Karma adalah hukum universal. Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai. Tapi saya ingin mengajak pembaca untuk lebih jauh melihat karma. Karma yang bukan sekadar berkisar pada bagaimana kita mendapat nasib buruk karena pernah berbuat buruk pada orang lain.Â
Tapi karma yang muncul karena perilaku masyarakat umum, dari sistem sosial-budaya yang kita bangun dari generasi ke generasi.Â
Konstruksi yang tanpa sadar telah membuat banyak orang menderita, termasuk keluarga, teman dekat, atau bahkan diri sendiri. Kontruksi yang kita pikir benar, tapi mungkin kita melewati dampak buruknya.
Ini cerita soal efek samping konstruksi sosial kita. Cerita yang disaksikan olehku yang masih mudah dan diperankan oleh seorang teman baik yang tak lagi bersamaku di dunia ini.
***
Usiaku lima belas tahun ketika berpikir untuk meninggalkan keluarga dan kampung menuju Ibu Kota. Kupikir begitulah pikiran anak remaja, tinggalkan yang membuatmu sakit atau mungkin lebih tepat jika disebut lari dari masalah.
Toh apa yang bisa dilakukan perempuan 15 tahun untuk menyelesaikan masalah yang menyangkut keutuhan keluarga. Mengurus konflik dalam diri saja tidak mampu.
Di sekolah baru, saya bertemu Reni. Dia nampak penyendiri dan murung. Seperti gambaran orang yang menyimpan luka besarnya sendirian. Melihatnya seperti melihat jeritan terdalam dalam diriku yang tak mampu kuteriakkan.
Satu cerita terangkai dengan cerita lain, kami menjadi dekat. Kupikir dia seseorang yang sama persisi sepertiku. Tapi tidak juga. Dia punya seorang pacar, lebih tepatnya seorang mantan pacar yang masih dekat. Sesuatu yang bahkan dalam seribu tahun kemudian tak akan kulakukan.
Laki-laki itu adalah pacar pertamanya. Mulai berpacaran saat SMP lalu putus saat masuk SMA karena laki-laki itu selingkuh. Membuatku bertanya-tanya, mengapa Reni masih saja mau dekat dengan laki-laki itu.
Aku tahu jawabannya kemudian. Jawaban yang saat itu tidak kupahami sedalam sekarang. Dia bilang dia memberikan keperawannya pada laki-laki itu. Dia menyesal. Sangat menyesal. Tapi dia merasa tidak akan ada laki-laki lain yang mau menerimanya kelak. Karena itu, ia bertahan bersama mantan pacarnya karena ia yakin suatu saat saat laki-laki itu sudah puas ke sana ke mari, ia akan kembali padanya.
Jika kudengar lebih jauh alasan di balik keputusannya untuk masih bersama seseorang yang jelas ia sesali, sering membuatnya menangis, dan juga memanfaatkannya untuk uang, mungkin aku bisa sedikit paham.
Reni berasal dari keluarga sangat terhormat. Kedua orang tuanya adalah guru dan kakaknya adalah kebanggaan kampus, mahasiswa berprestasi. Jika orang tuanya tahu ia melanggar norma, melakukan seks di luar nikah dan di bawah umur pula, ia bahkan tidak berani membayangkan reaksi mereka.
Setiap ia menangis, aku selalu bilang padanya. Pasti suatu saat ia akan mendapatkan laki-laki yang mau menerimanya. Aku mengatakan hal yang sama selama tiga tahun padanya.Â
Sekarang saat aku sudah lebih paham akar permasalahan, aku berharap bisa memutar waktu dan memberikannya jawaban lain, jawaban yang lebih memberdayakan.Â
Sebab mungkin dengan begitu, Reni masih akan ada di dunia ini, menjadi sahabat terbaik, satu-satunya tempatku berbagi rahasia terdalam. Tapi pemikirannya membuatnya sakit. Sangat sakit. Bukan hanya batin tapi juga fisik. Ia depresi dan jatuh sakit. Pada akhirnya, ia tak mampu bertahan lagi. Pada akhirnya, ia meninggalkan semua orang yang peduli padanya. Untuk selamanya.
***
Kepergian Reni adalah pukulan telak bagiku. Ia satu-satunya teman yang sering berbagi cerita denganku. Berbagi cerita terdalam tanpa takut ia akan menghakimi. Ia membuatku lebih kuat. Dan hal yang paling kusesali ialah aku tak mampu membuatnya kuat sama seperti ia membuatku kuat.
Dunia kuliah banyak mengubah pandanganku. Jurusan Ilmu Hubungan Internasional mengenalkanku pada banyak perspektif, baik dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Namun yang paling mengubah pandanganku mungkin studi gender. Kupikir yang paling menarikku ke studi gender adalah kepedulianku pada tingginya angka kekerasan seksual, terutama kepada perempuan dan anak-anak.
Kupikir, akar permasalahan dalam tingginya kasus kekerasan seksual adalah pandangan masyarakat terhadap tubuh perempuan. Dari kekerasan seksual aku bertemu dengan konsep body autonomy. Body autonomy bagiku bukan terbatas pada masalah aborsi dan euthanasia.Â
Lebih jauh, body autonomy menurutku adalah persoalan paling dasar tentang bagaimana perempuan masih mengalami kekangan terkait tubuhnya sendiri, misalnya kekangan tentang cara berpakaian.
Hal ini kemudian terkait dengan victim blaming dalam kasus perkosaan dan pelecehan seksual. Korban dianggap sebagai pendosa utama karena mengundang nafsu dari pelaku. Seolah pelaku berhak dan merupakan suatu kewajaran jika ia melakukan pelecehan pada perempuan yang berpakaian terbuka. Padahal standar tentang pakaian sopan saja sudah sangat variatif.
Kekangan lain adalah masalah perawan atau tidak perawan. Harga diri seorang perempuan sepertinya begitu tergantung pada keperawanannya. Saya tidak ingin langsung melompat untuk mengatakan hal ini tidak baik.Â
Sebab jika saya mencoba menelusuri hal yang mungkin menjadi sejarah terbentuknya konstruksi seperti ini, saya sedikit-banyak dapat memahami kebaikan di baliknya. Kita hidup di tengah masyarakat kita yang menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang sakral. Suatu hal yang baik sebab keluarga adalah komitmen besar.Â
Efek sampinya adalah, keperawanan menjadi hal yang sangat penting, simbol bahwa seks tidak boleh dilakukan di luar pernikahan. Atau mungkin dalam perkembangannya, konsep keperawanan ditujukan untuk menjaga kita agar tidak melakukan seks bebas. Mungkin.
Hal ini telah dibangun dalam masyarakat kita dari generasi ke generasi. Namun, bagaimana dengan mereka yang kehilangan keperawanan bukan karena melakukan seks di luar nikah? Bagaimana dengan korban perkosaan? Bagaimana dengan mereka yang kehilangan keperawanan bukan karena melakukan seks tapi mengalami kecelakaan?
Hal yang paling penting yang ingin saya pertanyakan adalah bagaimana dengan mereka yang seperti Reni? Mereka yang masih mudah dan tidak paham akan konsekuensi dari perilakunya? Apakah Reni termasuk perempuan tidak baik-baik? Karena dari penilaianku, dia adalah orang paling baik yang pernah kutemui. Apakah Reni tiba-tiba tidak memiliki harga diri karena kehilangan keperawanannya?
Hal yang lebih ingin saya soroti dari kasus Reni, terlepas dari posisinya sebagai teman saya adalah bahwa dia melakukan seks di usia begitu mudah. Ia bahkan tidak paham apa konsekuensi tindakan itu terhadap kesehatan fisik dan psikologisnya.Â
Lalu mengapa kita menyoroti konsep abstrak seperti keperawanan sementara ada masalah lain yang semestinya menjadi fokus? Masalah bahwa ia tidak mendapatkan edukasi seks.Â
Ia seumur hidupnya tumbuh dengan pemikiran untuk mejaga keperawanan, tapi tidak tahu soal seks sama sekali. Lalu ketika kecerobohan masa remaja menghampirinya, hal yang tertinggal setelahnya hanyalah ketakutan bahwa ia tak perawan lagi.
Bahwa tidak akan ada kebahagian lain untuknya. Bahwa ia tak berharga. Tak ada ketakutan soal kesehatannya. Tak ada ketakutan soal apa yang diharapkan masyarakat bahwa ia akan menyesali dosanya karena telah melanggar moral.
Bagaimana seharusnya kita menempatkan kisah-kisah seperti ini di dalam pandangan yang akan membangun konstruksi sosial kita ke depannya? Mungkin kita bisa memulai dengan berhenti memandang seks sebagai hal yang tabu dan mulai memberikan edukasi kepada anak-anak soal itu.
Tapi ini hanyalah satu sudut cerita, di luar sana ada banyak cerita soal efek samping. Cerita-cerita yang mungkin bisa membuat kita benar-benar mau mulai memikirkan soal apa yang harus diubah dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk soal cara kita memandang permasalahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H