Mohon tunggu...
Retno Permatasari
Retno Permatasari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Kecil

seorang yang senang traveling

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjaga Kebhinekaan di Negeri Toleran

16 Oktober 2016   16:50 Diperbarui: 16 Oktober 2016   17:02 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Remaja merupakan generasi penerus bangsa. Remaja merupakan harapan, untuk kelangsungan generasi kedepan. Karena itulah, generasi muda harus aktif, kreatif, dan inovatif. Segala kelebihan generasi muda ini, harus diarahkan kepada hal-hal yang bersifat positif. Jangan arahkan generasi muda kita pada perilaku kekerasan, ataupun ucapan kebencian. Jika generasi mudanya tumbuh menjadi generasi yang intoleran, maka generasi kedepan berpotensi menjadi generasi yang intoleran.

Keberagaman Indonesia itu, kini telah rentah dengan perilaku intoleransi. Berdasarkan survey Wahid Foundation, generasi muda Indonesia saat ini berpotensi menjadi radikal. 

Dari sekitar 150 umat Islam di Indonesia, 7,7 persen diantaranya bersedia melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan. Dan 0,4 persen diantaranya pernah melakukan tindakan radikal. Meski hanya 7,7 persen, jika dijumlah setidaknya mencapai 11 juta orang. Artinya, 11 juta orang di Indonesia bersedia melakukan tindakan radikal.

Survey tersebut dirilis pada Agustus 2016 yang lalu. Prediksi tersebut bisa jadi berkurang, atau bertambah. Apalagi jelang pilkada  2017 ini, banyak orang dengan mudah mengumbar kebencian terhadap pasangan calon. Jika hal ini terus dibiarkan, dikhawatirkan bisa berpotensi memicu terjadinya konflik sosial. Keberadaan sosial media dan kemajuan teknologi, rawan dimanfaatkan untuk penyebarluasan kebencian tersebut.

Pemanfaatan sosial media ini, bisa dengan mudah kita saksikan di dunia maya. Beberapa bulan lalu, persoalan kebencian yang meluas ini, sempat memicu terjadinya pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Tentu kita tidak ingin hal tersebut terulang. Beberapa pekan lalu, media nasional kembali diramaikan isu sara. 

Pernyataan gubernur Ahok dinilai melecehkan agama Islam. Meski yang bersangkutan telah meminta maaf, persoalan tersebut terus saja ‘digoreng’ oleh semua pihak. Mulai dari pihak lawan, masyarakat biasaya, hingga media massa.

Secara teori, saling menghormati, menjaga ucapan, ataupun tidak menghujat orang lain, seakan mudah dilakukan. Namun jika hati kita telah dikuasai kebencian, hal tersebut menjadi sulit dilakukan. Sudah banyak bukti, jika seseorang atau kelompok dikuasai kebencian, ujung-ujungnya akan menghasilkan kekerasan. Karena itulah, mari kita saling introspeksi diri. Mari saling mengendalikan diri. Pada titik inilah, kita diharapkan bisa melakukan jihad. Bukan jihad seperti yang dimaksudkan oleh kelompok radikal, tapi jihad mengendalikan perilaku dan perkataan, agar tercipta suasana yang damai tanpa ada kekerasan.

Lihatlah negeri kita yang indah ini. Lilhatlah ribuan suku dan budaya, yang tersebar dari Sumatera hingga Papua, bisa hidup rukun dan saling berdampingan. Karena itulah, jangan kotori keberagaman ini dengan sentiment-sentimen sara, yang bisa merugikan kita sebagai bangsa. Jangan sampai kerukunan dan toleransi antar umat, yang telah terjalin sejak lama ini, rusak begitu saja hanya karena diri kita diselimuti kebencian. 

Mari kita hilangkan kebencian dalam diri kita. Jadilah generasi yang menghargai keberagaman. Menjadi penjaga keberagaman jauh lebih baik, dibandingkan memelihara kebencian.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun