Mohon tunggu...
Vox Pop

Why I Hate Jakarta

4 Mei 2016   14:19 Diperbarui: 5 Mei 2016   09:29 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan kami pun kembali melanjutkan perjalanan menembus kemacetan di sepanjang Jalan Sudirman yang belum juga menunjukkan titik terang. Satu jam lebih telah berlalu dan kami belum juga masuk Mampang. Pak Bambang tiba-tiba gelisah dan meminta izin untuk mengisi bensin. Kulihat dia mengumpulkan beberapa lembar sepuluh dan dua puluh ribuan untuk membeli bensin. Sesaat sebelumnya beliau sempat curcol mengeluhkan penghasilannya sejak pagi yang tidak seberapa karena selalu terjebak macet sehingga waktu habis, ditambah lagi beliau masih harus mengeluarkan uang untuk membeli bensin. Memang nantinya bon BBM akan di-reimburse kantor, namun ia harus mengeluarkan uang hasil narik taksinya terlebih dahulu. Saat kutanya jam pulang setiap harinya  beliau menjawab bahwa sering beliau harus pulang jam 12 dini hari demi terkumpulnya uang setoran minimal kepada majikannya. Deg, aku terhenyak untuk yang kedua kalinya. Betapa berat perjuangan mengais rejeki di ibu kota bagi pak Bambang. Sudah umur habis di jalan, rupiah yang terkumpul masih jauh dari cukup di tengah tingginya harga kebutuhan pokok. Belum lagi risiko yang dihadapi setiap harinya. Kemacetan parah dan kelelahan, sangat besar kemungkinannya memicu terjadinya senggolan, srempetan, bahkan tabrakan antarkendaraan roda empat. Jika yang disenggol pengemudinya punya belas kasih sih tidak jadi masalah. Namun apa jadinya jika “peristiwa Avanza” tadi menimpa pak Bambang? Aku tak berani membayangkan apa yang akan jadi taruhannya. Mungkin pekerjaan hilang, seluruh simpanan ludes, atau terpaksa berhutang. Astaghfirullah.. mereka yang mampu, yakni para pengendara mobil mewah di sekitar pak Bambang yang “seharusnya” menjadi pengayom dan penolong bagi mereka yang kurang mampu, faktanya adalah threats bagi beliau. Sungguh ironis.

"Pesepeda Asongan Menunggu Pembeli Sambil Menelpon" - HP Samsung Galaxy Note 4 Ibu Retno Trihesti

 

Di penghujung hari ketiga kegiatanku akhirnya aku berhasil memesan Grab Bike. Kali ini tujuanku adalah Stasiun Gondangdia karena seorang teman lama mengajakku menginap di rumahnya yang berlokasi di Jagakarsa, perbatasan Jakarta Selatan dengan Bekasi. Kami pun pulang bersama naik KRL dari Stasiun Gondangdia menuju Stasiun Lenteng Agung. Dan perjuangan pun dimulai. Saat kereta tiba, puluhan bahkan mungkin ratusan orang berebut naik. "Maklum, Jumat malam. Jangan harap bisa duduk. Bisa menaruh telapak kaki di lantai kereta saja sudah syukur”, terang temanku. Beberapa penumpang terlihat tertidur pulas dalam posisi berdiri bergelantungan. Aku takjub dengan pemandangan di sekelilingku sehingga meski lelah tak terbersit sedikit pun keinginan untuk tidur. Tiba-tiba seorang penumpang laki-laki berjalan di tengah desakan penumpang ke arah dua penumpang laki-laki yang berada di sebelah kiriku. Awalnya aku tak curiga. Namun setelah di antara mereka bertiga terjadi komunikasi menggunakan kode-kode dengan jari tangan, mulailah jantungku berdegup kencang. Perlahan aku pun bergeser mendekat ke arah temanku dan membelakangi mereka bertiga sambil mendekap erat ranselku. “Pasti mereka copet yang sedang merencanakan sesuatu”, su’uzhon-ku. Dan pikiranku pun melayang, membayangkan betapa sulitnya mengais rejeki di Jakarta sehingga sementara orang harus mencarinya tanpa memikirkan halal haramnya. Lalu pikiranku membayangkan para penumpang di sekelilingku yang untuk bisa naik kereta pun harus berjuang berebut tempat yang terkadang membahayakan nyawanya karena jarak yang cukup jauh antara gerbong kereta (terutama gerbong bagian belakang) dengan peron, sehingga risiko jatuh ke bebatuan rel cukup tinggi. Apalagi dari obrolan dengan beberapa teman sesama peserta kegiatan, ternyata banyak sekali karyawan yang harus menempuh perjalanan selama tiga jam dari rumah menuju tempat kerjanya sekali jalan. Bayangkan, enam jam waktu dan energi dihabiskan di jalan setiap harinya! Itu berarti hampir seperempat dari umur mereka dihabiskan di jalan instead of digunakan untuk melakukan aktivitas lain yang lebih bermakna. Tidakkah sayang? Ah, pikiran orang Jogja memang naif.

Setelah turun dari kereta ternyata aku belum bebas dari pemandangan yang membuat mood-ku down. Kali ini saat melintasi sebuah jalan kecil antara Stasiun Lenteng Agung dan Jagakarsa, kulihat seorang ibu yang tak lagi muda, sedang menarik sebuah gerobak kayu kecil berisi dua sound system berukuran besar sembari tangan kirinya memegang mikropon. Diiringi irama lagu dangdut minus one yang cukup keras, si ibu terus bernyanyi sambil berjalan cepat. Sementara itu di seberang jalan seorang pemuda yang mungkin adalah puteranya, menyodorkan kantong kepada orang-orang di sepanjang jalan yang mau berbaik hati menjatuhkan kepingan receh ke kantongnya sebagai bentuk apresiasi atas nyanyian si ibu atau karena iba semata. Padahal saat itu waktu sudah larut yaitu sekitar pukul 21 WIB dan sang ibu masih mengais rupiah. Sigh..

"Pesepeda Asongan Menunggu Pembeli Sambil Menggaruk Punggung" - HP Samsung Galaxy Note 4 Ibu Retno Trihesti

 

Hanya kurang lebih empat hari aku berada di Jakarta tetapi begitu banyak potret suram kehidupan terhidang setiap harinya di depan mataku. Kesenjangan sosial, ekonomi, dan budaya tergambar paling parah dan paling jelas alias gamblang di ibu kota negara kita tercinta. Bukan di kota, kabupaten, maupun provinsi lain di tanah air kita. Mengapa? Menurut pendapatku, sekali lagi menurut pendapatku, paling tidak terdapat empat sebab utama mengapa Jakarta merupakan laboratorium kesenjangan sosial, ekonomi, dan sosial terbesar dan terbaik di tanah air. Pertama, karena orang paling kaya ada di Jakarta dan jumlahnya banyak. Sehingga saat disandingkan dengan kondisi mereka yang kurang mampu sebagaimana beberapa ilustrasi di atas, jaraknya teramat jauh. Timpang sekali. Hal ini tidak terjadi di kota lain. Kalaupun ada kesenjangan di kota lain di tanah air, amplitudonya tidak sejauh di Jakarta. Hal ini disebabkan perputaran uang di kota lain tidak sebesar di Jakarta sehingga jumlah penduduk sangat kaya (kaum borjuis) di daerah tak sebanyak di Jakarta. Kedua, karena orang miskin di daerah pada umumnya masih bisa memanfaatkan alam dengan bercocok tanam tanaman pangan seperti ubi, singkong, dan sayur-mayur serta memelihara satu dua ekor ayam atau ikan. Saat tak memiliki uang, mereka masih bisa mengkonsumsi hasil kebun dan ayam atau ikannya. Sebaliknya saat memiliki uang mereka dapat berhemat sehingga kemampuan ekonominya pun meningkat. Di Jakarta hal sedemikian tampaknya hampir mustahil dilakukan terutama bagi kaum urban yang jumlahnya sangat besar di Jakarta. Ketiga, kepedulian sosial masyarakat di Jakarta relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat di daerah. Salah satu buktinya adalah sulitnya para pengasong pada ilustrasi di atas mendapatkan pembeli. Akibatnya di Jakarta orang miskin cenderung tetap miskin. Sebaliknya di daerah semangat gotong royong dan tolong-menolong masih subur sehingga saudara atau tetangga yang kurang beruntung lebih besar kemungkinan akan dibantu. Keempat, biaya hidup di Jakarta relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan di daerah. Dengan demikian, orang miskin di daerah bisa hidup lebih “sejahtera” daripada kaum marjinal di Jakarta. Itulah beberapa alasanku mengapa Jakarta merupakan potret ketimpangan terbaik di tanah air. Oleh karenanya setiap kali aku berada di Jakarta mood-ku selalu sedih, nuraniku acap kali sesak, dan pandanganku terkadang terpaksa kualihkan demi mencegah mataku menatap wajah-wajah sendu itu.. and that's enough for me to hate Jakarta. 

Catatan: 

- Foto koleksi Ibu Retno Trihesti. Beberapa di antaranya seizin objek foto (pesepeda asongan). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun