Mohon tunggu...
Retno Permatasari
Retno Permatasari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Kecil

seorang yang senang traveling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melihat Guru dan Kurikulum Anti-Radikalisme di Inggris

23 November 2017   06:48 Diperbarui: 23 November 2017   08:23 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun terakhir ini beberapa negara Eropa mulai kewalahan menghadapi faham radikal di negara mereka. Inggris misalnya. Negara ini beberapa kali harus menghadapi serangan terorisme di beberapa public service. Ditambah ratusan orang Inggris sudah bergabung dengan ISIS di Suriah dan Iraq.

Dua tahun lalu (2015) akhirnya seorang ulama ternama asal Pakistan bernama Dr Muhammad Tahir ul-Qadri menyelesaikan satu proposal penting yaitu kurikulum antiteror. Kurikulum ini mengutuk serangan militan dan ekstrimis Islam dan sekaligus bukti perlawanan Islam terhadap gerakan radikal. Ketika proposal itu diresmikan sebagai kurikulum, Qadri menekankan bahwa terorisme dan radikalisme bukan bagian dari prinsip Islam.

Meski kurikulum itu bukan merupakan kurikulum resmi dan hanya berlaku di sekolah milik ul-Qadri, masjid dan instansi Islam di lingkarannya, paling tidak ini adalah salah satu upaya riil untuk melawan balik ideologi radikal, memperlemah dan memperlambat pertumbuhan ideologi ini.

Kurikulum ini dikeluarkan tidak lama setelah Perdana Menteri Inggris (waktu itu) David Cameron, menyerukan kepada warga dan komunitas Muslim untuk menghentikan para pemuda bersikap radikal seperti ISIS. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa beberapa Muslim diam-diam membenarkan pandangan ekstremis. Pernyataan Cameron ini menindaklanjuti peristiwa bom bunuh diri pria 17 tahun asal Inggris utara di Irak dalam sebuah serangan ISIS dan tiga perempuan yang pergi ke Suriah dengan membawa sembilan anak-anak mereka.

Para pemuda radikal di Inggris itu diyakini memperoleh pengajaran radikal dari propaganda internet dan sosial media. Karena itu ul-Qadri juga memakai 100 influencer untuk menyebarkan kurikulum itu secara online. Ia berencana untuk menyebarkan kurikulumnya ke Pakistan, India hingga Eropa dan Amerika Serikat, meski di Inggris, kurikulum anti radikal itu belum berlaku.

Bagaimana dengan Indonesia ?

Guru, keluarga dan sekolah memang merupakan faktor penting untuk membentuk pribadi pemuda di Indonesia. Kini dengan adanya teknologi, sosial media juga sedikit banyak mempengaruhi.

Hampir sama dengan di Inggris, radikalisme di kalangan pelajar dan pemuda sering tumbuh dari lingkungan sekeliling  dan online. Sehingga memang perlu sungguh-sungguh diupayakan agar ada ajaran yang benar soal agama. Caranya adalah peran guru yang bersungguh-sungguh bisa menjauhkan pelajar dari pengaruh radikalisme.

Pemerintah mungkin akan memikirkan ke depan diupayakan adanya kurikulum anti --radikal yang bisa dipakai sebagai standar untuk mencegah masuknya faham radikal ke ranah-ranah pendidikan. Dengan begitu kita bisa menjauhkan generasi muda dari radikalisme yang tidak bermafaat bagi bangsa kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun