Menteri Keuangan yang tergabung dalam negara-negara G20 sudah menunjuk organisasi bernama OECD dan juga UN untuk berperan dalam memberikan konstribusi mengenai upaya penghindaran pengenaan pajak berganda tersebut. Dari kedua organisasi tersebut, maka negara-negara di dunia saling berkaitan karena adanya subjek pajak yang saling berhubungan sehingga membuat perjanjian antar negara untuk menghindari praktik pengenaan pajak berganda atau yang biasa dikenal sebagai P3B (Peraturan Penghindaran Pajak Berganda).
Adanya perbedaan penafsiran tersebut seharusnya tidak terjadi karena DJP sendiri yang melaksanakan perjanjian P3B dengan mitra lain sehingga aturan P3B juga seharusnya dapat dipahami dengan pemahaman yang sama oleh seluruh pegawai DJP.
Tidak dapat dipungkiri bahwa di sisi lain setiap pegawai DJP mempunyai kompetensi yang berbeda dan tidak semua pegawai DJP memiliki kemampuan dalam membaca peraturan secara detil, terlebih pada aturan yang berkaitan dengan ketentuan perpajakan internasional.
Perpajakan internasional tentunya akan berbeda dengan perpajakan di dalam negeri, yang disebabkan P3B antara Indonesia dengan negara mitra P3B memiliki ciri khas sendiri sehingga tidak memungkinkan setiap pegawai DJP dapat memahami setiap aturan P3B dengan pemahaman yang sama. Dalam SE 52 juga diungkapkan terkait perbedaan pemahaman setiap pegawai DJP dan wajib pajak dalam memahami aturan P3B antara Indonesia dengan masing-masing negara mitra P3B.
Pada intinya isi dari SE 52 Tahun 2021 adalah berupaya menyeragamkan pemahaman dari setiap P3B yang merujuk model OECD maupun model UN. Keduanya mempunyai struktur yang relative sama sehingga mayoritas P3B Indonesia dengan negara mitra juga mengikuti struktur model organisasi tersebut. P3B yang berbeda dengan struktur OECD maupun UN kemungkinan dilakukan penafsiran yang berbeda dengan garis besar pemahamam dari SE 51 tahun 2021.
Selain itu, SE 52 Tahun 2021 juga berisi penegasan bagi kedua belah pihak (Dirjen Pajak dan Wajib Pajak) bahwa P3B adalah lex specialis atau aturan khusus di mana posisinya berada di atas aturan perpajakan di Indonesia. Adapun masalah yang tidak diatur, maka menggunakan aturan perpajakan yang berlaku di Indoensia (baik itu UU KUP, UU PPh maupun UU PPN) dalam menyelesaikan apabila terjadi sengketa perpajakan antara DJP dengan Wajib Pajak.
Meskipun tujuan dari SE 52 Tahun 2021 ini sangat baik, yaitu meminimalisir terjadinya sengketa perpajakan mengenai pajak internasional maupun meminimalisir jika terjadi kekurangpahaman dari wajib pajak sendiri (sehingga mengurangi permohonan penegasan). Namun terdapat beberapa poin kritik yang disampaikan tentang pengenaan aturan SE 52 tersebut. Kritik - kritik tersebut sebagai berikut:
- Adanya SE 52 Tahun 2021 ini seolah-olah pemahaman dari masing-masing pegawai pajak di setiap KPP mempunyai standar pemahaman yang sama, namun jika ditelisik lebih detil lagi bahwa pemahaman terkait pajak internasional di Direktorat Perpajakan Internasional sebagai pemangku jabatan yang mengurusi pajak berkaitan dengan P3B dengan pegawai pajak di luar Direktorat Perpajakan Internasional sangat jauh berbeda karena pemahaman mengenai pajak internasional tidak akan cukup jika hanya membaca teorinya tetapi memerlukan praktik pelaksanaanya di lapangan sebagaimana yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Perpajakan Internasional;
- Adanya SE 52 tahun 2021 membatasi para pegawai di KPP dalam melakukan penelitian maupun pemeriksaan lebih lanjut, tidak terbatas dari adanya perjanjian P3B saja tetapi seharusnya dapat  lebih jauh dari itu walaupun bersifat lex spexialis. Dengan adanya pembatasan ini maka akan mengurangi usaha dari KPP dalam menggali potensi perpajakan, terutama potensi perpajakan internasional.
Selain kritikan tersebut di atas, kita juga perlu memberikan apresiasi kepada DJP dalam usahanya membumikan peraturan perpajakan internasional yang masih sangat awam bagi masyarakat maupun bagi para pegawai DJP sendiri. Ke depannya diharapkan, tidak hanya SE 52 yang bagus dalam upayanya tersebut, namun akan diterbitkan aturan-aturan lain yang dapat menyederhanakan dari sistem perpajakan internasional sehingga selanjutnya diharapkan sengketa perpajakan internasional jauh berkurang.
Referensi:
Surat Edaran Dirjen Pajak, SE-52/PJ/2021