Mohon tunggu...
Vox Pop

Why I Hate Jakarta

4 Mei 2016   14:19 Diperbarui: 5 Mei 2016   09:29 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pesepeda Asongan Mangkal di Depan Hotel Ritz Carlton" - HP Samsung Galaxy Note 4 Ibu Retno Trihesti

Hari Selasa malam hingga Sabtu pagi minggu yang lalu aku"terpaksa" berada di ibu kota untuk mengikuti sebuah kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi profesiku. Saat menerima undangan kegiatan tersebut pada awal bulan lalu, sudah terbayang perjalanan yang jauh dari membahagiakan. Aku akan mengunjungi kota yang sarat dengan pemandangan yang paling kubenci. Apalagi jika bukan kesenjangan. Begitu aku tiba di Jakarta, seolah sugesti, satu demi satu peristiwa yang membuat mood down pun muncul di hadapan. Diawali dengan pemandangan malam hari di seputaran Equity Tower, SCBD, ke arah Sudirman. Di tepian jalan sekitar kawasan tersebut aku melihat banyak pemuda pesepeda asongan sedang ngetem menunggu pembeli. Mereka menggunakan sepeda kayuh sebagai gerainya. Beberapa termos air panas dan termos es ditata rapi di sadel boncengan yang telah dimodifikasi, sementara itu juntaian kemasan sachet minuman, mie instan cup, gelas plastik, juga makanan kecil menghias stang dan keranjang depan sepeda kayuh mereka. Dengan sabar para pemuda yang berpenampilan sederhana itu menanti satu dua pembeli menghampiri. Ada beberapa yang mangkal di dekat taman kota, ada yang berjajar rapi di sepanjang jalan, dan ada pula yang mangkal berkelompok di tikungan jalan, bersimbiosis mutualisma dengan penjual makanan seperti bakwan kawi, membentuk sebuah tempat nongkrong. Meski banyak eksekutif muda berpakaian perlente lalu lalang, namun selama aku melintasi kawasan tersebut, hanya kulihat satu pembeli yang memesan minuman atau makanan pesepeda asongan yang mangkal di seputar taman dan di sepanjang jalan. Dan meski lampu taman di belakang sepeda-sepeda mereka tampak cantik di malam hari, toh hatiku tetap saja sesak melihatnya. Sungguh sebuah pemandangan yang demikian kontras dengan latar belakang gedung-gedung bertingkat baik perkantoran, hotel, kafe, restoran, mall, dan ribuan mobil bagus yang lalu lalang di hadapan mereka setiap harinya.

 

"Kolaborasi Pesepeda Asongan dengan Penjual Makanan" - HP Samsung Galaxy Note 4 Ibu Retno Trihesti

 

Di penghujung hari pertama kegiatanku, aku gagal memesan ojek online baik Gojek maupun Grab Bike via aplikasi. Entahlah, mungkin karena aku lupa untuk meng-update kedua aplikasi tersebut. Untunglah ada sebuah mobil taksi Uber yang sedang ngetem. Untungnya lagi mobilnya Avanza keluaran terbaru yang cukup lega bak Innova. Setelah aku naik dan mengobrol dengan pengemudinya barulah kuketahui bahwa mobil tersebut milik beliau pribadi. Perlahan-lahan mobil pun berjalan sembari pak sopir mengamati traffic dan mencari jalur tercepat dengan bantuan gajetnya. Saat melintas di Jalan Sudirman di dekat halte besar Trans Jakarta, pemandangan tak mengenakkan kembali muncul di hadapan. Di tengah kemacetan, bapak-bapak pengasong menjajakan makanan kecil bertuliskan “lemper ayam” seraya melambai-lambaikan tangannya. Wajah mereka hitam legam akibat sengatan matahari setiap harinya. Pakaian mereka kotor dan lusuh, seolah serasi dengan guratan wajah yang akrab dengan getir kehidupan di ibu kota. Lagi-lagi aku tak melihat satu mobil pun yang berminat untuk membeli lemper ayam dagangan mereka yang mestinya yummy dikudap sore-sore. Kembali aku menghela napas. Satu lagi pemandangan yang kontras dengan belantara skyscrapers dan mobil-mobil mewah berkemudikan para eksekutif sukses yang lalu lalang di sekelilingnya setiap saat. Tentu tak mengherankan karena kawasan tersebut merupakan pusat perkantoran tersibuk di Jakarta.

"Pesepeda Asongan Sedang Melayani Pembeli" - HP Samsung Galaxy Note 4 Ibu Retno Trihesti

 

Hari kedua kegiatanku lagi-lagi diakhiri dengan kegagalanku memesan ojek online yang aplikasinya telah kuinstal dengan rapi sejak jauh hari sebelum keberangkatanku ke Jakarta dan telah ku-update tadi malam. Syukurlah ada seorang teman sesama peserta kegiatan yang mau berbaik hati mengorderkannya. Setelah order kami sempat di-reject oleh Gojek dan Grab Bike saking jauhnya jarak antara Menteng, lokasi kegiatanku, dengan tujuanku yakni seputaran Cilandak, akhirnya kami mencoba untuk memesan taksi mobil. Bagai jodoh, tak berapa lama setelah temanku klik order, seorang driver langsung mengambil job tersebut lalu muncullah nama serta nopol mobilnya. Tak berapa lama kemudian muncullah sang driver, sebut saja pak Bambang. Setelah ngobrol sejenak, kuketahui bahwa dia berasal dari sebuah desa di Jawa dan belum lama urbanisasi ke Jakarta. Pak Bambang punya seorang istri (yang kemungkinan tidak bekerja) dan tiga orang anak yang semuanya ikut berurbanisasi ke Jakarta. Berbeda dengan pengemudi taksi Uber yang sehari sebelumnya mengantarku, pak Bambang tidak berpendidikan tinggi dan dari penampilannya aku menduga bahwa beliau hidup pas-pasan. Mobil yang dikemudikannya adalah milik majikannya dan setiap hari ia harus menyetor kepada majikannya sejumlah uang yang baginya nilainya cukup besar. Saat itu karena pak Bambang baru saja kena macet parah di Jalan Antasari, maka beliau menolak lewat jalan tersebut untuk mengantarku pulang ke arah Citos. Sebagai gantinya, pak Bambang lebih memilih untuk lewat Mampang. Aku pun menurut. Lalu kami pun mulai menerobos lautan kendaraan di peak hour yakni pukul 17 WIB. Dan benar saja, tak berapa lama kemudian mobil kami sudah berada di tengah ratusan bahkan mungkin ribuan kendaraan yang hampir tak dapat bergerak. Saat kami asyik mengobrol tentang kasus pembacokan di Jogja yang tengah marak diperbincangkan di media, sebuah mobil Avanza yang berada persis di depan kami tiba-tiba berhenti. Setelah kami amati, ternyata mobil tersebut baru saja sedikit ”menyeruduk” sebuah mobil mewah yang dikemudikan oleh seseorang berpenampilan bos berwajah expat. Duh, apa ya merk mobilnya, maklum di Jakarta banyak jenis mobil bagus yang jarang kulihat di Jogja, kota asalku. Tak berapa lama kemudian kedua pengemudi itu pun turun. Si bos expat berkacak pinggang sambil mengeluhkan body belakang mobilnya yang penyok kena kap Avanza tadi. Pengemudi Avanza tampak cukup berhati-hati dalam menghadapi si bos. Sebenarnya bukan peristiwa ini yang membuatku tak enak hati. Melainkan komentar pak Bambang atas kejadian barusan. "Itu mobil dua-duanya pasti diasuransiin, bu. Tapi tetep aja minta ganti rugi. Padahal dah kaya. Tapi masih aja kurang". Deg, aku terhenyak mendengar tutur pak Bambang. Dari intonasinya terdengar nada kekesalan. Betapa ia merasa bahwa si bos expat tadi kurang bersyukur dengan apa yang telah ia miliki dan masih juga merasa kurang. Aku terdiam dan tidak mengomentari kalimat bijak pak Bambang. Bibirku kelu namun hatiku membenarkan seribu persen ucapannya. 

"Pesepeda Asongan Menunggu Pembeli Sambil SMS" - HP Samsung Galaxy Note 4 Ibu Retno Trihesti

 

Dan kami pun kembali melanjutkan perjalanan menembus kemacetan di sepanjang Jalan Sudirman yang belum juga menunjukkan titik terang. Satu jam lebih telah berlalu dan kami belum juga masuk Mampang. Pak Bambang tiba-tiba gelisah dan meminta izin untuk mengisi bensin. Kulihat dia mengumpulkan beberapa lembar sepuluh dan dua puluh ribuan untuk membeli bensin. Sesaat sebelumnya beliau sempat curcol mengeluhkan penghasilannya sejak pagi yang tidak seberapa karena selalu terjebak macet sehingga waktu habis, ditambah lagi beliau masih harus mengeluarkan uang untuk membeli bensin. Memang nantinya bon BBM akan di-reimburse kantor, namun ia harus mengeluarkan uang hasil narik taksinya terlebih dahulu. Saat kutanya jam pulang setiap harinya  beliau menjawab bahwa sering beliau harus pulang jam 12 dini hari demi terkumpulnya uang setoran minimal kepada majikannya. Deg, aku terhenyak untuk yang kedua kalinya. Betapa berat perjuangan mengais rejeki di ibu kota bagi pak Bambang. Sudah umur habis di jalan, rupiah yang terkumpul masih jauh dari cukup di tengah tingginya harga kebutuhan pokok. Belum lagi risiko yang dihadapi setiap harinya. Kemacetan parah dan kelelahan, sangat besar kemungkinannya memicu terjadinya senggolan, srempetan, bahkan tabrakan antarkendaraan roda empat. Jika yang disenggol pengemudinya punya belas kasih sih tidak jadi masalah. Namun apa jadinya jika “peristiwa Avanza” tadi menimpa pak Bambang? Aku tak berani membayangkan apa yang akan jadi taruhannya. Mungkin pekerjaan hilang, seluruh simpanan ludes, atau terpaksa berhutang. Astaghfirullah.. mereka yang mampu, yakni para pengendara mobil mewah di sekitar pak Bambang yang “seharusnya” menjadi pengayom dan penolong bagi mereka yang kurang mampu, faktanya adalah threats bagi beliau. Sungguh ironis.

"Pesepeda Asongan Menunggu Pembeli Sambil Menelpon" - HP Samsung Galaxy Note 4 Ibu Retno Trihesti

 

Di penghujung hari ketiga kegiatanku akhirnya aku berhasil memesan Grab Bike. Kali ini tujuanku adalah Stasiun Gondangdia karena seorang teman lama mengajakku menginap di rumahnya yang berlokasi di Jagakarsa, perbatasan Jakarta Selatan dengan Bekasi. Kami pun pulang bersama naik KRL dari Stasiun Gondangdia menuju Stasiun Lenteng Agung. Dan perjuangan pun dimulai. Saat kereta tiba, puluhan bahkan mungkin ratusan orang berebut naik. "Maklum, Jumat malam. Jangan harap bisa duduk. Bisa menaruh telapak kaki di lantai kereta saja sudah syukur”, terang temanku. Beberapa penumpang terlihat tertidur pulas dalam posisi berdiri bergelantungan. Aku takjub dengan pemandangan di sekelilingku sehingga meski lelah tak terbersit sedikit pun keinginan untuk tidur. Tiba-tiba seorang penumpang laki-laki berjalan di tengah desakan penumpang ke arah dua penumpang laki-laki yang berada di sebelah kiriku. Awalnya aku tak curiga. Namun setelah di antara mereka bertiga terjadi komunikasi menggunakan kode-kode dengan jari tangan, mulailah jantungku berdegup kencang. Perlahan aku pun bergeser mendekat ke arah temanku dan membelakangi mereka bertiga sambil mendekap erat ranselku. “Pasti mereka copet yang sedang merencanakan sesuatu”, su’uzhon-ku. Dan pikiranku pun melayang, membayangkan betapa sulitnya mengais rejeki di Jakarta sehingga sementara orang harus mencarinya tanpa memikirkan halal haramnya. Lalu pikiranku membayangkan para penumpang di sekelilingku yang untuk bisa naik kereta pun harus berjuang berebut tempat yang terkadang membahayakan nyawanya karena jarak yang cukup jauh antara gerbong kereta (terutama gerbong bagian belakang) dengan peron, sehingga risiko jatuh ke bebatuan rel cukup tinggi. Apalagi dari obrolan dengan beberapa teman sesama peserta kegiatan, ternyata banyak sekali karyawan yang harus menempuh perjalanan selama tiga jam dari rumah menuju tempat kerjanya sekali jalan. Bayangkan, enam jam waktu dan energi dihabiskan di jalan setiap harinya! Itu berarti hampir seperempat dari umur mereka dihabiskan di jalan instead of digunakan untuk melakukan aktivitas lain yang lebih bermakna. Tidakkah sayang? Ah, pikiran orang Jogja memang naif.

Setelah turun dari kereta ternyata aku belum bebas dari pemandangan yang membuat mood-ku down. Kali ini saat melintasi sebuah jalan kecil antara Stasiun Lenteng Agung dan Jagakarsa, kulihat seorang ibu yang tak lagi muda, sedang menarik sebuah gerobak kayu kecil berisi dua sound system berukuran besar sembari tangan kirinya memegang mikropon. Diiringi irama lagu dangdut minus one yang cukup keras, si ibu terus bernyanyi sambil berjalan cepat. Sementara itu di seberang jalan seorang pemuda yang mungkin adalah puteranya, menyodorkan kantong kepada orang-orang di sepanjang jalan yang mau berbaik hati menjatuhkan kepingan receh ke kantongnya sebagai bentuk apresiasi atas nyanyian si ibu atau karena iba semata. Padahal saat itu waktu sudah larut yaitu sekitar pukul 21 WIB dan sang ibu masih mengais rupiah. Sigh..

"Pesepeda Asongan Menunggu Pembeli Sambil Menggaruk Punggung" - HP Samsung Galaxy Note 4 Ibu Retno Trihesti

 

Hanya kurang lebih empat hari aku berada di Jakarta tetapi begitu banyak potret suram kehidupan terhidang setiap harinya di depan mataku. Kesenjangan sosial, ekonomi, dan budaya tergambar paling parah dan paling jelas alias gamblang di ibu kota negara kita tercinta. Bukan di kota, kabupaten, maupun provinsi lain di tanah air kita. Mengapa? Menurut pendapatku, sekali lagi menurut pendapatku, paling tidak terdapat empat sebab utama mengapa Jakarta merupakan laboratorium kesenjangan sosial, ekonomi, dan sosial terbesar dan terbaik di tanah air. Pertama, karena orang paling kaya ada di Jakarta dan jumlahnya banyak. Sehingga saat disandingkan dengan kondisi mereka yang kurang mampu sebagaimana beberapa ilustrasi di atas, jaraknya teramat jauh. Timpang sekali. Hal ini tidak terjadi di kota lain. Kalaupun ada kesenjangan di kota lain di tanah air, amplitudonya tidak sejauh di Jakarta. Hal ini disebabkan perputaran uang di kota lain tidak sebesar di Jakarta sehingga jumlah penduduk sangat kaya (kaum borjuis) di daerah tak sebanyak di Jakarta. Kedua, karena orang miskin di daerah pada umumnya masih bisa memanfaatkan alam dengan bercocok tanam tanaman pangan seperti ubi, singkong, dan sayur-mayur serta memelihara satu dua ekor ayam atau ikan. Saat tak memiliki uang, mereka masih bisa mengkonsumsi hasil kebun dan ayam atau ikannya. Sebaliknya saat memiliki uang mereka dapat berhemat sehingga kemampuan ekonominya pun meningkat. Di Jakarta hal sedemikian tampaknya hampir mustahil dilakukan terutama bagi kaum urban yang jumlahnya sangat besar di Jakarta. Ketiga, kepedulian sosial masyarakat di Jakarta relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat di daerah. Salah satu buktinya adalah sulitnya para pengasong pada ilustrasi di atas mendapatkan pembeli. Akibatnya di Jakarta orang miskin cenderung tetap miskin. Sebaliknya di daerah semangat gotong royong dan tolong-menolong masih subur sehingga saudara atau tetangga yang kurang beruntung lebih besar kemungkinan akan dibantu. Keempat, biaya hidup di Jakarta relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan di daerah. Dengan demikian, orang miskin di daerah bisa hidup lebih “sejahtera” daripada kaum marjinal di Jakarta. Itulah beberapa alasanku mengapa Jakarta merupakan potret ketimpangan terbaik di tanah air. Oleh karenanya setiap kali aku berada di Jakarta mood-ku selalu sedih, nuraniku acap kali sesak, dan pandanganku terkadang terpaksa kualihkan demi mencegah mataku menatap wajah-wajah sendu itu.. and that's enough for me to hate Jakarta. 

Catatan: 

- Foto koleksi Ibu Retno Trihesti. Beberapa di antaranya seizin objek foto (pesepeda asongan). 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun