Mohon tunggu...
Resty Febiyanti
Resty Febiyanti Mohon Tunggu... Lainnya - penulis pemula

Writing curiousity, inspiring knowledge

Selanjutnya

Tutup

Nature

Buah Tangan dari Pasar Karbon

6 Desember 2024   11:35 Diperbarui: 6 Desember 2024   12:13 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perserta workshop (dokumen pribadi)

Saya berkesempatan untuk mengikuti workshop yang didakan oleh OJK pada tanggal 3-5 Desember 2024, berjudul Workshop Perdagangan Karbon Bagi Lembaga Jasa Keuangan. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya capacity building yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan literasi dan iterasi dari rencana penurunan emisi karbon sebagaimana diamanatkan dalam dokumen National Determined Contribution (NDC) yang rencananya akan diupdate Kembali pada tahun 2025 dengan target yang lebih agresif. Dalam enhanced NDC tahun 2022, Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 31,89% dengan usaha sendiri atau 43,2% dengan dukungan internasional. Bursa karbon yang dikupas tuntas dalam workshop ini adalah salah satu langkah konkrit dari pemerintah mengajak pelaku usaha untuk mewujudkan visi tersebut.

Banyak yang dibahas dan dilakukan dalam workshop singkat ini, selama tiga hari peserta bukan hanya disuguhi padatnya informasi tapi juga diharapkan mampu melakukan analisis proyek hijau, sampai mengukur produksi emisi karbon, merencanakan target serta membuat strategi untuk mereduksi emisi karbon, tentunya pada scope studi kasus yang ringkas. Memang tujuan utamanya adalah pengenalan pada bisnis unit karbon yang nantinya dapat diperdagangkan di bursa karbon, namun bagi sebagian peserta yang masih awam tentu workshop ini cukup menantang.

Dalam bisnis karbon, mindset yang digunakan adalah carbon emission life cycle, dimana semua hal di dunia ini menghasilkan gas limbah yang kita sebut emisi karbon, bahkan manusia bernafas-pun mengeluarkan karbon, nah untuk menghitung berapa sih jumlah emisi karbon kita, detailnya luar biasa rumit, bayangkan kita mengukur berapa CO2 yang kita produksi selama 24 jam, dari mulai tidur, bangun, berjalan, berolahraga, menggunakan kendaraan ke kantor, penggunaan alat di kantor seperti kertas, belum lagi listrik, baju dan barang-barang lain yang kita kenakan, makanan dan minuman yang kita konsumsi, sampai kita tidur lagi, dan itu berlangsung terus menerus.

Untuk mengurangi emisi karbon yang berakumulasi pada atmosfeer, kita harus mengukur dulu baseline produksi emisi karbon dalam keadaan normal, atau bila di dunia usaha disebut dengan Business As Usual. Dengan kita mengukur dan mengetahui berapa besar emisi karbon yang diproduksi, kita dapat menentukan target penurunannya, baru kemudian ditentukan strategi yang paling feasible.

Ribet banget sih ngukur-ngukur barang yang ga kelihatan bentuknya! Iya memang super complicated, penuh dengan istilah kimia, satuan-satuan fisika, rumus matematika, kalau belum jadi ahlinya pasti pusing… But hello, sekarang ini semua negara di dunia sudah menuju ke sana lho, masa’ kita mau ketinggalan??

Setelah kita berhasil menjalankan strategi barulah ‘keberhasilan’ dalam bentuk ‘unit karbon’ itu dapat dijual dalam mekanisme pasar karbon. Seperti peribahasa sambil menyelam minum air, selain mendukung usaha penurunan emisi karbon, kita juga dapat mengambil keuntungan dari hasil berjualan ‘unit karbon’. Kalau ada cuan-nya pengusaha pasti saling berlomba, dan harapannya proses transformasi energi  fosil menjadi energi bersih menjadi lebih cepat dan massif.

Apapun konsep, pendekatan, metode, strategi dari usaha semua orang dunia melakukan pengurangan emisi karbon memiliki tujuan mulia yaitu menunda perubahan iklim, dan kita adalah bagian dari dunia yang sudah mendekati batas kelayakannya untuk dihuni. Lantas apa peran kita? Apakah kita mau tetap menutup mata dan menyangkal, sampai kita ‘dihukum’oleh dunia dengan disinsentif? Atau kita mau berbenah diri dan ikut bertransformasi menjadi bagian dari warga dunia yang lebih ramah lingkungan?

Sayangnya dunia yang kita tinggali ini bukan hanya diwarisi dari generasi nenek moyang kepada generasi kita, tapi kita juga akan mewarisi dunia ini kepada generasi masa depan, jadi lindungilah dunia ini sebagai warisan terbaik bagi anak cucu kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun