Aku selalu bangun tidur sebelum fajar menyingsing, terdorong oleh mimpi besar yang selalu aku nantikan. Panggil saja aku Nayla. Aku adalah seorang pegawai bank di salah satu bank swasta nasional di kotaku, aku adalah pegawai yang tekun, pekerja keras, dan tidak pernah mengeluh meskipun rutinitasku terkadang terasa membosankan dan cukup menguras tenaga.
Setiap harinya, setibanya di kantor, aku langsung terjun ke dalam tumpukan pekerjaan. Aku selalu melayani nasabah dengan ramah. Jam makan siangku pun seringkali hanya menjadi waktu tenang sejenak, sisanya kugunakan untuk membaca laporan leuangan atau mengatur strategi untuk mencapai target harian.
Setiap awal bulan, aku selalu menyisihkan sebagian besar gajiku, menabung untuk Impian terbesar dalam hidupku: membeli rumah. Bagiku, rumah bukan hanya sekedar tempat tinggal. Rumah adalah simbol dari kerja keras, dedikasi dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Ditengah rutinitasku yang penuh tekanan, aku akhirnya mendapatkan kabar yang menggembirakan. Seorang teman lamaku adalah seorang broker, ia menghubungiku dengan tawaran sebuah rumah yang tidak bisa kulewatkan, lokasinya strategis, harganya pun dibawah pasaran. Semangatku pun bergejolak, mengingat semua kerja keras dan pengorbanan yang selama ini kulakukan. Namun, ada perasaan was-was yang turut menyertaiku, saat aku menanyakan perihal kenapa rumah itu dijual, temanku hanya tersenyum dan mengatakan entahlah. Hatiku makin campur aduk dibuatnya.
Meski rasa curiga terus membayangiku, pada akhirnya aku memutuskan membeli rumah itu. Semua keraguan dan tanda tanya yang sempat menghantuiku kini berhasil kutepis karena keinginan kuatku untuk memiliki rumah sendiri. Hingga hari yang kutunggu telah tiba, aku menandatangani semua dokumen yang diperlukan dan menerima kunci rumah tersebut.
Kini rumah itu sudah menjadi milikku, perasaanku campur aduk antara kegembiraan, harapan, dan sedikit ketidak pastian. Tetapi aku merasa sangat bersyukur, setelah sekian tahun aku menabung untuk membeli sebuah rumah impian. Akhirnya pilihanku jatuh pada rumah ini, rumah yang katanya ditinggalkan oleh pemilik sebelumnya dengan alasan yang tidak disebutkan, jadi harganya sedikit lebih murah dibandingkan harga normal di pasaran. Tanpa pikir panjang, aku yang sudah ngebet punya rumah sejak lama akhirnya langsung menjatuhkan pilihan pada rumah ini begitu aku mendapatkan penawaran. Kapan lagi kan mumpung harganya sesuai dengan kantongku. Sebenarnya aku merasa janggal dengan harga yang katanya lebih murah ini, mengingat ukuran rumahnya sebenarnya cukup luas dengan design yang cukup modern dan elegan dengan aksen minimalis, dan bangunannya pun masih baru.
Setelah beberapa hari kepindahanku ke rumah ini, semuanya berjalan normal. Walaupun terkadang aku merasa agak aneh karena tinggal di rumah sebesar ini sendirian. Hanya itu saja, aku bisa dibilang cukup pemberani. Tapi ada satu hal yang menurutku paling janggal, cermin. Yak, di kamar utama yang aku tempati, ada sebuah cermin besar antik dengan design yang unik. Cermin itu salah satu barang peninggalan pemilik sebelumnya, aku tidak terlalu mempermasalahkannya dan memutuskan untuk tetap menyimpannya karena menurutku cermin itu unik meskipun terlihat kuno.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H