[caption caption="www.anneahira.com"][/caption]Di Jawa, mengenal istilah unggah-ungguh dan tepo sliro. Dalam kajian Franz Magnis Suseno, tentang etika Jawa, ada dua kaidah penting yang dipegang dalam kebudayaan Jawa. Yaitu prinsip hormat dan prinsip rukun. Prinsip hormat ini menuntut manusia, agar dalam berbicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat kepada orang lain sesuai derajat dan kedudukannya. Sedangkan prinsip rukun, menuntut kerukunan dalam setiap situasi agar jangan sampai terjadi konflik.
Maluku. Daerah ini juga memiliki kearifan lokal, yang terbukti mampu mempersatukan orang Maluku ketika menghadapi persoalan. Filosofi ‘ale rasa beta rasa’ yang berarti anda rasa saya rasa, menuntut agar kita juga merasakan apa yang dirasakan orang lain. Susah senang bersama. Prinsip ini masih dipegang hingga saat ini.
Di Buton, Sulawesi Tenggara, juga mempunyai falsafah ‘Bhinci-Bhinciki Kuli.’ Falsafah ini memilik makna, jika setiap orang mencubit kulit tubuhnya sendiri, pasti akan terasa sakit. Dalam praktek sehari-sehari, falsafah ini diwujudkan dengan rasa saling menyayangi, menghargai, menghormati dan saling memelihara satu sama lain.
Beberapa contoh diatas menunjukkan, bahwa negara kita, Indonesia ini sebenarnya kaya akan nilai-nilai luhur peninggalan nenek moyang. Bahkan pendiri bangsa ini juga mengenalkan Bhineka Tunggal Ika, yang lebih mengedepankan persatuan tanpa melihat perbedaan. Maksudnya apa? Agar nilai-nilai tradisi yang diberikan Tuhan masih tetap terjaga, dan tidak hilang begitu saja.
Namun, pada prakteknya, ada saja kelompok-kelompok yang mencoba untuk ‘merusak’ tatanan yang sudah ada. Di Solo misalnya. Salah satu kota di Jawa Tengah, yang kental dengan budaya Jawa nya ini, banyak melahirkan tokoh-tokoh radikal. Karakter masyarakat yang cenderung mengalah dan menghindari konflik ini, justru dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menyebarkan paham-paham radikal. Banyak tokoh-tokoh radikal asal Solo, yang melakukan aksi bom bunuh diri, dan yang ditangkap oleh Densus 88. Meski demikian, Solo masih tetap mempertahankan tradisi kejawaannya. Keraton Solo masih menjadi simbol, bahwa tradisi unggah-ungguh dan tepo sliro masih tetap terjaga.
Tidak hanya di Solo, para kelompok radikal ini, terus menyebar di daerah-daerah yang secara kultur ‘adem ayem’. Kelompok Gafatar misalnya, yang dulu dari Yogyakarta, muncul lagi di Mojokerto, dan akhir-akhir ini terungkap telah membuat perkampungan di daerah Kalimantan. Padahal, daerah ini sangat kental sekali dengan kearifan lokalnya. Gafatar, telah memaksakan kepentingannya, tanpa melihat kerukunan yang telah terjalin.
Ayo, kita jaga nilai-nilai luhur warisan nenek moyang ini tetap kita pertahankan. Jangan sampai, pengaruh paham-paham dari luar, yang secara langsung atau tidak langsung bisa merusak budaya lokal, terus menyebar. Para pendahulu telah mengajarkan, agar terus memupuk semangat persatuan dan kesatuan, tanpa mempersoalkan perbedaan suku, agama, ras budaya dan golongan. Meski demikian, kehendak untuk bersatu ini, bagi sebagian golongan yang mengedepankan kepentingan pribadi, mungkin akan terganggu. Karena, persatuan dan kesatuan hanya akan terjadi, jika semua orang mengedepankan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi.
Sekali lagi, ayo kita jaga nilai-nilai leluhur kita, yang terbukti telah membawa negeri ini, menjadi negeri yang damai, saling menghormati, guyub rukun, tanpa ada saling meneror, tanpa ada saling membenci, dan tanpa ada saling mencaci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H