Mohon tunggu...
Kun Prastowo
Kun Prastowo Mohon Tunggu... lainnya -

I Love INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Babad Kademangan Jebres (1)

9 September 2014   07:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:14 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14101974641806353061

[caption id="attachment_341739" align="aligncenter" width="544" caption="Cover Buku Babad Kademangan Jebres"][/caption]

RANGKAIAN SEJARAH KRATON SURAKARTA

Di pagi buta, kapal-kapal pelabuhan Beton telah menumpahkan barang-barang kebutuhan Sinuhun Paku Buwono II dari kerajaan Kartasura.

Ki Bau Soroh, abdi dalem kraton yang ditugaskan khusus untuk mengurusinya, membawanya ke kraton tanpa kekurangan apapun. Betapa senang Kanjeng Sinuhun atas pengabdian Bau Soroh, hingga akhirnya jabatannya dinaikkan sebagai kepala pelabuhan sekaligus lurah desa. Wilayah desanya meliputi pinggir sungai Bengawan. Saat itu masih berupa rawa-rawa.

Namun Ki Soroh tak putus asa. Rakyatnya digerakkan untuk membangun desa dengan pelabuhan Beton di pinggir sungai Bengawan sebagai titik pusat pasar persinggahan perdagangan. Maka kapal-kapal dari Madura, Gresik, Kalimantan, China, Belanda dan sebagainya, hilir mudik di pelabuhan Beton.

Tidaklah heran jika dengan cepat desa rawa-rawa ini dipenuhi membaurnya beberapa ras manusia yang berbeda.

Logat bicaranya juga beraneka. Banyak juga pendatang yang sulit mengucap huruf R. Padahal mereka sering berhubungan dengan Ki Bau Soroh. Namun lidah mereka selalu kelu untuk bicara huruf R dan akhiran H, maka nama Ki Soroh hanya bisa diucapkan dengan nama Ki Sala (diucapkan Saulau, a nya seperti ucapan au dalam kata beliau).

Akibat Bahasa Melayu tak kenal huruf au, maka agar tidak salah ucap menjadi Sala (huruf a seperti kala).

Nama Ki Soroh pun akhirnya berganti dengan sendirinya menjadi Ki Sala. Ki Lurah Sala ini adalah pribadi yang sangat sakti mandraguna, maka namanya menjadi Ki Gedhe Sala. Desanya juga dinamai desa Sala. Kian ramainya pelabuhan Beton membuat desa Sala kian makmur.

Sampai suatu saat, Ki Gedhe Sala menerima tamu penting utusan Ingkang Sinuhun dari kerajaan Kartasura. Para utusan itu adalah Panembahan Wijil, Suranata, Khalifah Buyut, Pangulu Fakih Ibrahim dan Pujangga Raden Tumenggung Tirtawiguna. Mereka mengemukakan bahwa atas dasar wisik ketika bertapa, desa Sala ditakdirkan Tuhan untuk menjadi kota pusat kerajaan.

Memang ketika itu Sinuhun Paku Buwono II  telah kembali dari pelarian di Ponorogo (1742), bahkan kota reog ini mendapat julukan Kartasura Wetan. Ia sangat sedih melihat kehancuran bangunan istananya di Kartasura. Istana ditinggal dan Sinuhun mengungsi karena adanya pemberontakan Mas Garendi (Sunan Kuning) yang dibantu RM Said atau Pangeran Sambernyawa.

Mas Garendi dapat menguasai Kartasura pada 30 Juni 1742. Alasan penguasaan adalah karena Sinuhun Paku Buwono II bekerjasama dengan Belanda. Di saat yang sama, Geger Pacinan di Batavia menentang Belanda meluas hingga ke keraton Kartasura.

Hancurlah bangunan kraton Kartasura dan tidak layak lagi sebagai istana pusat kerajaan. Pada akhirnya Sinuwun dapat kembali ke kraton setelah para pemberontak ditaklukkan Kompeni Belanda. Melihat istananya rusak, Sinuhun bermaksud memindahkan bangunan istananya ke desa Sala.

Mendengar perintah raja bahwa wilayahnya akan dibangun istana, Ki Gedhe Sala tentu tidak keberatan. Namun dia mengingatkan bahwa di desa Sala terdapat sebuah makam bernama Kyai Bathang.

Nama Kyai Bathang yang sebenarnya adalah Raden Pabelan, putera Tumenggung Mayang. Ia dibunuh di dalam istana, sebab ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton di jaman Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir, Raja Pajang. Setelah dibunuh, mayat Raden Pabelan dihanyutkan di sungai Laweyan, lalu terdampar dan nyangkrah atau menyangkut di pinggir kali Pepe dalam wilayah desa Sala.

Cerita itu tidak menghalangi Sinuwun untuk memindahkan keratonnya dari Kartasura ke desa Sala. Berita di tentang adanya dua makam ayah dan kakek Ki Gedhe Sala, tak digubris. Apalagi 3 orang utusan raja yakni Ki Tohjaya, Ki Yasadipura I dan Raden Tumenggung Padmagara, menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu (air kehidupan, sumber mata air) di desa ini. Sinuhun kian bersemangat sehingga memerintahkan pembangunan istana dimulai.

Maka para abdi dalem mulai menimbuni daerah rawa-rawa ini dengan balok-balok kayu.

Herannya, sekian ribu kubik balok kayu ditimbun, itupun tidak bisa menyumbat mata air rawa tadi, bahkan airnya semakin deras menyerupai Grojogan Sewu. Ajaibnya, berbagai jenis ikan laut seperti teri pethek dan lainnya bermunculan dari sumber air rawa. Selain itu tumbuhan lumbu dengan cepat tumbuh menghutan di desa Sala. Para punggawa keraton panik tak alang kepalang. Saat itu masuk pada tahun 1743.

Para pujangga akhirnya bertapa tujuh hari tanpa makan, minum dan tidur. Di malam Anggara Kasih Selasa Kliwon, Pujangga Yasadipura mendengar wisik yang berbunyi, “Kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora bisa pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira ngudi pampete, kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong lumbu, lawan sirah tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang teleng. Ananging ing tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan kena pinampet ing salawas-lawase.”

Sinuwun mengartikan wisik itu bahwa beliau harus membayar ganti rugi kepada Ki Gedhe Sala sebesar sepuluh ribu ringgit dan uang itu akhirnya dibayarkan. Selanjutnya Ki Gedhe Sala berbesar hati untuk menerima ganti rugi dan langsung membaginya kepada rakyat desa Sala.

Para punggawa seolah melihat bahwa Ki Gedhe Sala bertapa di makam Kyai Bathang. Keluar dari bertapa, Ki Gedhe Sala membawa “Sekar Delima Seta” dan daun lumbu (sejenis talas). Dengan upacara ritual, kedua barang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sumber mata air Tirta Amerta Kamandanu. Herannya, sumber airpun bisa disumbat dan berhenti mengalir. Tentu bisa dimaklumi karena Ki Gedhe Sala adalah orang yang mempunyai ilmu bathin yang tinggi.

Padahal pada kenyataannya, kesulitan menutup rawa-rawa itu sebenarnya adalah akibat semacam rekayasa rakyat desa Sala. Mereka merasa terusir, namun Sinuwun hanya memberi ganti rugi berupa gelondongan kayu untuk membangun rumah di lahan pengganti. Lalu dari mana mendapat uang untuk membeli uba rampe yang lain?

Maka ramai-ramai rakyat desa Sala tidak setuju. Rasa tidak setuju itu terungkap pada tahun 1743, dan mungkin itu merupakan protes pertama di tanah Jawa. Cara protesnya dilampiaskan dengan membuka sumber-sumber air dan melemparkan ikan laut yang masih hidup di rawa itu.

Rakyat meminta makam Pangeran Pabelan dan ayahanda Ki Gedhe Sala tidak diusik, tetapi harus dirawat dan dilestarikan. Ki Gedhe Sala akhirnya menang dalam pertikaian melawan Sinuhun. Namun meski kalah, Sinuhun bisa membangun kratonnya di desa Sala.

Rakyat kerajaan dikerahkan membangun istana. Permulaan pembangunan ditandai dengan sengkalan Jalma Sapta Amayang Buwana atau tahun 1744. Rawanya diurug balok kayu dan tanahnya yang wangi diambil dari daerah Talangwangi, Kadipala dan Sanasewu.

Gelapnya malam di istana Kartasura kian membuat hati Sinuhun Paku Buwono II sangat gundah. Perselisihan dengan para kerabat tak pernah berhenti, harta benda terus berkurang, kratonnya pun rusak parah dihancurkan musuh. Dalam keheningan, Sinuwun berharap Tuhan segera memberikan karunia agar kraton baru yang sedang dibangun di desa Sala segera rampung.

Doa Sinuhun dikabulkan. Dengan tergopoh-gopoh, abdi dalem Raden Tumenggung Tirtawiguna telah mendapatkan berbagai persyaratan untuk perpindahan istana baru, istilahnya slup-slupan. Perintah mengadakan upacara secara besar-besaran dikelola dengan teliti.

Para pemuka agama melakukan pengajian selama beberapa malam sebelum hari yang telah ditentukan. Bunga-bunga harum dipetik dari pelosok wilayah. Juru masak membuat sesaji dan seribu tumpeng lengkap dengan daging hewan berkaki empat. Ikan air tawar, ikan laut dan berbagai jenis unggas tak ketinggalan, termasuk palawija, buah-buahan dan jajanan pasar.

Setelah semua persiapan dilengkapi, Sinuhun dengan segala harta benda dan para abdi dalemnya, pindah dari Kartasura ke desa Sala. Para tamu berdatangan menyambut perpindahan itu, termasuk pembesar Belanda penguasa tanah Jawa, Mayor Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf beserta 5 kompi pasukannya. Perpindahan itu dilakukan pada hari Rabu Pahing, 17 Februari 1745.

Iring-iringan barisan kerajaan yang berangkat dari Alun-alun Kartasura, disambut rakyat di sepanjang jalan yang dilalui. Kereta kencana Sinuhun digerakkan 8 ekor kuda, diiringi permaisuri dan garwa padmi, lalu putera mahkota, patih dan para punggawa lainnya sebanyak 50 ribu orang. Barisan berjalan sangat lambat karena harus memutar melewati Alun-alun kerajaan Pajang di Kota Gede. Barang-barang yang dibawa juga sangat banyak, sedangkan para serdadu harus membuka jalan dengan menebasi hutan dan semak belukar.

Di sore hari ketika mentari sudah berada di ujung barat, iring-iringan barisan Sinuhun baru sampai di desa Sala. Sinuhun disambut serentak oleh tembakan meriam, bunyi gamelan dan tiupan terompet. Di dampar kencana, Sinuhun Paku Buwono II bersabda kepada segenap hadirin, “Wahai hambaku, dengarkan sabdaku. Sejak hari ini, desa Sala aku ambil namanya, aku tetapkan menjadi negaraku, aku namai negara Surakarta Hadiningrat. Siarkanlah ke seluruh rakyatku di tanah Jawa.”

Kepindahan ini diikuti kerabat dan pembesar negara yang segera membangun kediaman yang baru. Di luar tembok istana seperti di Hadiwijayan dan Suryahamijayan dibangun untuk kerabat raja. Begitupun para prajurit diberi lahan-lahan dan dibangunkan sesuai dengan jabatan mereka. Nama daerahnya juga dinamai sesuai dengan pangkatnya seperti di Saragenen, Mertalulutan, Jayantakan dan Miji Pinilihan. Penempatan per golongan menciptakan nama-nama kampung seperti Kampung Kalangan, Jagalan, Gandekan dan sebagainya.

Syahdan, para pembesar Belanda pun ikut gusar jika tidak mengawasi kerajaan. Maka dengan serta merta penguasa Belanda mencari tanah yang dekat dengan bangunan kraton Surakarta. Tanah di Kedunglumbu dipilih para pejabat Pemerintah Hindia Belanda.Orang-orang asing dan para Misionaris, ramai-ramai membangun rumah kediaman di seputar Gladag.

Sayangnya desa Sala saat itu sering banjir. Penduduknya belum banyak, suasananya sepi, jika malam senyap karena gelap, setan-setan pun berkeliaran. Orang sering takut jika keluar malam, apalagi sehabis hujan, jalanan sangat becek. Rumah penduduk masih berdinding gedhek, berlantai tanah dan beratap ilalang. Rumah priyagung dan juragan batik sudah berbalok kayu atau tembok tinggi tanpa lepo. Atapnya genting, alasnya batu bata. Pagar rumah penduduk juga hanya dari bambu.

Kondisi yang sepi di pusat kerajaan ini berarti menyuburkan aroma perang. Memang, meski sudah pindah kraton, Sinuhun Paku Buwono II tidak pernah bisa tidur pulas. Geger Pacinan masih berbuntut. Banyak sekali para Pangeran yang merasa kuat dan sangat anti Kompeni Belanda. Mereka dengan bebas telah meninggalkan kraton untuk membuat benteng pertahanan sendiri.

Trah Pangeran Puger membangun pertahanan di daerah Sukowati, Sragen. RM Said membangun pertahanan di Randulawang dan Nglaroh Wonogiri, sedangkan Pangeran Mangkubumi lari ke Semarang menuntut penguasa Belanda agar diangkat sebagai Raja.

Sinuhun merasa sangat terpukul. Sikapnya meminta bantuan Belanda harus dibayar mahal. Selain dijauhi para Pangeran, Sinuhun juga harus membayar wilayah pantai utara mulai dari Rembang, Pasuruan, Surabaya dan Madura untuk dikuasai Belanda. Pengangkatan pejabat tinggi kraton pun harus seizin Belanda. Benarlah apa yang dikatakan para Pangeran bahwa posisi Raja tak lebih dari boneka yang meminjam kekuasaan Belanda.

Dalam heningnya malam, Sinuhun Paku Buwono II menyadari kesalahannya. Raja tak ingin apabila kerabatnya saling berselisih maka rakyatlah yang akan menjadi korban. Perselisihan antar kerabat kerajaan berarti keuntungan untuk kompeni Belanda.

Maka Sinuhun bertekad untuk memberikan kekuasaan kepada Pangeran Mangkubumi. Serta merta Sinuhun meminta agar Pangeran meredakan pemberontakan dengan janji akan diberi kekuasaan. Namun sang Pangeran sama sekali tidak percaya. Bukankah ia telah pernah dikhianati saat tanah lungguhnya dikurangi?

Sinuhun kian sedih. Sudah 4 tahun singgasana kerajaan Surakarta diduduki. Namun rasa bahagia tak pernah menyambangi. Hatinya tak mampu berbohong. Di keremangan malam, wajahnya berlinang air mata, badannya dingin, tubuhnya bergetar. Semangat tandingnya saat berambisi ingin terus berkuasa, telah surut diterjang rasa kecewa yang mendalam.

Alam bawah sadarnya terluka parah. Sinuhun tak mampu berdiri. Tubuhnya lunglai, peluhnya mengalir deras. Malaikat seakan sudah menyediakan jalan untuk dilewati. Saat Raden Patih menghadap, Sinuhun hanya berkedip ketika Patih menghaturkan sembah atas hadirnya Gubernur Belanda di pembaringan.

Eyang Londo membezok Sinuhun. Dalam keadaan alam bawah sadar dan tak sadar karena gering, tangan Sinuhun membubuhkan tanda tangan. Adakah Sinuhun mengerti apakah makna kertas bertulis yang disodorkan Tuan Gubernur?

Siapa yang menulis surat sakti yang berisi Sinuhun Paku Buwana II, oleh perintah Kumpeni yang agung, kerajaan diserahkan kepada Tuan Gubernur dan penguasa tanah Jawa, Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf. Tanda tangannya tertanda: Hamba, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati Hing Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Pranatagama.…"

Esok harinya langit kota Sala menggelegar. Kilat menyambar, bumi seakan terguncang saat terompet dibunyikan dengan nada demikian mengenaskan. Sinuhun Paku Buwono II, telah berpulang. Isak tangis pendiri kota Surakarta terdengar disana sini. Teriakan rakyat terdengar histeris.

“Duh Sinuhun, hanya seumur jagung usiamu di desa Sala. Restuilah agar desa ini menjadi besar…!!!”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun