Mohon tunggu...
Retnayu Syahesti
Retnayu Syahesti Mohon Tunggu... Mahasiswa - College Student

Political Science student

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Kuota Gender di Parlemen: Sesuaikah dengan Tujuan Substantif atau Hanya Pemenuhan Syarat Formal Pendaftaran?

5 Oktober 2023   23:52 Diperbarui: 6 Oktober 2023   01:43 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Essay Kritis-Reflektif: Penerapan Kuota Gender di Parlemen; Sesuaikah dengan Tujuan Substantif atau Hanya Pemenuhan Syarat Formal Pendaftaran?

Tulisan ini didasarkan pada buku Andrew Heywood yang berjudul Political Theory, An Introduction pada Bab 10 tentang Equality, Social Justice, dan Welfare. Pada tulisan ini, saya akan mengaitkan teori-teori kesetaraan yang dipaparkan Heywood dengan adanya penerapan kuota gender minimal 30% pada perempuan dalam pencalonan legislatif. Pada bagian pertama tentang kesetaraan, Heywood memaparkan argument-argumen yang ada berkaitan dengan kesetaraan. Heywood menjelaskan bahwa dalam memahami kesetaraan terdapat banyak aspek yang perlu diperhatikan. Menurutnya kesetaraan tidak sama dengan keseragamaan maupun usaha untuk membuat manusia menjadi satu rupa. Namun, kesetaraan sendiri memiliki tujuan di mana setiap orang berhak mendapatkan kehidupan yang memuaskan bagi dirinya.

Gagasan awal kesetaraan menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah setara. Deklarasi Prancis tentang Hak Asasi Manusia dan Warga Negara menjelaskan bahwa manusia dilahirkan dan memiliki hak untuk bebas dan setara. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh tokoh-tokoh kemerdekaan AS dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika bahwa setiap manusia tercipta secara setara. Gagasan-gagasan ini lalu memiliki dampak yang besar dalam kajian-kajian tentang kesetaraan dan Heywood mendefinisikan gagasan awal kesetaraan ini sebagai foundational equality. Gagasan inti tentang keteran tersebut melahirkan kajian-kajian tentang kesetaraan seperti kesetaraan hukum, kesetaraan politik, kesetaraan gender, dan lain-lain.

Fokus saya dalam critical review saya kali ini adalah tentang representasi perempuan di bidang legislatif sebagai pihak pembuat kebijakan. Representasi perempuan merupakan salah satu objek kajian dalam kajian kesetaraan gender. Mengapa perempuan perlu memiliki representasi? Hal ini disebabkan oleh adanya budaya patriarki yang menuntut perempuan untuk selalu patuh dan tunduk pada laki-laki. Selain itu budaya patiarki yang sudah berlangsung sejak lama membuat perempuan terpaksa untuk menerima perbuatan tidak mengenakan dari laki-laki, baik orang asing, pasangan, saudara, maupun ayahnya untuk menjaga nama baik keluarga. Budaya patriarki juga membuat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam penerimaan akses terutama akses pendidikan yang membuat perempuan menjadi pihak yang lebih rentan dalam aspek ekonomi sehingga kesejahteraannya kurang terjamin. Maka dari itu, diperlukan representasi perempuan dalam pembuatan kebijakan agar setiap kepentingan perempuan dapat tersuarakan dan nantinya dapat melahirkan kebijakan yang pro perempuan sebagai kelompok marjinal.

Jumlah representasi perempuan di Indonesia berdasarkan data terakhir masih terhitung cukup rendah yaitu berada di angka 20,52%. Padahal di Indonesia sendiri, sudah terdapat kebijakan afirmatif pemilu legislatif yang dikeluarkan pada tahun 2008 yaitu adalah kebijakan kuota minimal 30% pada perempuan dalam pencalonan legislatif. Lalu, setelah 3 kali pemilu, mengapa representasi perempuan di DPR belum berada di angka minimal padahal sudah ada kebijakan yang dibuat untuk meningkatkan representasi perempuan di DPR? Disadur dari situs VOA Indonesia, menurut Luluk Nur Hamidah, Ketua DPP PKB, hal itu disebabkan oleh partai politik, hanya memenuhi persyaratan formal kuantitas bakal calon sebanyak 30%. Partai dinilai kurang memerhatikan aspek kualitas dalam mendaftarkan bakal calon legislatif. Hal tersebut tentunya berdampak pada kurangnya kepentingan perempuan yang dapat tersampaikan dalam perumusan kebijakan. 

Dapat disimpulkan bahwa kebijakan afirmatif yang ditujukan untuk meningkatkan representasi perempuan dalam politik belum mampu secara kuantitas untuk meningkatkan jumlah representasi perempuan secara drastic dan secara kualitas belum mampu menyuarakan kepentingan perempuan sehingga banyak calon-calon kebijakan yang berpihak pada perempuan pembahasannya terkesan ditarik-ulur. Lalu dengan segelintir permasalahan tentang minimnya representasi perempuan dan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat, bagaimana langkah efektif yang harus dilakukan semua elemen masyarakat dan pemerintahan untuk meningkatkan representasi perempuan di Indonesia yang bukan hanya sebatas kuantitas namun juga representasi perempuan yang berkualitas untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan Indonesia?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun