Saya lahir dan besar di Wijilan, sebuah kampung kecil di jantung Kota Yogyakarta. Bagi yang mengenal kota ini, lokasi Wijilan adalah salah satu yang strategis. Kampung ini berbatasan langsung dengan Alun-Alun Utara yang tak jauh dari Malioboro.
Seperti banyak kawasan perkotaan di Indonesia, Wijilan adalah contoh dari kampung yang padat penduduk tetapi miskin fasilitas sosial. Di kampung ini, ruang terbuka untuk bermain nyaris tak ada. Jika ingin mencari tempat bermain, kami harus puas dengan jalan raya sebagai "lapangan".
Dalam ingatan saya, jalan raya kampung itu menjadi saksi kegembiraan dan keberanian anak-anak di sana. Hampir setiap sore, kami bermain bola di sela-sela deru kendaraan yang melintas. Permainan berhenti sejenak setiap kali ada motor, becak atau andong yang lewat, hanya untuk dilanjutkan kembali setelah jalan cukup lengang.
Namun, seiring waktu dan pengalaman, saya mulai menyadari bahwa kenangan ini bukan hanya cerita dari Wijilan. Fenomena serupa hampir selalu saya temui di kota-kota lain di Indonesia. Anak-anak di berbagai sudut kota memanfaatkan apa pun yang tersisa dari ruang publik yang semakin tergerus. Jalan raya menjadi lapangan sepak bola darurat, tempat mereka menantang risiko demi sedikit kebahagiaan.
Kenangan ini kembali terlintas ketika saya meliput persiapan PON di Jayapura pada Maret 2020. Meskipun akhirnya ditunda karena pandemi, pengalaman itu tetap membekas. Di sekitar pusat bisnis Jayapura, tepatnya di lorong-lorong ruko dekat Swiss-Belhotel tempat saya menginap, pemandangan yang akrab tersaji: anak-anak setempat bermain bola di lorong sempit.
Tawa dan teriakan mereka terdengar hingga jauh, meski ruang bermain mereka hanya cukup untuk sekadar menggiring bola. Tidak ada lapangan hijau, tidak ada garis gawang yang jelas, hanya tembok ruko sebagai pembatas dan lantai beton yang dingin sebagai alas.
Sepak Bola di Tengah Minimnya FasilitasÂ
Fenomena ini ternyata bukan hanya cerita kecil dari lorong-lorong Jayapura atau jalanan sempit di Wijilan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Potensi Desa 2024 menunjukkan bahwa hanya 10,56 persen desa/kelurahan di Indonesia yang memiliki fasilitas lapangan sepak bola. Angka itu setara dengan 48.886 lapangan, jumlah yang sangat minim jika dibandingkan dengan luas wilayah Indonesia dan populasi penduduknya.
Ironisnya, Indonesia adalah negara dengan penggemar sepak bola terbesar di dunia. Survei Ipsos pada September 2022 mencatat bahwa 69 persen masyarakat Indonesia mengaku sebagai penggemar olahraga ini, proporsi tertinggi dibanding negara-negara lain.
Dengan populasi yang mencapai 283,49 juta jiwa pada Desember 2024, ini berarti lebih dari 195 juta orang di negeri ini menyukai sepak bola. Namun, di balik kecintaan besar itu, anak-anak yang bermimpi menjadi pemain bola masih harus bertarung dengan minimnya ruang bermain yang layak.