Apa itu kebahagiaan? Rasanya pertanyaan ini sangat sulit dijawab dengan pasti meskipun semua orang pernah merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Dalam Stanford Encyclopedia disebutkan bahwa para filosofis mengaitkan definisi kebahagiaan kepada dua hal yaitu keadaan pikiran (state of mind) atau kehidupan yang berjalan baik menurut orang yang menjalaninya. Definisi kebahagiaan mungkin saja bisa dipersempit seperti ini, namun hal-hal yang bisa membuat bahagia berbeda-beda bagi setiap orang sebab setiap orang memiliki versi kebahagiaannya masing-masing. Ada yang bahagia karena hal-hal besar seperti harta berlimpah dan prestasi banyak, namun ada pula yang bahagia karena hal-hal kecil seperti mendapat paket melalui JNE.
Saya pribadi memiliki perjalanan cukup panjang mengenai kebahagiaan. Saya menghabiskan waktu bertahun-tahun bergulat dengan trauma, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan lingkungan, menyalahkan orang lain, dan menyakiti diri sendiri. Selama bertahun-tahun, saya sibuk berambisi besar, ingin mencapai ini-itu agar bisa bahagia.Â
Tapi nyatanya, semua itu hanya membuat saya semakin tenggelam dalam ketidak-bahagiaan. Ternyata, semakian banyak yang saya capai, saya malah semakin merasa tidak puas dan tidak berarti. Namun, perjalanan membawa saya melewati hal-hal yang membuat saya lebih menghargai hal-hal kecil di sekitar yang tanpa saya sadari menjadi bagian dari proses kesembuhan diri (self-healing).
Sejak kecil, saya suka menulis, sebuah hobby yang tidak pernah cukup saya hargai, tidak pernah menjadi bagian dari mimpi atau ambisi besar. Padahal, kegemaran ini mungkin adalah alasan terbesar mengapa saya bisa melewati masa-masa sulit. Kesedihan, kebahagiaan, pengalaman selalu saya tuangkan dalam tulisan, apapun bentuknya, entah itu cerpen, puisi, atau hanya sekedar curhatan. Mungkin karena menulis bagi saya terasa begitu alami, berjalan begitu saya, berkembang sejalan waktu. Belum begitu lama, saya baru menyadari bahwa menulis sudah menjadi bagian besar dalam hidup saya. Bahkan kini, menulis membuat saya bertahan, dari segi moril dan materiil selama masa pandemi, memasuki masa quarter life crisis.
Bagi saya pribadi, saya merasa bahagia saat bisa berbagi pemikiran dan pandangan secara bebas dan dewasa tanpa judgement. Dan menurut saya, menyampaikan pemikiran dan pandangan lewat tulisan adalah cara paling nyaman dan menyenangkan. Mengapa berbagi pandangan begitu penting bagi saya?Â
Pertama, setiap orang tentu memiliki pemikiran dan pandangannya masing-masing, entah itu pandangan dari hasil pemikiran panjangnya sendiri atau pandangan yang dipengaruhi oleh lingkungan atau gabungan keduanya. Sudah hal alami bagi manusia untuk menyuarakan pandangan itu.Â
Kedua, pemikiran itu adalah basis dari perilaku seseorang yang tentunya pada akhirnya mempengaruhi interaksinya dengan orang lain dan terbentuklah budaya tertentu dalam masyarakat. Dari sanalah muncul isu sosial. Isu sosial yang mungkin merenggut kebahagiaan orang banyak, seperti kekerasan seksual, perundungan, kekerasan terhadap anak, dll. Sebegitu pentingnya sebuah pandangan, bisa menentukan bahagia atau tidaknya sebuah masyarakat.
Contoh spesifiknya, pandangan orang terhadap perempuan tentunya mempengaruhi hidup perempuan, mulai dari bagaimana perempuan dibesarkan hingga bagaimana ia diperlakukan dalam masyarakat. Â Nantinya, hal ini akan berpengaruh pada kehidupan perempuan secara keseluruhan, termasuk dalam menggapai mimpinya. Jika masyarakat berpandangan bahwa perempuan tidak harus berpendidikan tinggi dan tidak boleh bekerja di luar rumah, maka kehidupan perempuan selamanya akan menjadi masyarakat kelas kedua (second class citizen) yang tidak setara dengan laki-laki.Â
Jika masyarakat berpandangan bahwa pelecehan seksual terjadi karena cara berpakaian perempuan dan bukan karena kejahatan pikiran pelaku, maka selamanya kekerasan seksual tidak akan selesai dari akarnya. Sebab, menyalahkan korban justru akan semakin membuat korban takut melapor dan para calon pelaku semakin berani.
Permasalahan di atas adalah masalah sosial besar yang harus diubah. Jalan panjang untuk mengubahnya adalah dengan mengubah pola pikir atau pandangan masyarakat. Sebagai perempuan, saya tentu ingin memberi kontribusi bagi pergerakan ini, sekecil apapun itu dengan kemampuan saya. Dalam hal ini dengan cara berbagai pandangan melalui tulisan. Oleh karena itu, tulisan saya banyak mengangkat isu perempuan dan kesetaraan gender.
Dalam pengalaman saya, menuliskan isu mengenai kesetaraan gender tidaklah selalu mudah. Seperti yang saya katakan di awal, setiap orang memiliki pemikirannya sendiri. Sayangnya, kita masih berada dalam masyarakat patriarki yang memandang rendah perempuan. Maka, tidak heran jika banyak tentangan terhadap ide-ide kesetaraan gender.Â
Salah satunya, ketika saya menuliskan mengenai kekerasan seksual dalam rumah tangga, dalam hal ini marital rape, saya mendapat beberapa komentar jahat dan merendahkan. Saya tentu merasa sedih saat membaca komentar-komentar tersebut. Namun, tidak membuat saya ciut dan berhenti. Justru, saya menulis lagi soal marital rape dan mendaftarkannya untuk mengikuti sebuah workshop bertema kebebasan sipil. Tulisan itu membuat saya lolos menjadi salah satu peserta.
Di dalam forum itu, saya tentu merasa bahagia bisa bertemu dan berdiskusi dengan orang-orang yang memiliki pandangan sama dengan saya. Bukan hanya itu, saya bertemu dengan orang-orang luar biasa yang telah berkontribusi langsung di lapangan untuk menuju masyarakat yang lebih manusiawi.Â
Dalam forum tersebut, setiap orang bisa dengan bebas berbagi pandangan dan dibalas dengan kedewasaan berpikir, baik jika itu persetujuan atau bukan. Saya bukan hanya banyak mendapat pengetahuan baru, namun juga belajar untuk lebih terbuka dan lebih sabar dalam memperjuangkan apa yang diyakini benar.
Saya yang sebenarnya lebih suka menulis dan menyendiri, akhirnya memutuskan untuk mengikuti forum-forum lainnya agar bisa berinteraksi dengan orang lain secara lisan. Salah satu forum yang sangat berkesan bagi saya adalah forum di mana perempuan saling berbagai pengalaman mereka saat memasuki masa pubertas. Pengalaman perempuan begitu beragam, mulai dari pengalaman soal menstruasi, kekerasan seksual, pengalaman body shaming, dan lain-lain. Saya merasa bahagia bisa saling menyantuni dalam forum seperti ini. Sesama perempuan bisa saling berbagai pengalaman pahit dan saling menguatkan.
Apa yang ingin saya sampaikan dari cerita di atas adalah bahwa kebahagiaan tidak hanya datang dari ambisi-ambisi besar. Kita juga tidak harus mengikuti kebahagiaan versi orang banyak, justru kitalah yang harus menentukan kebahagiaan kita sendiri, bahkan jika kebahagiaan itu dipandang remeh oleh orang lain.Â
Saya mendapatkan kebahagiaan dengan cara lebih mengenali diri sendiri dan mulai menghargai hal-hal yang selama ini saya anggap kecil. Saya mulai mencoba berkontribusi dalam hal-hal yang saya anggap penting. Kontribusi itu tidaklah besar, namun saya belajar bahwa kita bisa berkontribusi sebesar kemampuan kita, dengan cara kita sendiri. Saya sendiri berkontribusi cara berbagi pandangan, memberi masukan, dan menyantuni sesama, baik itu melalui tulisan ataupun secara langsung.
Bagi saya, bisa berkontribusi dengan cara yang saya disenangi adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Mendapat apresiasi untuk tulisan saya juga adalah sebuah kebahagiaan besar. Terlebih ketika ada yang mengatakan bahwa tulisan saya memberi manfaat bagi mereka. Itu adalah sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai.Â
Ada juga kebahagiaan bonus seperti ketika saya mendapat kiriman buku melalui JNE dari organisasi-organisasi yang pernah saya ikuti proyeknya. Kebahagiaan memang bisa datang dari mana saja dan dalam berbagai bentuk. Datangnya tidak harus dari ambisi besar, bentuknya pun tidak harus berupa materi. Untuk merasakan kebahagiaan, terkadang kita hanya perlu lebih membuka diri untuk melihat dan menghargai hal-hal di sekitar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H