Apakah anda merasakan keresahan dengan apa yang terjadi pada bangsa kita beberapa tahun belakangan ini? Â Begitu mudahnya masyarakat diaduk-aduk, dan terprovokasi untuk saling menyerang satu sama lain hanya karena perbedaan pandangan. Â Baik politik maupun cara-cara pandang yang berbeda walau dalam ajaran agama yang sama sekalipun.Â
Sangat manusiawi, jika kita terganggu dengan keadaan ini, lalu ikut serta menambah kekisruhan dengan berkomentar membela apa yang kita anggap benar dan mencela apa yang kita anggap salah. Â Perang di medsos belum juga berakhir, malah semakin panas. Â Ditambah lagi dengan para oknum politikus yang memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan kelompoknya masing-masing.Â
Namun, hingga kapan kita akan membiarkan atau justru menambah kekisruhan ini? Â Apakah komentar kita sudah memberikan perbaikan, atau hanya sekedar melampiaskan ego kita sendiri, sambil memperparah kondisi bangsa yang sedang sakit ini? Â Sampai benar-benar terjadi pertumpahan darah saudara sebangsa seperti beberapa tahun yang lalu? Â
Di Jepara, kota dimana saya tinggal hampir 20 tahun belakangan ini, pernah terjadi kerusuhan di desa Dongos pada masa kampanye pemilu tahun 1999. Â Menurut berita di Murianews.com pada kerusuhan itu terdapat 4 korban tewas, puluhan lainnya terluka, 3 rumah, 15 mobil dan 6 sepeda motor terbakar hangus. Â Saat itu simpatisan partai PPP dan PKB yang berseteru di wilayah yang berbasis NU. Â Tentunya kita tidak ingin sejarah kelam dunia politik yang berbumbu SARA ini terjadi lagi di pelosok negeri manapun di Indonesia.
Tidak sampai 8 bulan ke depan, kita akan merayakan lagi pesta demokrasi. Â Masa kampanye belum dimulai. Â Namun gejolak sudah terjadi. Â Issue SARA tetap menjadi favorit oknum politikus, yang kini semakin mudah menghembuskan racunnya melalui media sosial. Â Sementara masih banyak dari bangsa negeri ini yang belum mengerti benar tentang demokrasi, dan mudah diprovokasi melalui issue SARA. Â Apakah kita akan tetap dengan gegap gempita menikmati peperangan di medsos untuk meluapkan kekesalan, ketidakpuasan, kemarahan kita atas tindak laku simpatisan yang berseberangan dengan kita?Â
Siapakah yang nanti akan menyesal jika bukan kita, saat keadaan semakin memanas dan terjadi pertumpahan darah dari saudara-saudara kita sendiri?Â
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Mari kita melihat akar dari permasalahan yang ada. Â Apakah perbedaan itu sendiri? Â Apakah pilihan politik kita? Atau kita yang kehilangan jati diri. Kita yang kehilangan rasa bangga menjadi bangsa yang besar, sehingga tanpa terasa kita akan semakin terpuruk.Â
Sejarah kehebatan nenek moyang kita tidak lagi banyak diketahui oleh generasi penerus negeri. Â Kita lebih bangga saat anak-anak kita mampu fasih berbahasa Inggris, mampu membaca dan menulis dengan huruf Arab, menulis dengan tulisan Kanji, daripada mengerti Bahasa daerahnya. Â Orang tua lebih memilih membelikan gadget dan kuota internet untuk bermain game, sehingga anak memiliki kesibukan sendiri sampai tertidur daripada menceritakan kisah-kisah patriotis yang dapat menumbuhkan rasa nasionalisme pada anak.
Mari kita menunjuk kesalahan ini pada diri kita sendiri dulu, bahwa kita sudah menjadi bagian saat generasi penerus kita tidak lagi memiliki kebanggaan pada negerinya, dan kehilangan jati diri. Â Saat itu terjadi, akan sangat mudah seseorang terpengaruh dan terombang-ambingkan oleh issue-issue SARA yang selalu digunakan untuk kepentingan politik maupun ekonomi oleh oknum-oknum yang memerlukan kerusuhan untuk meraih pemenuhan kebutuhan kelompoknya sendiri.
Seseorang yang mengerti sejarah, memiliki rasa nasionalisme dan mengenal jati dirinya akan menjalani kehidupan berbangsa dengan lebih dewasa, berpolitik dengan penuh tanggung jawab, beragama dengan penuh keyakinan tanpa mudah ditumpangi oleh kepentingan lain.Â
Hal ini yang tidak terjadi pada bangsa kita saat ini.  Hoax menyebar secepat kilat, agama dibawa sampai  titik terendah sehingga surga menjadi begitu murah dibeli hanya dengan ketik amin, like dan share, atau semudah memilih partai atau sosok politisi tertentu.  Bukan lagi saatnya kita untuk mencela mereka yang sakit, ini saatnya kita menyehatkan diri sehingga kita tidak menjadi orang-orang yang juga sakit.
Jika kita belum bisa melalukan sesuatu yang besar untuk negeri ini, setidaknya kita tidak lagi menjadi bagian yang memperkeruh suasana dengan meramaikan peperangan. Â Mari mulai dengan diri sendiri, mari membaca, banyak sekali kisah patriotisme yang bisa meningkatkan rasa nasionalisme kita dan mengembalikan rasa cinta kita terhadap tanah tumpah darah ini. Â Setelah itu, tularkan hal positif ini pada orang-orang terdekat kita, sehingga mereka pun bisa menularkan hal ini kepada orang lain.
Jika kita mampu berbuat sedikit lebih, mari lakukan sesuatu yang positif di lingkungan kita sendiri. Â Bangkitkan rasa nasionalisme di lingkup-lingkup terkecil di masyarakat.
Bisa jadi orang-orang yang duduk dalam pemerintahan saat ini bukan orang-orang pilihan kita, dewan perwakilan rakyat tidak mewakili suara kita, bupati, gubernur yang saat ini berkuasa bukan orang-orang yang kita favoritkan, namun ingatlah, itu semua tidak menjadikan kita harus kehilangan jati diri sebagai Orang Indonesia. Â Berbuatlah sesuatu yang berguna untuk negeri ini, bukan sekedar memaki dan memperkeruh suasana.
Cobalah tengok lingkungan tempat kita tinggal.  Kotor?  Banyak sampah di jalan?  Oiya, mari juga coba  mengingat-ingat apakah kita punya janji-janji yang kita ucapkan namun belum terpenuhi?  Apakah kita masih mencuri waktu di jam kerja untuk bermain game, main medsos?  Jika untuk hal-hal sesederhana itu saja kita masih sering luput, bagaimana mungkin kita bisa mengkritik orang-orang yang melakukan hal jauh lebih besar daripada kita?Â
Mari, mulai dari diri sendiri.
Salam NKRI!
 Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H