Mohon tunggu...
Resty
Resty Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penikmat fiksi dan non-fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aborsi Itu Dosa Sosial

6 Februari 2020   18:53 Diperbarui: 11 Februari 2020   14:10 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.thedailybeast.com

Beberapa waktu yang lalu, warga kompleks saya dikejutkan oleh penemuan mayat bayi di pinggir jalan. Pembuangan mayat bayi saja sudah mengejutkan, ditambah lagi dua hal yang membuat pembicaraan warga makin riuh. Pertama, lokasi ditemukannya mayat bayi itu bukanlah tempat tersembunyi. Kedua, menurut kesaksian orang yang pertamakali menemukan mayat bayi tersebut, perkiraan waktu bayi itu dibuang adalah sore hari. Hal ini berarti resiko si Pembuang untuk terlihat sangat tinggi.

Saya sendiri tentu saja sangat kaget karena lokasi bayi ditemukan berada tepat di depan lorong kost saya. Oleh karena itu, saya yang biasanya tidak mau melihat langsung hal-hal seperti ini memutuskan untuk melihat lokasi. 

Apalagi, saya juga termasuk orang yang tertarik dengan masalah aborsi dalam kehidupan sosial bermasyarakat kita.

Hal menarik yang saya rasakan ketika berada di lokasi adalah reaksi warga melihat saya dan teman-teman kost saya. 

Ada seorang bapak-bapak dengan terang-terangan melihat kami dari atas sampai ke bawah, seolah mencurigai ada di antara kami yang baru saja melahirkan dan membuang bayi. N

amun ada yang lebih blak-blakan lagi, saya mendengar celetukan seorang bapak-bapak yang katanya ingin memeriksa semua kost-kostan terdekat.

Saya tidak tersinggung sama sekali dan malah tertawa kecil bersama teman-teman kost saya. Saya paham bahwa mayoritas masyarakat memang memiliki pemikiran begitu ketika ada bayi yang dibuang, entah bayi utuh atau bayi yang belum utuh. 

Mereka akan langsung berpikir bahwa pelakunya adalah remaja atau mahasiswa. Tidak heran juga sebab data menunjukan bahwa angka aborsi di kalangan remaja memang tinggi.

Namun mari tidak membahas angka aborsi lebih jauh. Saya lebih tertarik berbicara soal bagaimana masyarakat langsung "mencuci tangan" dan berlaku seperti orang paling benar saat ada kejadian seperti ini. 

Sepertinya ada kelegaan semu seperti "setidaknya saya tidak sejahat ibu yang membuang bayinya." 

Maka dari itu saya merasa kejadian-kejadian sseperti ini adalah ajang "mendosakan" orang lain dan "mensucikan" diri sendiri. Seolah mereka tak turut andil dalam pedihnya kasus aborsi dan pembuangan janin di mana-mana.

Saya meyakini bahwa salah satu alasan mengapa seks bebas dan aborsi begitu marak adalah kurangnya edukasi seks. Edukasi seks dianggap tabu, porno, dan tidak signifikan. 

Padahal, jika saja edukasi seks menjadi salah satu hal yang dipandang penting, maka permasalahan-permalahan seperti seks bebas, aborsi illegal, pernikahan dini, dan lain-lain bisa berkurang. 

Maka, para orang dewasa yang meliputi orang tua, guru, dan para pengambil kebijakan memiliki utang kepada pada anak muda yang tidak pernah mengecap pendidikan seks. Singkatnya, mereka turut ambil bagian dalam "dosa" ini.

Mari menilik sedikit tentang keadaan pendidikan seks di Indonesia, dimulai dari pembelajaran yang didapatkan di sekolah. Secara umum, satu-satunya pendidikan seks yang didapatkan di sekolah hanyalah sistem reproduksi. Pembelajaran ini sudah dapat dipastikan ada dalam berbagai buku teks pembelajaran. 

Sayangnya, dari pengalaman saya, guru tidak begitu terbuka mengajarkan hal ini. Para siswa juga malah tertawa cekikikan ketika melihat gamabr-gambar organ reproduksi. Mungkin karena budaya yang terlanjur membangun pemikiran bahwa pembicaraan terkait seks itu tabu.

Lagipula, pembelajaran tentang oragan reproduksi di sekolah hanyalah sebagian dari pendidikan seks. Pendidikan seks harusnya diajarkan betahap sesuai umur dan juga menyeluruh. 

Mereka yang tidak masuk ilmu eksakta akan melewatkan beberapa pembelajaran terkait sistem reproduksi di sekolah. 

Terlebih lagi, seharusnya pendidikan seks dikaitkan dengan permasalahan sosial. Hal ini karena permasalahan aborsi lahir dari dan juga melahirkan permasalahan sosial sosial. Sementara pembelajaran sistem reproduksi yang didapat di sekolah sangatlah eksakta.

Bersyukurlah jika ada orang tua yang melek terhadap pendidikan seks dan mengajarkannya pada anak-anak mereka. Namun, dalam tingkat pendidikan Indonesia yang seperti ini, berapa banyak orang tua yang paham pendidikan seks dan tahu cara mengajarkannya pada anak-anak? 

Mari tanya pada diri sendiri, apakah kita mendapat pendidikan seks dari orang tua? Kebanyakan mungkin akan menjawab tidak.

Maka dari sinilah pemerintah seharusnya masuk. Ketika budaya tidak mendukung hadirnya pendidikan seks, maka pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan agar pendidikan seks menjadi hal wajib di sekolah-sekolah. 

Mungkin secara perlahan budaya itu akan berubah. Mereka yang belajar dari sekolah akan jadi orang tua suatu saat dan mengajarkannya pada anak-anak. Idealnya, revolusi bisa terjadi.

Sayangnya, mungkin isu-isu seperti seks bebas yang berpotensi menimbulkan Penyakit Menular Seksual, aborsi, pernikahan dini, dan lain-lain mungkin dianggap kurang seksi untuk menjadi jualan politik. Maka kita belum melihat ada gebrakan apapun dari kalangan pemerintah.

Padahal sangat penting agar para remaja diberikan pemahaman tentang konsekuensi dari perilaku seks bebas terhadap tubuh, mental, dan masa depannya. Dengan begini, remaja akan lebih siap menghadapi lingkungan yang mungkin menjerumuskan. 

Jika saja orang tua dan masyarakat terbuka dan merangkul dalam pembicaraan tentang seks, maka ketika pun ada yang sudah terlanjur terjerumus, maka mungkin tidak harus ada mayat bayi yang terbuang ke tempat sampah dan psikis ibu yang mungkin trauma berat.

Maka ketika ada aborsi karena kehamilan yang tidak diinginkan, orang-orang tidak akan langsung dengan entengnya menunjuk perempuan, si Pelaku. Mereka lupa bahwa saat menunjuk, tiga jari lainnya mengarah ke diri sendiri. 

Ya, tingginya kasus aborsi, pembuangan bayi di tempat sampah bukanlah dosa pribadi, itu dosa sosial, yang entah luput dari mata atau memang sengaja tidak mau diakui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun