Saat pertama kali memasuki kampus, saya merasa gugup sekaligus antusias. Sebagai mahasiswa semester awal di Universitas yang mahasiswanya berasal dari berbagai penjuru Indonesia, saya tahu ini akan menjadi pengalaman yang penuh warna. Namun, saya tak pernah menyangka bahwa pertemanan saya dengan teman dari Kalimantan akan menjadi pintu gerbang memahami komunikasi antar budaya.
Hari itu, saya berjalan sambil memerhatikan sekeliling. Di sebelah saya ada seseorang dengan kulit kuning langsat dan berhijab. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Ila, seorang mahasiswa baru dari Kalimantan Timur. Dialeknya terdengar berbeda, tetapi hangat.
Percakapan kami dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan ringan. Namun, semakin lama kami berbicara, saya mulai sadar betapa banyaknya stereotipe yang secara tak sadar saya bawa. Saya sempat berpikir, mungkin dia masih terbiasa hidup dengan adat yang sangat tradisional. Namun, Ila justru mengagetkan saya dengan cerita-cerita tentang keberagaman budaya di Kalimantan yang sangat kaya dan dinamis, mulai dari suku Dayak hingga kehidupan di kota modern seperti Balikpapan.
Diskusi dengan Ila membuat saya sadar, stereotipe adalah salah satu penghalang terbesar dalam komunikasi antar budaya. Salah satu percakapan kami sempat membuat saya malu. Saya pernah bertanya dengan nada bercanda, “Apakah kamu pernah ikut tarian tradisional Dayak dengan pakaian adat?” Ila tertawa, tetapi menjawab serius, “Itu hanya sebagian kecil dari budaya kami. Kami juga menikmati musik modern, teknologi, dan banyak hal yang sama dengan kamu.” Pengalaman ini membuka mata saya bahwa prasangka dan etnosentrisme sering kali muncul tanpa kita sadari.
Berteman dengan Ila membuat saya belajar pentingnya sikap terbuka. Saya mulai menerapkan tiga langkah penting ketika bertemu orang baru dari budaya lain yaitu, mendengarkan dengan empati, daripada langsung menyimpulkan, saya belajar untuk benar-benar mendengarkan cerita Ila. Selain itu, Mengajukan pertanyaan dengan rasa ingin tahu, bukan dengan asumsi. Hal ini membantu saya memahami perspektifnya tanpa menghakimi dan menghargai perbedaan. Saya belajar bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperkaya pemahaman saya.
Momen paling berkesan adalah ketika Ila memperkenalkan saya dengan saudaranya
yang sama-sama dari Kalimantan. Di sana, saya melihat langsung betapa harmonisnya keluarga Ila dari Kalimantan. Mereka berbicara menggunakan bahasa yang khas, hingga terdapat makanan yang menggugah selera seperti ayam cica dan kue cincin. Saya bahkan mencicipi makanan buatan Ila dan itu enak sekali.
Jika kelak saya menjadi seorang jurnalis, pengalaman ini akan menjadi bekal berharga. Mata kuliah “Komunikasi Antar Budaya” mengajarkan saya bahwa jurnalisme tak hanya soal menyampaikan informasi, tetapi juga membangun jembatan pemahaman di tengah keberagaman. Dalam konteks profesi, saya yakin kemampuan untuk berkomunikasi lintas budaya akan membantu saya menyampaikan cerita-cerita dengan sudut pandang yang lebih inklusif dan adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H