Mohon tunggu...
Restianrick Bachsjirun
Restianrick Bachsjirun Mohon Tunggu... -

Ketua Umum Front Pembela Republik Indonesia Berdaulat (FPRIB)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bagian Pertama: Skandal Korupsi BLBI adalah Konspirasi Global: Bersediakah Pemerintahan Presiden Joko Widodo Menuntaskannya?

7 Februari 2015   06:09 Diperbarui: 4 April 2017   17:55 2251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah DR. Rizal Ramli mantan Menteri Koordinator Perekonomian pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid mengakui bahwa ada sejumlah kejanggalan dalam penyelesaian dana BLBI terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dari sekian banyak konglomerat menjadi obligor ternyata mengelabui negara dengan membayar utang menggunakan aset abal-abal, atau nilainya jauh dari perkiraan dan jumlah utangnya.

Menurut Rizal Ramli, saat krisis ekonomi 1997-1998, pemerintah berusaha menyelamatkan bank-bank yang tumbang, dengan memilih menyetujui pemberian obligasi. Dia mengatakan, awalnya pemerintah ngotot supaya para penerima BLBI membayar dalam bentuk rupiah.

Tetapi, lanjut dia, saat itu ada pihak-pihak melobi supaya bisa diganti dengan memberikan aset berupa tanah atau bangunan. Tetapi sayang, dari sejumlah aset itu diketahui banyak nilainya tidak sepadan, atau malah jauh di bawah besarnya pinjaman pemerintah.

"Aset-aset ini banyak yang kurang bagus, sebagian busuk, sebagian enggak sesuai nilainya, tapi seolah-olah sudah menyerahkan aset yang benar," kata Rizal Ramli.

Rizal Ramli menemukan hal itu saat menjabat menjadi menteri. Dia juga heran mengapa hal itu bisa lolos dari pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Setelah meminta pendapat para pakar hukum, Rizal Ramli lantas menerapkan kebijakan mengharuskan para obligor kakap,meneken perjanjian dengan bersedia membuat Personal Guarantee Noted (nota garansi personal). Dengan adanya nota itu, para obligor diikat supaya tidak lari dan wajib melunasi utang hingga tiga turunan.

"Tapi setelah kami enggak jadi menteri dan pemerintahannya ganti, beberapa tahun, personal guarantee ini dikembalikan lagi," papar Rizal Ramli.

Sangat disayangkan, Rizal Ramli belum mau buka-bukaan lebih banyak dan radiks mengenai kejanggalan di kasus BLBI itu ke publik.

"Kalau saya buka-bukaan di ranah publik, jadi ramai lagi negeri ini. Jadi kita serahkan saja aparat hukum mengusutnya lebih lanjut. Kepada KPK saya sudah buka semua apa yang saya ketahui," kata Rizal Ramli.

Hal ini membuat saya penasaran, lalu saya mencoba menelusuri atau melakukan penelitian dengan mencari dan membaca berbagai sumber tertulis terkait dana BLBI ini, yang sekarang saya tulis dengan judul: Skandal Korupsi BLBI adalah konspirasi global: Bersediakah Pemerintahan Presiden Joko Widodo Menuntaskannya?

Saya sepakat dan memahami apa dibalik perkataan DR. Rizal Ramli dimaksud. Memang bisa bikin ramai republik ini jika KPK mampu mengusut megaskandal BLBI ini.

Dalam peluncuran buku ‘Skandal BI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara’ di Jakarta akhir Januari 2008, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI, Sri Edi Swasosno, menegaskan jika kasus tersebut diyakini bermuatan konspirasi global.

"Skandal BLBI adalah konspirasi global untuk merampok rakyat Indonesia dan menaklukkan bangsa ini secara teritorial, hingga akhirnya berbagai sumberdaya yang ada pada bangsa ini bisa dikuras. Ini kejahatan perbankan terbesar di dunia," tandasnya seraya menyatakan jika kasus ini akan terus menyiksa rakyat Indonesia sampai dengan tahun 2030 karena pemerintah masih harus membayar bunga obligasi rekap sebanyak Rp 60 triliun per tahun, yang tentunya berasal dari uang rakyat.

Sebagaimana masyarakat pada umumnya, khususnya para penggiat anti korupsi ketahui, betapa babaliutnya, dan berlarut-larutnya penyelesaian kasus-kasus pengutang BLBI ini dalam sejarah periode reformasi negeri ini. Telah banyak aksi protes atau demonstrasi digelar oleh banyak kalangan, bahkan demonstrasi mahasiswa yang menyuarakan masalah BLBI ini agar segera dituntaskan secara hukum oleh pemerintah. Namun semua itu menguap ditelan ketidakberdayaan hukum dan pemerintah menghadapi para pengutang BLBI itu.

Bagi banyak kalangan, kasus ini berawal saat kolapsnya sejumlah bank negeri ini terhantam badai krisis moneter di tahun 1997. Bank Indonesia sebagai lender of last resort, telah mengucurkan dana BLBI kepada 48 bank. Tujuannya adalah, untuk menolong bank-bank yang sekarat akibat krisis likuiditas di saat darurat. Apalagi, ketika itu, kebijakan tersebut juga disertai tanggung jawab pemerintah sebagai penjaminan atas kewajiban bank umum yang didasari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 1998.

Ternyata dibalik kebijakan bailout yang diambil pemerintah tersebut, Dana Moneter Internasional (IMF) disebut-sebut sebagai otak intelektualnya. Pemerintah melalui Dewan Moneter kemudian menggodoknya. BI-lah selanjutnya sebagai pelaksananya. Maka, dikucurkanlah dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, ditambah Rp 14,447 triliun per 29 Januari 1999, sehingga totalnya menjadi Rp 158,9 triliun. Jumlah yang sangat luar biasa besarnya sehingga negara harus meminta rakyat untuk ikut memikul masalah bank-bank itu.

Terkait hal di atas, pemerintah menerbitkan setidaknya empat kali surat utang pemerintah (SUP) tahun 1998 sebagai jaminannya senilai Rp 218,31 triliun. Kemudian apa yang terjadi?Akhirnya terungkap sejumlah penyimpangan, kelemahan sistem dan kelalaian dalam mekanisme penyaluran dan juga penggunaan BLBI. Dari total dana BLBI yang dikucurkan BI sebesar Rp 144,5 triliun, terdapat potensi kerugian negara sebesar Rp 138,4 triliun atau 95,7 persen. Ini artinya, hanya Rp 6,1 triliun yang benar-benar disalurkan BI kepada bank-bank tersebut (Siaran Pers BPK-RI, 11 Aug 2000).

Konspirasi Global

Mengusut tuntas megaskandal BLBI ini sesungguhnya tidak bisa lepas dari kepentingan pihak asing yang selama ini menanamkan modalnya dan atau kepentingan negara-negara pemberi utang kepada republik ini. Seperti diketahui, sebelum krisis melanda Indonesia, jumlah Utang Luar Negeri Pemerintah sekitar USD53,8 miliar, angka ini memang sudah termasuk besar kala itu, namun sejak krisis hingga saat ini jumlahnya semakin membesar. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat total utang Indonesia pada November 2013 naik ke Rp2.354,54 triliun dari posisi Oktober sebesar Rp2.276,98 triliun. Jika dilihat secara year to date (ytd) dari 2012, maka utang tersebut mengalami kenaikan Rp367,83 triliun dari posisi pada 2012 sebesar Rp1.977,71 triliun.

Tembok asing dalam megaskandal BLBI ini diakui oleh sinyalemen Anggota Komisi I DPR-RI  Lily Chadidjah Wahid tentang campur tangan asing yang memaksakan Boediono harus terbebas dari jerat hukum dalam pengungkapan megaskandal korupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), semakin menghempas harga diri bangsa Indonesia.

Lily Wahid. Adik Gus Dur ini yakin, Boediono, mantan Direktur Analisis Kredit BI meski pernah dipecat Presiden Soeharto karena dinilai tidak bertanggungjawab, memang diloloskan dari jerat hukum megaskandal BLBI, karena ada campur tangan asing. Terbukti di samping Boediono bisa kembali ke BI bahkan dipromosi oleh SBY menjadi Gubernur  Bank Sentral, bahkan teknokrat ini pun kemudian menjadi Wakil Presiden,.

“Ada campur tangan jaringan dia (Boediono). Ini permainan jaringan, karena yang diuntungkan dari bunga rekap BLBI sebesar Rp60 triliun pertahun dan diserahkan kepada IMF (Dana Moneter Internasional),” kata Lili.

Bagi wakil rakyat vokalis Komisi I yang membidangi pertahanan, luar negeri, intelejen, dan komunikasi ini, rasanya ada yang janggal. Sehingga harus dicari sebab musabab kenapa Boediono bisa bebas dari jerat hukum, Sebaliknya, sejumlah enioren “Atasan Boediono kok malah terjerat? Kata Lili Wahid.

Campur tangan asing dalam bidang penegakkan hukum oleh permainan jaringan di belakang Boediono yang melibatkan IMF itu, menurut Lily memang sulit dibuktikaan, Namun mengingat ada berbagai kejanggalan, tentu bisa dirunut ditelisik dan diuraikan. Contoh, yang bisa ditarik sekarang, adalah BI bayar iuran Rp150 trilliun dan sampai saat ini masih berlangsung “Saya sedang cari bukti, dan Insya Allah ada buktinya,” Ujar Lily.

Lebih aneh lagi, Lily menengarai kok ada semacam ke-terlena-an DPR sebagai lembaga pengawas yang tak pernah memperkarakan keterlibatan Boediono dalam mega skandal BLBI sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomer 979 dan 981 Tahun 2004,  “Mungkin DPR dibakarin menyan oleh Boediono,” kata Lily.

Keheranan Lily kian bertambah, mengingat Ketua DPR RI, Marzuki Alie dalam suatu kesempatan menanggapi Skandal Century,  juga telah mempersilahkan anggota untuk menggunakan HMP (Hak Menyatakan Pendapat) terhadap Boediono. Padahal dengan HMP itu, DPR bisa melakukan penyelidikan kasus BLBI, sehingga Boediono pasti bisa terseret. Tetapi kok belum tergerak juga hati para wakil rakyat itu.

Bahkan Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI komisi III dari Fraksi Golkar ini menyatakan, Aneh jika Penegak hukum melakukan pembiaran dan tidak segera menindaklanjuti keputusan Mahkamah Agung terkait BLBI. Mengingat amar putusan tersebut jelas menjerat Boediono terkait kasus BLBI dengan pasal 55 KUHP. Yakni turut serta melakukan tindak pidana.

Untuk itu, Bambang Soesatyo mendesak Polri, Kejaksaan Agung serta KPK segera berkoordinasi dan menindaklanjuti keputusan MA tersebut atas keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Konspirasi global dalam megaskandal korupsi BLBI ini – ada hal menarik yang diungkapkan oleh buku Edward Griffin berjudul “The Creature from Jekyll Island” (1994). Dalam salah satu bagian, Griffin bercerita tentang sebuah pertemuan rahasia di Jekyll Island (artinya: Pulau Dajjal), Georgia-AS, pada tahun 1987. “Pertemuan itu digelar untuk merayakan atas terpilihnya Allan Greenspan, yang ditunjuk Presiden Amerika Serikat George Bush Sr memimpin Bank Sentral AS, The Federal Reserve. Dalam acara tersebut, para bankir ini ternyata juga membahas sebuah rencana seram berbau konspirasi bertema penghancuran ekonomi Asia Tenggara.

Dalam dua dasawarsa terakhir, Asia Tenggara dianggap tumbuh menjadi suatu ancaman bagi dominasi ekonomi negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat,” demikian Griffin.

Dalam pertemuan itu digagas konsep “The Bail-Out Game” atau “Permainan menalangi”. Edward Griffin menulis: “Pertemuan rahasia itu diselenggarakan sebenarnya untuk melahirkan sebuah kartel perbankan yang berfungsi untuk melindungi anggota-anggotanya dari persaingan bisnis, dan mengubah strategi untuk meyakinkan Kongres dan masyarakat umum bahwa kartel ini adalah lembaga keuangan pemerintah AS…

Permainan yang dilakukan bernama ‘bail-out’ (menalangi)… Ibarat dalam sebuah panggung sandiwara, inilah strategi untuk memaparkan bagaimana caranya agar pembayar pajaklah (baca: rakyat) yang harus menalangi bila suatu bank di kemudian hari mengalami krisis keuangan.”

Pertemuan tersebut berlangsung sukses dan ‘The Bail-Out Game’ disepakati akan segera direalisasikan. Asia Tenggara akan dijadikan laboratorium pertama konsep penalangan ini, terkecuali tentu saja Singapura. Dengan alasan yang bersifat strategis, negeri pulauini harus diselamatkan dari uji coba ‘The Bail-Out Game’. Dan dikemudian hari hal itu terbukti.

Bailout Game

Usai pertemuan di Pulau Dajjal tahun 1987, konspirasi globalis merancang tahap demi tahap agar Asia Tenggara bisa dijadikan laboratorium ‘bail-out game’ tersebut. Tahap-tahap ini bisa kita lihat dalam kejadian nyata yang kemudian benar-benar terjadi.

Pada tahun 1996, John Naisbitt menerbitkan buku Megatrends Asia: The Eight Asian Megatrends That Are Changing The World yang mencanangkan keajaiban Asia (The Miracle of Asia) sebagai pemilik Milenium Ketiga. Perekonomian dunia akan tumbuh dengan pesat di Asia, demikian Naisbitt. Buku ini dicetak besar-besaran dengan promosi yang dahsyat. Media massa dunia yang dikuasai jaringan para bankir tersebut berlomba-lomba memuat rilis buku ini.

Naisbitt bagaikan selebritas dunia baru yang diundang ke berbagai negeri Asia untuk memaparkan ramalannya. Buku Naisbitt oleh banyak tokoh Asia, termasuk tokoh Indonesia, diyakini kebenarannya dan ditelan bulat-bulat saja propaganda itu. Dada para pemimpin Asia menjadi sesak sarat kebanggaan. Megalomania berujung pada lupa daratan. “Inilah saatnya kami memimpin dunia,” demikian pikir mereka. Bahkan, tidak sedikit tokoh Indonesia meyakini jika Indonesia segera menjelma menjadi “macan” Asia Tenggara.

Akibat suatu kampanye terselubung yang sistematis dan sangat rapi seperti itu, yang sengaja memprovokasi para pemimpin Asia dan para pengusahanya, maka dengan begitu yakin mereka segera bersikap ekspansif, membangun negara dan perusahaannya menjadi lebih besar dari apa yang sebenarnya dibutuhkan. Lantas darimana uangnya?

Bagaikan suatu kebetulan (yang aneh), awal tahun 1990, lembaga keuangan dunia menawarkan utang dalam jumlah amat besar dengan persyaratan amat lunak. Para pemimpin dan pengusaha Asia yang sudah ‘merasa besar’ berbondong-bondong memanfaatkan tawaran yang sangat menggiurkan ini.

Dengan sangat berani mereka mengambil utang dalam besaran angka yang fantastis, tanpa menyadari bahwa utang tersebut sesungguhnya berjangka pendek dan berbunga tinggi. Rasionalitas mereka telah hilang, dikubur oleh analisa seorang Naisbitt yang secara meyakinkan menulis bahwa abad 21 adalah abadnya Kebangkitan Asia.

Tepat di awal tahun 1997, menjelang peringatan satu abad Kongres Pertama Zionis Internasional yang saat itu berlangsung di Basel, Swiss, yang kemudian melahirkan Protocol of Zions (1897), konglomerat dunia berdarah Yahudi, George Soros, tiba-tiba memborong mata uang dollar AS dari seluruh pasar uang di Asia, terutama di Asia Timur dan Tenggara. Akibat disedot Soros, kawasan Asia kesulitan likuiditas dollar AS.

Akibatnya, kurs dollar membubung tinggi ketingkat yang belum pernah terjadi dalam sejarah moneter dunia. Padahal, tahun 1997 ini merupakan tahun jatuh tempo pembayaran utang. Para pengusaha Asia yang telah kadung meminjam utang pada lembaga keuangan dunia harus membayar utang beserta bunganya yang tinggi saat itu juga.

Akibatnya sangat mengerikan. Seratus persen perusahaan-perusahaan pengutang di Asia Tenggara—terkecuali Singapura—dan yang paling parah di Indonesia, ambruk tanpa sempat sekarat. Jutaan karyawan di PHK. Jutaan rakyat tak berdosa jatuh ke dalam lembah kemiskinan yang tak terperikan.

Kini giliran IMF dan Bank Dunia yang naik panggung. Bagai malaikat, International Monetery Fund dengan berbagai bujuk rayu menawarkan skema penyelamatan utang.

Indonesia adalah pasien IMF yang paling tunduk dan setia. Di saat itulah, sesuai dengan rencana dari pertemuan di Pulau Dajjal di tahun 1987, IMF menawarkan resep “The Bail-Out Game”.

Indonesia menjadi kelinci percobaan dari bailout game ini. Maka sejak tahun 1997 itu pemerintah memberikan jaminan penuh (garansi) kepada para nasabah bank swasta agar tidak ragu-ragu menanamkan uangnya di berbagai bank swasta. Sebab, jika bank swasta tersebut bangkrut—oleh korupsi para direksi dan komisarisnya sekali pun—maka pemerintahlah yang berkewajiban menalangi, membayari uang para nasabahnya.

Pemerintah bukannya menolong sektor riil, namun malah menolong orang-orang kaya, para konglomerat pemilik bank, dengan menggunakan uang rakyat. Sebagaimana telah disinggung di atas, pemerintah melalui APBN setiap tahunnya wajib membayar bunga Obligasi Rekap akibat BLBI sebesar Rp. 60 triliun sampai tahun 2040....(bersambung)


*Diolah dari berbagai sumber tertulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun