Pemilihan Presiden tahun 2016 adalah Pilpres Amerika Serikat yang cukup panas dalam sejarah Pilpres di AS. Â Yang berhadapan warktu itu adalah Hillary Clinton dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik.
Beberapa tahap debat yang mereka lakukan dua calon itu kadang tanpa punya keramahan dan semangat bertanding secara fair. Misalnya pada saar debat di Universitas Nevada, mereka berdebat tanpa berjabat tangan sama sekali. Itu juga terjadi ketika debat di Universitas Washington pada tanggal 10 Oktber 2016. Padahal pada saat debat pertama di New York, keduanya masih bersalaman sebeum debat dimulai.
Ktika di Nevada, jika kita lihat rekaman, Trump yang mengenakan jas hitam dan dasi merah dan Hillary yang memakai pakaian berwarna krem langsung menempati podium masing-masing saat naik ke panggung yang sudah disediakan.
Dari segi konten keduanya saling menyerang. Di Nevada, Trump sempat meminta maaf soal pernyataan tak pantasnya soal perempuan pada debat sebelumnya. Hillary juga menyerang Trump sebagai calon Presiden yang paling berbahaya dalam sejarah AS. Seorang senator Partai Demokrat yang senior dan cukup disegani  yaitu Bernard Sanders memang menyebut bahwa Trump adalah orang yang berbahaya.
Hillary bahkan menyebut jika Trump didukung pnuh oleh presidn Rusian, Vladimir Putin. Kala itu, kandidat Presiden dari Partai Republik mengaku dirinya menerima penghormatan dan dukungan Putin.
Kedua lantas menyerang lawannya ke hal-hal yang menyangkut pribadi. Misalnya kaitan Trump dengan pelecehan seksual dari sejumlah wanita, yang pada kemudian hari mengarah bahwa itu benar. Sebaliknya Trump juga menyerang soal dugaan penipuan yang dilakukan oleh Yayasan Clinton.
Sikap para Capres AS itu kurang lebih juga menggambarkan bagaimana para pendukungnya saling serang satu sama lain. Melali media massa dan media sosial tntu saja. Mereka tak segan mencerca satu sama lain sama dengan capres yang tampil pada debat itu.
Tentu saja, debat seperti ini belum tentu cocok dengan kondisi Indonesia, dimana pertimbangan-pertimbangan budaya dan kesantunan harus dipikirkan. Sangat banyak perbedaan pada dua capres tapi kita terbiasanya untuk saling menghargai.
Kita bisa melihat saat debat pertama kedua Capres kita saling bersalaman dan hangat satu sama lain.Sikap itu tentu saja sangat menyejukkan karena tidak perlu berpanas-panas untuk berbeda dalam politik.
Mereka juga tidak menyerang dalam debat. Itu menunjukkan bahwa kita berpijak pada budaya dan kebiaasaan kita sendiri dan tidak perlu mengadopsi kebiasaan pihak lain.
 Mari kita wujudkan pilpre yang sejuk, jauh dari rasa panas  dan saling membenci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H