Mohon tunggu...
Retna Kumalasari
Retna Kumalasari Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance content writer

Temukan informasi lebih banyak tentang saya, di sini! https://linktr.ee/retnakum

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Banjir dan Penyakit Leptospirosis

6 Januari 2020   16:04 Diperbarui: 7 Januari 2020   16:16 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir yang menerjang Jabodetabek dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia bisa berdampak terhadap kesehatan masyarakatnya. 

Seperti yang dikeluhkan korban banjir kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, bahwa berbagai jenis gejala dan penyakit mulai dirasakan. Salah satu penyebabnya adalah karena masyarakat masih kesulitan mendapatkan air bersih.

Air luapan sungai yang bisa saja tercampur dengan air sumur atau bahkan air dari got bisa menjadi wadah untuk bersarangnya berbagai macam bakteri dan virus pembawa penyakit. 

Terawan menghimbau untuk berhati-hati terhadap beberapa penyakit yang bisa ditimbulkan dari air kotor tersebut. Salah satu yang dirasakan oleh warga terdampak banjir adalah masalah pencernaan.

Dilansir dari Harianjogja.com, Terawan menyebut pihaknya akan memusatkan perhatian pada penyakit leptospirosis akibat banyaknya bangkai tikus yang bertebaran di kawasan terdampak banjir. 

"Penyakit pencernaan leptospirosis karena itu kita lihat bangkai tikus banyak. Saya kemarin meninjau itu saya langsung melihat langsung. Sumber-sumber air misalnya sumur yang tenggelam itu harus segera kita surveillance, skrining, kita awasi terus daerah darah itu juga harus segera dapat terpenuhi masalah kebutuhan air bersih," tutupnya.

Sebenarnya, apa Leptospirosis itu?

Leptospirosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri patogen Spirochetes dari genus Leptospira, yang ditularkan secara langsung maupun tidak langsung dari hewan ke manusia, sehingga penyakit ini digolongkan dalam zoonosis (WHO, 2009).

Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek dan berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan meningkatnya ketersediaan makanan, tempat bersarang, berlindung dan berkembang biak tikus sebagai reservoir leptospirosis. Dinas kesehatan Provinsi Jakarta (2003) menyebutkan bahwa tikus  merupakan sumber penularan Leptospirosis yang paling potensial diantara hewan lainnya.

Penyebaran penyakit ini dapat meningkat sebesar 37 kali sepada saat curah hujan tinggi. Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air dan dapat bertahan hidup di dalam air bersifat basa sampai 6 bulan lamanya menjadi masalah yang signifikan. Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira ialah udara hangat (25C), tanah basah/lembab, dan pH tanah 6,2-8.

hellosehat.com
hellosehat.com
Lingkungan yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi merupakan titik sentral epidemiologi. Penularan yang terjadi secara langsung dapat terjadi melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mulut, mata, hidung, kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan). 

Namun, penularan dari manusia ke manusia ini jarang terjadi. Sedangkan penularan tidak langsung terjadi melalui kontak dengan hewan atau menusia dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita, seperti alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh.

Angka kematian akibat Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5%-16,4%. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasusnya meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun.

Gejala Leptospirosis terjadi dalam dua tahap. Di tahap pertama, seorang yang terjangkit Leptosprirosis akan mengalami demam, sakit kepala, ruam, otot terasa nyeri, sakit perut, muntah-muntah, atau diare, kulit atau area putih pada mata yang menguning. 

Setelah mengalami gejala, penderita leptospirosis biasanya akan kembali pulih dalam waktu 1 minggu setelah sistem imunitas tubuh dapat mengalahkan infeksi.

Akan tetapi, sebagian penderita akan mengalami tahap kedua. Penyakit leptospirosis di tahap ini akan menyerang lebih banyak organ vital lain, sehingga membuat kondisi semakin buruk. Setelah memasuki tubuh, bakteri ini dapat menyebar melalui aliran darah dan sistem getah bening pada organ dalam tubuh. 

Tahap kedua ini biasanya disebut juga sebagai penyakit Weil. Gagal ginjal akut, gagal jantung, manifestasi pendarahan, dan meningitis menjadi ancaman terburuk bagi penderita penyakit Weil ini.

Penderita leptospirosis umumnya tidak langsung berobat, karena keluhannya dirasa bisa sangat ringan. Di beberapa pasien, penyakit ini pun dapat sembuh dengan sendirinya dan gejalanya akan hilang dalam waktu 2-3 minggu.

Kemenkes menyebutkan beberapa hal yang dapat menghindari dan mengantisipasi diri dari penyakit Leptospirosis, antara lain Menghindari adanya tikus berkeliaran di sekitar kita, hindari bermain air saat banjir terutama jika mempunyai luka, gunakan alas kaki misalnya sepatu anti air bila terpaksa harus ke daerah banjir, dan segera berobat jika merasa sakit dengan gejala demam tiba-tiba, sakit kepala dan mual atau diare.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun