Mohon tunggu...
Wardhani Restu
Wardhani Restu Mohon Tunggu... Penulis - Creative Writing

Alam Terkembang Djadi Guru 🌻

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Salam Damai dari JNE: Kado Manis untuk "Meisje" Dulce Hanis

31 Desember 2020   21:49 Diperbarui: 31 Desember 2020   22:00 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanis sesaat setelah membuka kado bingkisan (Sumber Foto Dokumentasi Pribadi )

              

Kemanusiaan itu satu dan itu Ragam Bentuknya;

"Kemanusian itu satu , kendati berbeda bangsa ,asal usul ,dan ragamnya. Berlainan bahasa dan adat istiadatnya ,kemajuan dan cara hidupnya. Semua merupakan sebuah keluarga besar."

Kiranya begitulah yang Romo Soegija pernah katakan. Bukan tanpa sebab beliau mengatakan demikian . Romo yang juga seorang pejuang kemerdekaan telah mencontohkan bagaimana caranya menumbuhkan nilai cinta kasih dan toleransi untuk kita teladani di masa kini.

Ingatanku berkelindan jauh menerawang kembali ke masa kecil . Dahulu aku pernah mengikuti lomba mewarnai dan melukis tingkat kecamatan bersama anak-anak sepantaranku di  sebuah unit sekolah milik Yayasan Seraphine Bakti Utama. Aku yang waktu itu masih di usia taman kanak-kanak sedikit kebingungan mencerna suasana tempat perlombaan yang dihadiri 'teman-temanku'  dengan penampilan  berbeda dariku yang berjilbab. Seolah mengerti kegelisahanku , almarhum Mamakku yang kala itu ikut mendampingi kemudian memberikan wejangan bahwa kita semua yang sedang berlomba  disini tidaklah berbeda . Tidak perduli darimana kamu berasal yang diperlukan dalam lomba hari itu adalah belajar bersama.

Dulce Maria (Sumber: tribunnews.com)
Dulce Maria (Sumber: tribunnews.com)

"Mereka memiliki tempat ibadah yang gambarnya nempel di kamar . Mba Etu masih ingat kan ? Mirip sekolah Dulce ya ?" begitu kira-kira yang kuingat dari penjelasan Mamak dalam bahasa Jawa. Apalagi saat terdengar nama Dulce , tokoh dalam cerita telenovela terkenal pada dekade 2003-an yang sangat kunanti acaranya setiap pulang sekolah .Mataku berbinar mengingat penggalan memori itu .  Pengalaman dan nilai toleransi yang diperkenalkan saat kecil itulah yang kemudian  membantuku tidak lagi canggung  pada saudara Simbah Kung yang memasang lukisan dewa-dewi dirumahnya yang kutemui manakala setiap silahturahmi Idul Fitri.

Ilustrasi Toleransi lewat IBNTimes.id
Ilustrasi Toleransi lewat IBNTimes.id

Setelah aku kemudian merantau jauh  ke Kota Yogyakarta untuk berkuliah ,saat itulah aku belajar lebih jauh mengenai apa arti "menghargai" dan "menjunjung tinggi toleransi". Aku  harus belajar beradaptasi dan juga berteman dengan banyak sekali kawan dari beragam latar belakang.  Salah satu dari sekian kawan adalah Kabut , Desi ,dan Hanis.

Kami berempat kemudian terlibat praktik lapangan bersama di sebuah dusun di kaki Gunung Merapi ,awal tahun lalu . Kami berteman dan saling berbagi tak jarang juga  bertukar argument. Tidak ada batas atau sekat yang sengaja terpasang apalagi dibuat-buat meski aku dan Kabut adalah seorang Muslim , sedangkan Desi adalah seorang penganut Hindu. Hanis sendiri seorang Katolik. Prinsip kami  selaras yaitu ; toleransi .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun