Oleh : Restu Putri Astuti
Aktivitas pembangunan yang tidak terkendali menyebabkan degradasi lingkungan berjalan pesat. Kita menyadari bahwa perilaku kita yang acuh dalam memanfaatkan sumberdaya terutama air, semakin memperparah kualitas perairan. Kualitas perairan semakin tercemar akibat konversi lahan hutan menjadi pemukiman, daerah industri dan lahan perkebunan serta aktivitas pembangunan lainnya. Perikanan sebagai salah satu sektor yang sangat bergantung pada kualitas perairan. Semakin baik kualitas perairan tersebut tentu berpotensi menghasilkan sumberdaya perikanan yang optimal dan begitu pula sebaliknya. Hendrawan (2005)menyebutkanbahwa menurunnya daya guna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumberdaya air karena menurunnya kualitas air sehingga menyebabkan penurunan kekayaan sumberdaya alam.
Selama ini Indonesia masih mengandalkan pengukuran kualitas perairan secara fisika dan kimia. Padahal di negara maju telah menggunakan metode biologis dalambentuk indeks sebagai penentu kualitas air. Dari sekitar 100 sistem indeks, 60% diantaranya adalah indeks biotik, 30% indeks keragaman, dan 10% indeks saprobik (De Pauwet al.,1992dalamTrihadiningrum & Tjondronegoro, 1998). Salah satu metoda adalah Biological Monitoring Working Party-Average Score Per Taxon (BMWP-ASPT) yang dikembangkan di Inggris (Armitage dkk., 1983 lihat Trihadiningrum & Tjondronegoro, 1998). Sistem tersebut mengelompokkan atau membagi biota bentik menjadi 10 tingkatan berdasarkan kemampuannya dalam merespon cemaran di habitatnya. Hal inilah yang masih kurang familiar diaplikasikan oleh para pelaku perikanan di Indonesia.
Metode biologis sebagai penentu kualitas air dilakukan dengan menganalisis biota air. Biota air merupakan kelompok organisme baik hewan maupun tumbuhan yang sebagian besar ataupun seluruh hidupnya berada di perairan. Biota tersebut dapat berupa bentos, plankton, atau nekton yang dapat memberikan informasi keadaan perairan tersebut dalam indikator baik atau tidak Karena tiap biota air memiliki sifat hidup yang berbeda beda dan sesuai dengan kondisi lingkungan perairan yang dibutuhkan. Hal inilah yang menjadikan biota air dapat dijadikan indikator kualitas perairan. Sebagian besar biota air yang dapat menjadi indikator kualitas perairan dari golongan avertebrata (hewan tidak bertulang belakang). Golongan avertebrata termasuk hewan yang hidup menetap lama di lingkungan perairan, mudah diidentifikasi karena berukuran makroskopik dan lebih efektif serta efisien dibandingkan penggunaan pengukuran kualitas air secara fisika dan kimia.
Berikut adalah tabel Makroinvertebrata indikator untuk menilai kualitas air (Trihadiningrum, Y. & I. Tjondronegoro, 1998)
Tingkat Cemaran
Makroozoobentos* indikator
1. Tidak tercemar
Trichoptera (Sericosmatidae, Lepidosmatidae, Glossosomatidae); Planaria
2. Tercemar ringan
Plecoptera (Perlidae, Peleodidae); Ephemeroptera
(Leptophlebiidae, Pseudocloeon, Ecdyonuridae, Caebidae); Trichoptera (Hydropschydae, Psychomyidae); Odonanta (Gomphidae, Plarycnematidae, Agriidae, Aeshnidae); Coleoptera (Elminthidae)
3. Tercemar sedang
Mollusca (Pulmonata,Bivalvia); Crustacea (Gammaridae);
Odonanta (Libellulidae, Cordulidae)
4. Tercemar
Hirudinea (Glossiphonidae, Hirudidae); Hemiptera