Puisi merupakan karya sastra yang terdiri atas rangkaian kata pilihan, indah, menawan, menyentuh hati, dan mengandung makna mendalam. Oleh karena itu, untuk memahami sebuah puisi dibutuhkan kajian yang mendalam. Kajian tersebut, dapat berupa kajian bahasanya, strukturnya, dan citraannya. Â
Dalam mengkaji karya sastra banyak pendekatan yang dapat dilakukan, seperti pendekatan mimetik, pragmatik, objektif, ekspresif, semiotik, hermeneutik, dan intertekstual. Penggunaan teori-teori tersebut agar kajian sastra menjadi sesuatu yang objektif. Di sisi lain, objektivitas yang dibangun dalam karya ilmiah seperti skripsi, tesis, dan desertasi sangat kaku dan tidak nikmat dibaca. Hasilnya, karya-karya tersebut tidak dilirik oleh penerbit. Publikasi yang terbatas, lebih lagi biasanya hanya di perpustakaan kampus membuat hasil ilmiah dari penelitian karya sastra menjadi kurang memiliki kebermaknaan di tengah problematika kesusastraan Indonesia. Premis tersebut membuat kritikus sastra cenderung menyampaikan gagasannya dalam tulisan esai. Kajian yang disampaikan tidak bergantung pada teori, namun berangkat dari apresiasi karya sastra. Hasilnya, esai tersebut cendrung subjektif. Sesuai dengan selera atas pembacaan yang gelisah dan kritis terhadap suatu karya untuk menilai karya tersebut sehingga karya tersebut layak dibaca masyarakat atau sebaliknya, dibuang ke jurang dalam-dalam.
Puisi merupakan interpretasi penyair terhadap kehidupan. Interpretasi tersebut merefleksikan pandangan penyair terhadap realitas di sekitarnya. Untuk itu, puisi merupakan bentuk curahan pikiran dan perasaan penyairnya terhadap realitas kehidupan. Di sisi lain, puisi tidak benar-benar memuat fragremen faktual dari suatu peristiwa. Potret yang disampaikan penyair telah terlebih dahulu diracik dan dibumbui dengan berbagai bentuk alegori, paradoks, ataupun hiperbola yang bisa menyentuh perasaan sensitif pembacanya secara lebih tajam. Berdasarkan hal tersebut, maka puisi meski merefleksikan peristiwa tertentu tetaplah peristiwa tersebut dianggap sebagai sebuah jahitan peristiwa yang telah ditambal sulam sehingga memudarkan fakta peristiwa sekaligus memekarkan jiwa fiksi dari suatu puisi. Singkatnya, puisi tetaplah sebuah karya fiksi. Hal ini ditegaskan oleh Wordsworth dalam Suryaman dan Wiyatmi yang menyebut puisi sebagai tulisan yang menyiratkan perasaan imajinatif (2012: 12).
 Namun di sisi lain, bentuk puisi atau tipografi perlu pula mendapat perhatian oleh peneliti dalam menerjemahkan makna puisi tersebut. Misal, dalam puisiÂ
Tragedi Winka dan SihkaÂ
karya Sutardji Calzoum Bachri Â
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
 ka
win
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
 Puisi ini memuat tipografi yang berbentung zigzag yang tentu saja membantu penyair menyampaikan ide atau gagasan yang ingin diungkapkannya. Bentuk zigzag tersebut merupakan bentuk yang sengaja dipilih Sutardji untuk menggambarkan kehidupan Winka dan Sihka dalam memadu asmara yang tak pernah berjalan lurus-lurus saja. Banyak tragedi dan rintangan yang perlu dilewati. Kata tragedi atau rintangan tersebut tidak diceritakan dalam bentuk kata-kata oleh penyair, namun disampaikan dalam bentuk tipografi yang berzigzag. Bentuk puisi semacam ini disebutnya sebagai puisi Mbeling. Puisi yang berupaya mendobrak tradisi perpuisian dalam bentuk maupun bahasanya. Demikianlah sebuah puisi, harus dimaknai dengan menyeluruh. Tanpa terkecuali. Harus benar-benar dihitung dengan masak segala sesuatu yang ditulis penyair dalam baitnya untuk mendapatkan kajian yang komprehensif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H