Mohon tunggu...
Money

“Cekrek Aplot” Bikin PAD Yahud

21 Januari 2016   09:51 Diperbarui: 21 Januari 2016   10:06 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tidak dapat disangkal bahwa perkembangan dunia maya pada umumnya dan dunia sosial media pada khususnya telah berdampak luas pada bidang pariwisata di tanah air. Setidaknya terdapat empat manfaat sosial media terhadap dunia pariwisata. Pertama, mengenalkan potensi wisata ke seluruh dunia. Pengguna jejaring sosial memiliki akses tanpa batas. Pengguna jaringan pertemanan seperti Facebook, Instagram, dan Path dapat menjangkau koneksi antarnegara dan antarbenua. Melalui media sosial, berbagai objek wisata dapat di-share dengan teman-teman di belahan bumi yang lain. Kedua, membantu pengenalan lokasi. Biasanya pengguna media sosial mengenal destinasi wisata baru dari informasi temannya di media sosial.

Dari pengenalan tersebut muncul keinginan untuk mengunjungi destinasi tersebut. Ketiga, mempermudah pencarian. Dengan menggunakan media sosial, dialog dapat dilakukan secara real time sehingga percakapan tentang lokasi destinasi wisata dapat dilakukan secara intens antara teman yang sudah pernah berkunjung dengan teman yang sedang mencari lokasi tersebut. Meski aplikasi peta seperti Google Maps dan Waze mudah diaplikasikan dan sangat bermanfaat untuk mencari lokasi tempat-tempat wisata baru, namun pengguna media sosial cenderung melakukan konfirmasi dengan teman yang sudah pernah berkunjung dan tahu persis lokasinya. Keempat, meningkatkan penyebarluasan informasi wisata melalui sosial media. Komunikasi antarpengguna jejaring sosial dapat menyebarluaskan informasi yang bermanfaat termasuk memperkenalkan potensi wisata baru. Pada kasus kebun bunga Amaryllis Gunungkidul, fenomena ini terlihat nyata.

Berubahnya perilaku berwisata di masyarakat seiring dengan meningkatnya pengguna jejaring sosial tidak hanya menggembirakan pihak-pihak pengelola destinasi wisata di tanah air. Di lain pihak terdapat efek samping dari meningkatnya perilaku berwisata ini yakni rusaknya beberapa objek wisata alam di berbagai daerah di tanah air. Hal ini dikarenakan dalam berwisata, para netizen terutama para ABG juga melakukan “ritual wajib” berupa swafoto atau selfie dan wefie. Mengapa selfie dan wefie menjadi ritual wajib bagi para netizen dalam melakukan aktivitas melancong atau berwisata? Tentu saja hal ini karena pengguna jejaring sosial perlu membuktikan kepada komunitasnya tentang aktivitas kunjungannya ke destinasi wisata tertentu. Bukti yang paling faktual, mudah, dan menyenangkan untuk dilakukan adalah melalui berfoto ria. Di samping pepatah cause picture speaks louder, tentu saja hal ini juga didukung dengan munculnya berbagai aplikasi jejaring sosial yang memfasilitasi aplot foto penggunanya sehingga dapat diolah menjadi tampilan yang sophisticated dan sangat menarik seperti Instagram dan Path.

Kerusakan destinasi wisata alam yang paling fenomenal adalah rusaknya Puspat atau taman Puspa Pathuk yang terletak di dusun Ngasemayu, Desa Salam Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, DIY. Kebun seluas 2.350 meter persegi milik Bapak Sukadi yang dipenuhi dengan tanaman bunga cantik Amaryllis atau Brambangan dalam bahasa daerah tersebut porak poranda akibat diinjak-injak, dipetik, dan dijadikan media berpose pengunjung dalam berbagai gaya termasuk tiduran dan rebahan. Kejadiannya berlangsung pada hari Jumat 27 November 2015 ketika hampir 1.500 orang mengunjungi taman bunga tersebut dan berfoto baik secara rombongan maupun swafoto (selfie dan wefie).

Kebun Raya Baturaden yang baru lima hari diresmikan oleh Ketua Yayasan Kebun Raya Indonesia, pada tanggal 24 Desember 2015 juga tak luput dari nasib serupa. Tanaman daun merahnya rusak berantakan setelah menjadi ajang swafoto para pengunjung yang mayoritas terdiri atas ABG berjenis kelamin perempuan meski telah dipasang pagar pembatas.

Selang dua hari kemudian disusul berita tentang putusnya jembatan gantung hutan kota Langsa di Desa Paya Bujok Seuleumak, Kecamatan Langsa Baro pada 26 Desember 2015 lalu. Lagi-lagi akibat banyaknya pengunjung yang ber-selfie dan ber-wefie secara beramai-ramai sehingga jembatan yang kapasitasnya hanya 40 orang putus karena tak kuasa menampung beban kurang lebih seratus orang. Tak hanya jembatan yang menjadi korban. Dua belas pengunjung pun juga luka-luka dan harus dirawat di RS.

Taman Bunga Eceng Gondok di Dusun Karangasem, Palbapang, Bantul bernasib lebih baik. Selain karena tanaman tersebut hanya tumbuh di air sehingga tidak mudah dijangkau pengunjung, tampaknya pemilik lahan, bapak Karsono, telah belajar dari pengalaman kebun bunga Amaryllis. Beliau sudah memasang peringatan agar pengunjung tidak memetik dan merusak bunga eceng gondoknya dan menyiapkan lokasi khusus untuk berfoto.

Meski kejadian-kejadian tersebut tampak negatif, namun sesungguhnya fenomena di atas menunjukkan bahwa terdapat blessing in disguise di mana masih banyak peluang atau potensi yang sangat besar di luar sana bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah bagi pemerintah daerah, selain pendapatan dari objek wisata existing. Pemerintah daerah umumnya tidak sadar bahwa mereka memiliki destinasi wisata yang cantik dan menarik bagi netizen. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan bagi pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendapatan Daerah terkait ekstensifikasi dan intensifikasi PAD melalui optimalisasi pengelolaan tempat rekreasi ini.

Yang pertama adalah memetakan lokasi-lokasi di daerahnya yang berpotensi menjadi objek wisata alam yang menarik bagi netizen. Penambahan destinasi merupakan strategi ekstensifikasi PAD yang baru sebatas wacana bagi sebagian besar pemerintah daerah di tanah air. Mereka lupa bahwa seiring dengan pesatnya perkembangan dunia maya terutama sosial media, tempat-tempat wisata baru merupakan incaran para netizen.

Kedua, merumuskan model kerja sama pengelolaan destinasi wisata dengan pemilik lokasi-lokasi tersebut yang menguntungkan bagi kedua belah pihak dan dan aktif menarik investor untuk mendanai pengelolaan tempat rekreasi baru. Menurut pasal 136 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, retribusi tempat rekreasi adalah retribusi yang dikenakan atas objek berupa pelayanan tempat rekreasi atau pariwisata yang dimiliki, disediakan, dan/atau dikelola oleh pemerintah daerah. Dalam hal objek wisata tidak dimiliki oleh pemerintah daerah seperti Kebun Bunga Amaryllis atau Puspa Pathuk (Puspat) Gunungkidul atau taman bunga Eceng Gondok Bantul, maka pengelolaannya dapat dikerjakan bersama antara pemilik objek wisata dan pemerintah daerah, sehingga penerimaannya pun dibagihasilkan antara pemilik objek wisata dengan pemerintah daerah setempat. Adapun SKPD yang menangani bisa Bappeda, Dinas Pariwisata, Badan Promosi Pariwisata Daerah, BKPM, Dinas Pendapatan Daerah/Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, atau lintas SKPD.

Ketiga, menyusun dan membenahi manajemen termasuk SOP dan SDM. Standard Operating Procedures ber-selfie dan ber-wefie perlu disiapkan baik untuk destinasi wisata baru maupun existing (yang telah ada) namun belum dikelola dengan baik. SDM juga perlu disiapkan terkait bertambahnya wahana dan variasi layanan. Dalam hal ini pemerintah daerah dapat berkonsultasi dengan pihak ketiga seperti universitas, pemerintah daerah lain yang telah berhasil me-manage pariwisata di daerahnya (seperti yang telah ditempuh oleh pemerintah kabupaten Sleman yang bekerja sama dengan Pemkot Pekanbaru), maupun pihak swasta pengelola tempat wisata yang representatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun