Mohon tunggu...
Humaniora

Review Buku: Lelaki Tua dan Laut Ernest Hermingway

30 Oktober 2016   08:54 Diperbarui: 30 Oktober 2016   09:29 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki tua itu bernama Santiago. Bertahun-tahun hingga tua kini ia menjadi nelayan. Menyambangi ikan-ikan di perairan Teluk Meksiko. Ia lelaki tua, yang tentu saja dikalahkan oleh nelayan muda berkapal besar. Ia Santiago, lelaki tua, nelayan tua, berkapal kecil.

Hari itu dan setiap harinya nelayan muda berkapal besar balik ke daratan. Membawa ikan besar tangkapan mereka, lumba-lumba hingga hiu. Lelaki tua itu berhari-hari melaut tapi tak dapat dikata ikan hasil kerjanya hanya ikan kecil.

Hingga suatu hari, takdir itu menjemput kailnya.

Buku ini berkisah tentang lelaki tua yang pada akhirnya mendapatkan apa yang ia harapkan. Ia berhasil menjerat ikan besar yang bahkan amat besar di luar perkiraanya. Ikan yang panjangnya sepanjang kapalnya ditambah dua kali panjang kakinya. Yang badannya dua kali ukuran kapalnya.

Di sinilah kisah sesungguhnya bermula. Setelah berhasil terkena kait, lelaki tua itu tidak langsung membunuh ikan besar itu. Ia melihat ikan ini berbeda. Ia ikan yang cerdas, bijaksana, dan sangatt tenang. Belum pernah ia menghadapi ikan yang setenang itu meski sadar muncungnya kini terkail.

Lelaki tua kemudian menegosiasi dirinya sadar bahwa ikan itu tak mudah dibunuh. Akhirnya, ia membiarkan ikan itu menggerakkan kapalnya, menjauh dan semakin menjauh ke arah Timur.

Sepanjang 40 hari lelaki tua itu terombang ambing di laut. Menunggu hingga ikan itu naik sendirinya ke permukaan, menyerahkan harga dirinya.

Bagian ini menurut saya sangaat menyebalkan. Saya sendiri berasa tidak sabar dan ingin tahu bagaimana akhir sesungguhnya. Ikan itu antara berhasil dan tidak ditangkap sehingga membuat degdegan dan segera ingin membaca halaman demi halaman.

Ternyata, berhasil (setelah rempong dan lama sekalee benar-benar serasa 40hari -_-) Ikan itu dengan sendirinya lelah dan mengalah. Dan lelaki tua berhasil bertahan meski mengorbankan darah di tangan kirinya dan punggung yang sakit karena menahan tali tarikan ikan.

Apakah berakhir? Tidak! Pertarungan sesungguhnya itu baru berlangsung ketika ikan diikat di samping kanan perahunya (karena besar sekali jadi tidak mungkin masuk ke kapal).

Dalam perjalanan pulang, bau amis dan darah ikan besar itu tak dapat dihindari menyeruak di laut. Para hiu mencium dengan cepat. Tiba2 seekor hiu mendekati perahu, menggigit ikan mati itu. Namun dengan tangkas lelaki tua membunuhnya.

Hari berikutnya, dua hiu lagi lagi mendekati. Ikan besar itu kini tinggal seperempat saja tubuhnya. Tak utuh lagi. Lelaki tua itu geram. Sadar sebenarnya bahwa petaka belum berakhir dan sadar bahwa mungkin usaha 40 harinya akan sia-sia. Namun, inilah makna dari novel ketika harga diri dan kesungguhan tidak bisa dikalahkan. Ketika telah berjuang artinya tak akan menyerah.

Jpeg
Jpeg
Akhirnya, lelaki tua sampai di darat. Ikan besar itu? Hanya kepala dan ekornya yang tersisa, menempel di sisi perahunya. Nelayan lain yang melihat bekas ikan itu amat terkejut. Begitu besar sampai membuat mereka terhenyak.

Overall, saya suka dengan buku ini. Buku ini akan menguras habis kesabaran kita. Penulis membuat ceritanya terus diulur ulur, kita seperti lelaki tua yang mengambang di laut tidak bisa menebak bagaimana kelanjutannya.

Saya juga suka cara penulis memberi dialog tokoh utama. Tidak dengan tanda kutip melainkan paragraf2 yang sangat apik dan unik. Ketika dialog dengan diri sendiri sangat banyak dan dalam sekali.

Agak kesal sebenarnya karena penulis benar-benar mendeskripsikan segala hal dan mengulur ending. :’D jadi greget dan kesel di satu waktu. Tapii saya suka pelajaran yang diberikan dalam. Kesedihan yang diperlihatkan juga sangat dalam.

Penulis seolah mengingatkan bahwa perjuangan itu kadang besar tapi hasilnya tidak ada. Kadang kita harus benar-benar tegar untuk menghadapi perasaan kecewa, perasaan sedih. Kadang hidup memang tak bisa dimengerti.

Ohiya, novel karya Ernest Hemingway ini adalah peraih Pulitzer nobel kesusastraan tahun 1953 (ini alasan saya beli sebenarnya, pingin tau gimana sih karya yang dapet nobel itu. Dan ternyata worth it).

Nggak salah sih karya ini meraih nobel karena memang keren menurut saya. Alur yang tidak semua orang mungkin bisa terima tapi itulah kenyataan.

Jadii?? Rekomendasi nggak?

Yes! Surely! Tapi tidak Highly recommend karena ini sastra dan terjemahan juga jadi agak menguras pikiran memahami kalimatnya jadi kalo kamu pecinta novel yang lebih ke alur mending jangan baca soalnya bakal bosennn wkwk.

Tapi kalo kamu suka nyastra dan suka yang maknawi dan agak filosofian, ini recommended banget kok ^^. Yang pasti setelah baca,kamu bakalan berpikir lebih bijak, sadar kalo hidup tuh keras cuy, dan nggak selamanya perjuangan yang besar sekalipun berakhir indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun