Sungai merupakan salah satu aset yang berharga bagi umat manusia, khususnya generasi di masa depan. Pengelolaan sumber daya air (sungai dan setu) dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan wilayah Sungai (Pasal 4 Permen PUPR No.4 Tahun 2015). Wilayah sungai terbagi menjadi lima, yaitu wilayah sungai lintas negara, lintas provinsi, strategis nasional, lintas kabupaten/kota dan dalam satu kabupaten/kota. Pada tahun 2022, Kota Depok memiliki 15 sungai dan 25 setu, di mana Pemkot Depok, Pemda Jawa Barat maupun Kementerian PUPR memiliki andil yang besar terhadap pengelolaan Sungai dan setu di Kota Depok.
Gambar 1. Setu 7 Muara, Kecamatan Bojongsari dan Sawangan, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat.
Setu dan sungai di Kota Depok menghadapi berbagai permasalahan, diantaranya kontaminasi limbah, berkurangnya luasan sungai/setu, pendangkalan sungai/setu dan hilangnya setu. Â Fauzi (2022) menyatakan bahwa 90 % dari sungai dan setu di Kota Depok dipenuhi sampah. Fauzi (2022) mengungkapkan bahwa aliran sungai yang tertimbun sampah plastik, kaca, karet, kaleng, dan sampah rumah tangga di Kota Depok adalah sungai Ciliwung, Cisadane, Caringin, Kali Baru, Pesanggarahan, Angke, Sugutamu, Cipinang, Cijantung, Krukut, Cabang Barat dan Cabang Timur. Fauzi (2022) menambahkan bahwa setu yang tertutup timbunan sampah plastik, kaca, karet, kaleng, dan sampah rumah tangga adalah setu Jatijajar, Rawa Kalong, Cilodong, Rawa Besar, Pengarengan, Jemblung, Bojongsari, Citayam, Gadog, Jatijajar, Patinggi, Pengasinan, Pitara, dan Pladen.
Gambar 2. Hilangnya Setu Kancil yang diuruk menjadi perumahan.
Kota Depok awalnya memiliki 40 setu, kemudian 13 setu hilang atau beralihfungsi menjadi perumahan. Salah satu setu yang baru hilang adalah Setu Kancil di Kecamatan Bojongsari. Setu Rawa Besar yang berada di pusat Kota Depok awalnya memiliki luas 25 ha pada tahun 1990-an dan kini hanya tersisa seluas 12,5 ha. Alihfungsi lahan setu menjadi perumahan memang menjadi sumber pendapatan daedah berupa pajak dan retribusi bagi pemerintah, maupun sumber pendapatan bagi investor ataupun developer perumahan. Namun, setu dan sungai sejatinya memiliki jasa lingkungan (ecosystem services) yang kalau divaluasi pasti lebih besar dari pendapatan yang diterima oleh pemerintah maupun investor/developer. Kurangnya pengawasan dan penertiban dari BBWSSCC, Pemda Jawa Barat dan Pemkot Depok selaku lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam pengelolaan sumber daya air (Pasal 5 Permen PUPR No.4 Tahun 2015), merupakan faktor terbesar yang menyebabkan hilangnya dan berkurangnya luasan setu. Namun sepertinya lembaga-lembaga tersebut tidak mau dianggap sebagai penyebab hilangnya dan berkurangnya luasan setu di Kota Depok. Begitu juga halnya terkait berkurangnya luasan sungai di Kota Depok.
Berkurangnya jumlah setu dan luasan setu Di Kota Depok juga diikuti dengan berkurangnya kualitas air setu akibat akumulasi limbah, sehingga menjadi isu yang perlu dipikirkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta lembaga pemerintahan vertikal dibawahnya. Berkurangnya jumlah setu dan luasan setu maupun berkurangnya luasan sungai erat kaitannya dengan rencana tata ruang dan wilayah. Disinilah warga berperan sebagai social control terhadap dinamika rencana tata ruang dan wilayah.
Umumnya warga di beberapa wilayah sungai dan setu di Kota Depok telah bergerak untuk menjaga luasan dan membersihkan sungai dan setu. Ditambah lagi dengan adanya komunitas maupun lembaga akar rumput lainnya yang memiliki kegiatan konkret terkait pengelolaan sungai dan setu.
Memang warga sekitar setu dan sungai juga berperan penting dalam penjagaan luasan setu dan sungai sebagai partisipan lingkungan, namun secara konstitusional pemerintah adalah pemimpinnya. Untuk apa ada pemerintah dan struktur organisasi pemerintah, kalau bukan untuk mengatur dan memberdayakan warganya dalam konsep republik, trias politica, demokrasi, dan kedaulatan rakyat? Apakah konsep-konsep tersebut sudah tidak efektif dan efisien dalam konteks pengelolaan sumber daya air sungai dan setu?
Pemahaman konsep hulu, tengah dan hilir sungai serta konsep kerjasama antar daerah seharusnya dipahami oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang memiliki sungai dan setu. Hal ini penting karena sering terjadi fenomena wilayah "hilir" menyalahkan wilayah "hulu" maupun sebaliknya. Padahal seharusnya "hulu" dan "hilir" saling memikirkan kontribusinya masing-masing terkait pengelolaan sungai dan setu. Banjir sebagai masalah pengelolaan sumber daya air seharusnya dapat dijawab dengan kerjasama antar daerah. Banjir seharusnya dapat diatasi apabila pemerintah "hulu" dan "hilir" bekerjasama secara serius membenahi sungai dan setu bersama dengan pemerintah pusat. Masalah-masalah lain terkait belum termanfaatkannya setu sebagai objek ekonomi kerakyatan dan ekowisata (umumnya dijawab klise oleh pemerintah terkait yaitu kurangnya 3A: Aksesibilitas, Amenitas dan Atraksi) juga dapat diatasi dengan adanya keseriusan lembaga pemerintah di pusat maupun di daerah. Keseriusan umumnya muncul ketika ada kemauan dan sejauh ini sepertinya pemerintah terkait "terlihat" tidak mau.
Daftar Pustaka
Fauzi M. 2022. Kondisi 15 Sungai dan 25 Situ di Kota Depok 90% Tertimbun Sampah Warga9 [internet] [diakses pada 16 September 2024]: https://mediaindonesia.com/megapolitan/523432/kondisi-15-sungai-dan-25-situ-di-kota-depok-90-tertimbun-sampah-warga
Peraturan Menteri PUPR No.4 Tahun 2015 tentang kriteria dan penetapan wilayah Sungai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H