Sobat Kompasiana, pernahkah mendengar thrift shop? Ibun Enok ketika melewati beberapa ruas jalan di kota Jogja seringkali melihat toko yang berlabel thrift shop. Toko yang Ibun Enok lihat ini kebanyakan berjualan pakaian second hand atau bekas pantas pakai.
Kalau dulu sekitar tahun 2000-an Ibun Enok amati toko-toko ini belum menggunakan label thrift shop, sehingga nampak kurang menarik. Kalau di Jogja dulu ada yang mengistilahkan toko "awul-awul" karena baju-baju bekas yang dijual biasanya hanya ditumpuk begitu saja dan pembeli bebas mengaduk-aduk (awul-awul) untuk mencari baju yang dipilih. Sekarang kondisinya lebih tertata, dipajang di hanger baju layaknya toko baju baru sehingga lebih menarik. Menariknya barang-barang yang dijual ada yang bermerk (branded), sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum milenial. Mereka pun taksegan untuk berbelanja disini.Â
Karena rasa penasaran lantas Ibun Enok mencoba mencari tahu apakah sebenarnya itu thrift shop?Â
Kata "thrift" sendiri secara harafiah dalam terjemahan kamus bahasa inggris mengandung arti hemat (kata sifat), berhemat (kata kerja), penggunaan uang secara hati-hati, khususnya menghindari pemborosan dan bertujuan menabung di masa depan. Dari definisi thrift inilah kemudian meluas digunakan untuk istilah barang bekas atau second hand yang masih pantas pakai dan harganya lebih miring dari harga barunya. Jadi maksudnya konsumen bisa lebih berhemat dengan membeli barang bekas (thrifting) di toko thrift shop. Â
Selain istilah thrift, di beberapa marketplace atau toko online menggunakan istilah lainnya yaitu barang preloved. Namun bedanya, toko barang preloved lebih menjual barang-barang koleksi pribadi yang terbatas, tidak dalam partai besar seperti thrift shop.
Komoditi barang yang dijual di thrift shop sebenarnya tidak hanya baju. Ada juga yang  berupa tas, asesoris, topi, sepatu, barang elektronik, alat musik, peralatan rumah tangga, pernak-pernik hobi koleksi atau benda-benda unik dan jadul lainnya.
Ibun Enok jadi teringat, kalau di Jepang toko-toko second hand ini sudah dikenal sejak lama. Istilahnya disana toko "Hard Off" atau "Book Off". Hampir di setiap distrik ada toko-toko ini yang menjual berbagai macam barang, dari baju, tas, sepatu, buku, barang koleksi, mainan, elektronik, sepeda, peralatan bayi, sampai kebutuhan rumah tangga lainnya, sehingga boleh dibilang "surganya barang bekas". Kondisinya pun masih sangat layak pakai, seperti baru dan ditata secara apik di toko tersebut.Â
Di Jepang sendiri warganya tidak malu atau gengsi mendatangi toko-toko ini. Hal ini disebabkan karena seperti sudah menjadi budaya mereka untuk tidak membuang barang bekas menjadi sampah yang menumpuk serta prinsip hidup hemat. Membuang barang-barang dengan dimensi besar pun disana akan dikenakan pajak, sehingga memilih untuk menjual di thrift shop.Â
Selain di toko, warga biasanya menyelenggarakan event rutin "flea market" yang menjual barang-barang second hand dari rumah mereka, sekaligus untuk cuci gudang alias bersih-bersih rumah. Hal ini sangat didukung oleh pemerintah setempat. Event ini justru menjadi salah satu tujuan wisata yang dinantikan bagi turis mancanegara.
Saat ini di Indonesia, thrift shop nampaknya berkembang tidak hanya menjual barang secondhand, tetapi juga produk defect yang tidak lolos standar mutu (quality control) baik untuk pasar lokal maupun ekspor (sering disebut sisa ekspor), juga barang yang tidak laku dalam jangka waktu lama, kemudian diimpor dan dijual kembali oleh thrift shop.
Perkembangan lainnya dari thrift shop ada yang mewujudkannya dalam bentuk toko sedekah barang bekas. Konsepnya biasanya pemilik akan jemput bola bagi yang ingin mensedekahkan barang-barang bekasnya, kemudian pemilik toko akan mensortir lagi yang benar-benar masih pantas pakai dan dijual di tokonya dengan sangat miring agar yang membutuhkan bisa membelinya.Â
Berbelanja di thrift shop dapat menjadi sebuah pilihan bagi konsumen yang ingin berhemat dengan mencari barang pantas pakai, berkualitas, bermerk, dan lain daripada yang lain dengan harga yang ramah di kantong. Mereka ini biasanya memiliki budget pas-pasan. Bagaimana tidak, misalnya dengan hanya 100rb saja bisa mendapatkan 2 baju bahkan lebih. Selain itu ada juga yang meyakini belanja di thrift shop justru membantu mengurangi penumpukan sampah barang bekas dengan menggunakannya kembali.
Sebaliknya, membeli barang di thrift shop dihindari oleh sebagian konsumen lainnya dengan berbagai pertimbangan. Diantaranya konsumen yang gengsi membeli barang bekas, memiliki budget lebih untuk membeli barang baru, alasan kesehatan dari penggunaan barang bekas orang lain, serta berkeyakinan adanya thrift shop justru dapat menambah sampah dari impor barang bekas yang notabene sebenarnya dilarang secara hukum, terutama baju bekas.
Pelarangan baju bekas sendiri sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Dilarang Impor. Dalam peraturan tersebut yaitu Pasal 2 ayat (3) menjelaskan bahwa barang dilarang impor, antara lain kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas. Barang-barang bekas itu dilarang diimpor karena berdampak buruk bagi ekonomi domestik, terutama UMKM serta buruk untuk kesehatan penggunanya.
Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 tahun 2021 menyebutkan importir dilarang mengimpor barang dilarang impor. Â Bagi yang melanggar ketentuan larangan impor pakaian bekas akan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar.Â
Nah, bagaimana dengan sobat kompasiana, memilih berbelanja di thrift shop atau tidak? Setiap kita sebagai konsumen berhak menentukan pilihannya, kembali ke prinsip dan pertimbangan masing-masing, yang penting tidak sekedar mengikuti tren.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H