkan. Semoga semakin banyak anak muda dan masyarakat yang mau mengembangkan desanya seperti ini.
Setelah cukup tenaga untuk melanjutkan perjalanan, para peserta famtrip diajak melihat langsung perkebunan teh. Dan saya baru tahu kalau di Desa Purwosari ini juga ada perkebunan teh. Saya kira hanya di Nglinggo saja. Kalau dibandingkan dengan Nglinggo perkebunan teh di Purwosari ini memang lebih kecil, namun dari sini justru menghasilkan teh dengan kualitas terbaik bahkan diminati wisatawan mancanegara. Pengolahannya pun masih sederhana menggunakan teknik manual dengan tungku dan gerabah tanah liat yang memerlukan waktu lebih lama sampai 14 jam dan ada pula yang menggunakan mesin dengan waktu pengolahan 8 jam. Teh yang dihasilkan adalah teh hijau premium. Buat saya pecinta teh tentu merasakan nikmatnya perbedaan rasa antara teh pabrikan dan teh artisan.Â
Perjalanan pun dilanjutkan menuju sentra penjualan Kambing Etawa Sedah Merah, kambing yang dijual disini adalah kambing untuk lomba. Lho ada lomba kambing etawa ternyata, menurut penjelasan dari pengelola bentuk muka kambing, bentuk telinga dan warna menentukan harga jual. Harga jual kambing etawa untuk lomba juga sangat fantastis, bisa sampai 15 juta/ ekor bahkan bisa lebih untuk usia sekitar 7 bulan.Â
Tertarik untuk budidaya Kambing Etawa? Bisa juga belajar di sini bagaimana cara beternak Kambing Etawa. Luar biasa ternyata potensi desa Purwosari selain dikenal sebagai desa penghasil salak selama ini, ternyata ada potensi lain yang juga terus dikembangkan.Â
Kunjungan terakhir di Desa Purwosari adalah tepat pengolahan kopi, kopi di sini juga tidak kalah dengan kopi yang ada di kedai kopi ternama. Kami pun berkesempatan melihat langsung dan belajar pengolahan kopi di Kopi Jebret Girimulyo. Kopi dari Desa Purwosari ini ditanam dengan sistem tumpang sari, jadi lahan yang digunakan tidak hanya untuk menanam kopi saja, tetapi juga tanaman lain seperti cengkeh dan kapulaga. Namun dari sinilah dihasilkan kopi yang unik, dengan pengolahan standar menghasilkan kopi dengan cita rasa yang berbeda namun nikmat dan tidak kalah dengan kopi lainnya.Â
Keunggulan lainnya adalah biji kopi yang digunakan adalah biji kopi petik merah. Peralatan disini pun komplit, disupport langsung oleh dinas pertanian untuk pengolahan dan pengembangannya. Para peserta famtrip juga bisa menikmati langsung suguhan Kopi Jebret khas Girimulyo. Beberapa peserta famtrip terlihat membeli kopi bubuk yang sudah dikemas dengan cantik untuk dibawa pulang.
Eksotisme Gua Kiskendo
Mengakhiri perjalan kami hari ini, kami diajak menikmati suasana kesegaran alam Gua Kiskendo yang asri. Gua Kiskendo merupakan salah satu Gua yang konon ditemukan  2 abad yang lampau, sudah lama menjadi salah satu objek wisata andalan Kulonprogo yang menyimpan banyak cerita sejarah. Sayang waktu sudah terlalu sore sehingga rombongan famtrip kali ini tidak samai masuk ke Gua. Namun kami berkesempatan menyaksikan sendratari Sugriwa Subali yang konon merupakan kisah sejarah dibalik Gua Kiskendo. Ada yang berbeda saat kami menyaksikan pertunjukan sendratari kali ini dari sendratari Sugriwa Subali yang pernah saya lihat sebelum pandemi.Â
Kali ini semua pemain menggunakan topeng. Ternyata pandemi covid memang merubah segalanya. Topeng yang digunakan pada sendratari Sugriwa Subali kali ini ditujukan sebagai pengganti masker untuk para pemain sekaligus sebagai salah satu cara yang dianggap efisien dalam persiapan waktu pertunjukan, karena tidak memerlukan makeup yang memakan waktu lama. Selain itu para penari pemain pertunjukan tetap dapat bermain dengan aman, nyaman dan totalitas dalam membawakan perannya.
Berbeda jika harus makeup tetapi wajib menggunakan masker, percuma dan sayang karena polesannya tertutup masker. Akhirnya topeng menjadi solusi terbaik untuk para pemain. Meskipun para pemain menggunakan topeng namun tak mengurangi keindahan penampilan sendratari Sugriwa Subali. Semua penonton terlihat terbuai menikmati alur cerita yang dibawakan dari awal sampai akhir. Beberapa penonton juga terlihat mengambil foto mengabadikan momen yang mereka lihat. Untuk saya pecinta seni pertunjukan Sendratari ini seolah mengajak bernostalgia sambil mengingat cerita legenda yang dibawakan dimana kisah ini menceritakan tokoh Sugriwa dan Subali, kakak beradik yang berwujud manusia setengah kera.Â
Mereka berjuang untuk mengalahkan Mahesasura dan Lembusura, manusia berkepala sapi yang mengusik kedamaian khayangan, karena mengganggu Dewi Tara putri dari Bathara Indra. Cerita ini dikemas begitu indah dan menjadi bagian dari pertunjukan dari Goa Kiskendo yang dapat dinikmati oleh para wisatawan setiap bulannya.Â
Sendratari ini juga merupakan bagian dari upaya yang dilakukannya Dinas Pariwisata Kulon Progo untuk mengenalkan budaya kepada masyarakat luas, sekaligus menarik minat wisatawan untuk datang mengunjungi Gua Kiskendo. Sehingga wisatawan yang datang bisa menikmati keindahan wisata alam susur gua dan juga keindahan pementasan sendratari Sugriwa Subali yang tak kalah apik dengan sendratari Ramayana.
Sobat pariwisata bagaimana dengan cerita diatas? Menarik ya menikmati seharian penuh di Kulon Progo. Masih banyak sekali tempat wisata yang bisa dikunjungi di Kulon Progo. Jadi apa rencana liburanmu selanjutnya? Semoga Kulon Progo bisa menjadi alternatif tujuan wisata liburan kalian ya, karena pesona alamnya yang indah. Â Kekayaan wisata budaya dan bahkan wisata religi juga ada di sini. Happy weekend.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H