Secara tidak langsung pandemi membawa dunia pendidikan menuju gamabaran masa depan. Dimana semua aspek dijalankan menggunakan teknologi.Â
Akan tetapi masih ada peran pengajar dan proses interaksi yang tidak dapat digantikan. Hal tersebut dikarenakan esensi dari sebuah pendidikan bukan hanya nilai berupa angka, tetapi juga sikap, perilaku, dan kompetensi.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Nizam menuturkan bahwasanya pandemi merupakan sebuah tantangan. Tantangan ini juga menjadi kesempatan bagi semua tentang bagaimana penggunaan teknologi dapat membantu membawa mahasiswa dan pelajar menjadi kompeten untuk abad ke-21.Â
Keterampilan yang paling penting pada abad ke-21 ialah self-directed learning atau pembelajar mandiri sebagai outcome dari edukasi. (https://dikti.kemdikbud.go.id/kabar-dikti/kabar/tantangan-dunia-pendidikan-di-masa-pandemi/ dikases pada 19 Februari 2021, pukul 10.00.)
Bagi pelajar yang tercukupi segala kebutuhannya untuk tetap melanjutkan pendidikan baik secara online maupun oflline, hal tersebut bukanlah masalah berarti.Â
Setiap pembelajaran berlangsung hanya perlu menyiapkan ponsel pintar, kemudian mengisi absesnsi. Bahkan saat ada materi yang belum paham, bisa menggunakan jasa les privat atau lainnya.
Berbeda dengan nasib beberapa siswa lainnya. Seperti dikutip dari beberapa surat kabar, seorang pelajar kelas satu MTs di Grobogan harus bekerja agar dapat membeli telepon pintar. Ialah Catur Febriyanto, yang sempat viral pada Agustus 2020. Pasalnya diusianya yang masih dibawah umur, dia harus bekerja sebagai kuli bangunan dengan upah Rp 50.000 perhari.
Kebutuhan akan pendidikan daring mengharuskannya melakukan hal tersebut. Jika tidak begitu, maka Catur tidak akan mempunyai telepon pintar untuk sekolah online. Selama ini ia meminjam HP milik kakaknya. Tak sampai disana, tugas sekolah baru bisa dikerjakan pukul sembilan malam setelah pulang menjadi kuli.
Tak jauh berbeda dengan Catur, Deni Mulyadi seorang siswa Madrasah di Bogor juga harus menjual ayam untuk membeli HP. Ia seorang anak yatim yang tinggal bersama nenek dan ibunya dalam sebuah rumah yang nyaris roboh. Dilihat dari sini, keadaaan ekonomi akan menghambat proses pembelajaran daring.
Permasalah tersebut hanya sebagian kecil saja, masih banyak permasalahan lain yang dirasakan para pelajar. Belum lagi apabila mereka tinggal di daerah yang susah jaringan atau sinyal, maka mereke harus berjuang mencari sinyal agar tetap dapat mengikuti pembelajaran.
Pada beberapa sekolah menengah atas masih ada banyak siswa yang kebingungan tentang bagaimana sistem sekolah online. Siswa mengeluhkan tidak dapat menggunakan zoom ataupun Gmeet. Sehingga proses daring hanya berlangsung melalui Whatsapp grup dan sesekali Quizziz atau Gogle Classroom.